Hayam Wuruk
Hayam Wuruk lahir tahun 1334, beberapa bulan sebelum Gajah Mada dikukuhkan sebagai Mahapatih Amangkubumi. Pada saat Gajah Mada mengucapkan sumpah sakral Amukti Palapa bayi Hayam Wuruk baru saja menikmati udara Majapahit.
Dia tidak tahu dan mengalami langsung peristiwa bersejarah itu, tapi belasan tahun kemudian tangannyalah yang kemudian memimpin dan membawa Majapahit melaksanakan program maha dahsyat itu.
Di tangannyalah kemudian seluruh perairan nusantara bersatu menentang penjajahan bangsa asing, terutama Tiongkok.
Sabdanya telah membentuk negara menjadi pemerintahan yang berwibawa dan disegani rakyatnya. Masyarakat Majapahit menunduk hormat sambil merapatkan kedua telapak tangannya dengan ikhlas kepada sang Raja. Sabda raja adalah hukum yang harus dihormati.
Tiga puluh delapan tahun masa pemerintahannya sejak tahun 1351 s.d. 1389, Hayam Wuruk telah membawa seluruh rakyat Majapahit, Wilwatikta Agung, ke puncak kejayaan dan keemasan. Membawa seluruh rakyatnya mengalami kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan. Setiap perayaan agung di pusat kerajaan dimeriahkan oleh seluruh rakyat tanpa kecuali.
Pada masa pemerintahannya itulah kerajaan-kerajaan lain di nusantara raya ini tidak hanya sekedar sebagai negara bawahan yang tidak mempunyai kemerdekaan, tetapi semua kerajaan itu bersama-sama dengan pemerintah pusat di Jawa Timur mengembangkan potensi daerah masing-masing bagi kepentingan nusantara raya ini.
Persatuan dan kesatuan yang menjadi program dasar Majapahit Agung telah memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan bagi pengembangan daerah yang pada akhirnya membawa negara besar ini ke pintu gerbang kemajuan peradaban bangsa yang disegani oleh negara sahabat dan mancanegara.
Tercatat, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk tidak ada pemberontakan di dalam negeri yang cukup berarti seperti pada masa-masa pemerintahan sebelumnya. Hubungan dengan negara tetangga sangat baik, terutama dengan Cina.
Ditandai dengan gempa bumi yang sangat dahsyat di desa Banyupindah akibat letusan gunung Kelud, yang menimbulkan kerugian harta dan nyawa, dan didahului dengan munculnya pemberontakan-pemberontakan dan krisis kepemimpinan di pusat kerajaan Majapahit, lahirlah bayi Hayam Wuruk di tengah-tengah masyarakatnya pada tahun 1334.
Seluruh masyarakat, dari kasta paling rendah sampai para bangsawan dan petinggi Majapahit menyambut kelahiran jabang bayi calon pemimpin besar bangsa ini. Semua bergembira.
Lebih dari sebulan Majapahit menyambut kelahiran putra mahkota itu dengan mengadakan pesta rakyat di alun-alun Bubat.
Para pendeta Hindu dan Budha melakukan upacara keagamaan yang sangat sempurna. Candi-candi dan tempat-tempat ibadah dibersihkan. Para pujangga dan seniman istana mengukir dan memuji si jabang bayi dengan sentuhan estetika mereka. Setiap desa, padukuhan dan tanah perdikan di seluruh Majapahit, Daha, Kahuripan dan Singasari mengantarkan hasil bumi mereka ke kotaraja bagi keberlangsungan upacara-upacara yang diadakan.
Mereka bersama-sama merayakan hari bahagia menyambut putra mahkota di kotaraja. Alun-alun Bubat dipenuhi tenda-tenda yang disediakan oleh kerajaan bagi para pemimpin daerah yang datang. Seluruh Majapahit bergembira, putra mahkota telah lahir, seorang laki-laki yang tampan, sempurna lahir dan bathiniah.
Hayam Wuruk yang juga bernama Raden Tetep itu bersama-sama Gajah Mada, orang yang memomongnya dengan telaten sejak dia masih kecil, telah memberikan garis kebijakan yang sangat jelas mengenai rantai kepulauan besar nusantara, yang menurut Mohammad Yamin (berdasarkan uraian Nagarakretagama) terbagi dalam daerah yang delapan, yaitu:
Seluruh Jawa, meliputi: Jawa, Madura dan Galiyao (Kangean)
Seluruh Pulau Sumatra (Melayu), meliputi: Lampung, Palembang, Jambi, Karitang (Inderagiri), Muara Tebo, Dharmasraya (Sijunjung), Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiang, Perlak, Barat (Aceh), Lawas (Padang Lawas, Gayu Luas), Samudra (Aceh), Lamuri (Aceh tiga segi), Bantam dan Barus.
Seluruh Pulau Kalimantan (Tanjungnegara), meliputi: Kapuas, Katingan, Sampit, Kuta Lingga (Serawak), Sedu (Sedang di Serawak), Kota Waringin, Sambas, Lawar (Muara Labai), Kedangdanan (Kendangwangan), Landak, Samedang (Simpang), Tirem (Peniraman), Sedu (Serawak), Brunai, Kalka Saludung, Solot (Solok, Sulu), Pasir, Baritu, Sebuku, Tabalong (Amuntai), Tanjung Kutai, Malanau dan Tanjungpuri.
Seluruh Semenanjung Melayu (Malaka), meliputi: Pahang, Hujungmedini (Johar), Lengkasuka (Kedah), Saimwang (Semang), Kelantan, Trengganu, Nagor (Ligor), Pakamuar (Pekan Muar), Dungun (di Trengganu), Tumasik (Singapura), Sanghyang Hujung, Kelang (Kedah, Negeri Sembilan), Kedah. Jere (Jering, Petani), Kanjab (Singkep) dan Niran (Karimun).
Di sebelah timur Jawa, seluruh Nusa Tenggara, meliputi: Bali, Bedulu, Lwagajah (Lilowan, Negara), Gurun (Nusa Penida), Taliwang (Sumbawa), Dompo (Sumbawa), Sapi (Sumbawa), Sanghyang Api (Gunung Api, Sangeang), Bima, Seram, Hutan (Sumbawa), Kedali (Buru), Gurun (Gorong), Lombok Mira (Lombok Barat), Saksak (Lombok Timur), Sumba dan Timor.
Seluruh Sulawesi, meliputi: Bantayan (Bontain), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makasar, Butun (Buton), Banggawi (Banggai), Kunir (Pulau Kunyit), Salaya (Saleier) dan Solot (Solor).
Seluruh Maluku, meliputi: Muar (Kei), Wandan (Banda), Ambon dan Maluku (Ternate).
Seluruh Irian (Barat), meliputi: Onin (Irian Utara) dan Seram (Irian Selatan).
Hayam Wuruk suka menari (memainkan peran wanita) sebagai Pager Antimun, menjadi dalang dengan gelar Tirtaraju, kalau jadi pelawak dalam wayang mengambil peran Gagak Ketawang, sebagai pemeluk agama Siwa dikenal sebagai Janeswara. Sebagai raja selain mengambil nama abiseka Sri Rajasanagara juga sering disebut Hyang Wekasing Suka. (Prof. Dr. Slamet Muljana, Pemugaran Persada Sejarah LELUHUR MAJAPAHIT, hal. 190).
Masih dalam Nagaraktretagama, pada masa pemerintahan Hayam Wuruk Majapahit sudah menetapkan batasan wilayah negara tetangga (bukan negara bawahan), seperti: Sin (Syangka), Thai, Dharmanagara, Martaban (Birma), Kalingga (Rajapura), Singanagari, Campa, Kamboja dan Annam (Yawana).
Kepopuleran Hayam Wuruk bukan saja di dalam negeri, tetapi juga di mancanegara. Seorang bhiku dari pertapaan Sadwihara di daerah Kancipuri (India) yang bernama Sri Budhatiya mengarang buku Bhogawali, berisi pujian kepada Sang Prabhu Hayam Wuruk.
Hayam Wuruk dinobatkan sebagai putra mahkota (yuwaraja) sejak masih kanak-kanak di Kahuripan dengan gelar abhiseka Sri Rajasanagara yang terus dipakainya sampai menjadi raja di Majapahit (dinobatkan pada usia 16 tahun, pada pertengahan tahun 1351).
Menurut Pararaton, sehabis perang Bubat (kegagalan Hayam Wuruk memperistri putri Sunda: Dyah Pitaloka) Hayam Wuruk memperistri Paduka Sori, putri Bhatara Hyang Paramesywara dengan Dyah Wiyat Sri Rajadewi Maharajasa. Bhatara Hyang Paramesywara adalah Bhre Wengker (raja di Wengker). Dyah Wiyat adalah bibinya, adik ibunya yang menjadi ratu di Daha (Bhre Daha). Jadi Paduka Sori masih adik sepupunya.
Dari perkawinan itu lahir Bhre Lasem Sang Ahayu. Menurut Nagarakretagama pupuh VII/4 Bhre Lasem Sang Ahayu bernama Kusumawardhani yang akhirnya kawin dengan Bhre Mataram Wikramawardhana, putra sulung Bhre Pajang. Sepeninggal Sri Rajasanagara, Wikramawardhanalah yang menjadi raja di Majapahit.
Selasa, 05 April 2011
Raja-raja Besar Nusantara (3)
Kerta neagara (3)
2. Pendekatan Antropolitik Atas Pemerintahan Raja Kertanagara
Sebagaimana diulas diatas, pemerintahan raja Kertanagara menurut Kidung Harsawijaya dibenci oleh para pembesar zaman Wisnuwardhana karena dipecat oleh Kertanagara akibat mereka menentang politik perluasan cakrawalamandala. Dendam kesumat ini menurut Kidung Panji Wijayakrama menimbulkan pemberontakan-pemberontakan politik atas pemerintahan Kertanagara. Walaupun dapat dipadamkan secara militer, secara ideologi kebencian itu mendarah daging dalam hati lawan politik Kertanagara. Kebencian dan dendam memuncak dengan pemberontakan Jayakatwang atas hasutan Dyah Wiraraja adipati Sumenep (Negarakretagama pupuh 44/4) dalang intelektual kejatuhan Kertanagara.
Bagaimana kiranya sebab-musabab perlawanan ini lahir dari mikro menjadi makro hanya dapat dilihat dari pendekatan antropolitik atas pemerintahan raja Kertanagara. Dengan kata lain memandang pola kebijakan politik raja Kertanagaralah sebagai sebab kemunculan tindakan kontra-politik mikro yakni pemberontakan Mahisa Rangga serta Caya Raja (Negarakretagama pupuh 41/5) atau Kalana Bhaya (Paraton) yang berhasil dipadamkan Kertanagara menjadi tindakan kontra-politik makro yang akhirnya meruntuhkan kekuasaannya. Dengan kata lain, pendekatan antropolitik mengasumsikan bahwa perlawanan politik mikro dan makro itu adalah bentuk lain dari peribahasa senjata makan tuan.
Dikatakan demikian, walaupun Kertajaya melaksanakan politik perkawinan dengan Jayakatwang dengan harapan mempererat tali kekeluargaan antara Singasari-Kediri, melalui perkawinan antara anak Kartanagara dan Ardhraja anak Jayakatwang tidak menyebabkan dendam kesumat itu reda. Solusi Kertanagara adalah solusi politis jangka pendek yang hanya menyelesaikan masalah dalam interval waktu singkat dan tidak memberikan solusi jangka panjang.
Pendekatan antropolitik, menguraikan pola pemerintahan Kertanaga secara kausal dari dalam personalitas-religius independensi raja Kertanagara, sebagai penyebab dari keruntuhan kerajaannya sendiri, yakni:
a. Sikap Ahangkara
Telah dijelaskan dimuka tentang dasar pikiran raja Kertanagara sebagai titisan Jina di kerajaan Singhasari. Terbukti bahwa sebagai Jina beliau tidak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam, tetapi juga menguasai kerajaan secara nyata. Kekuasaan rohaniah dan lahiriah yang terdapat pada satu orang itu pasti saling mempengaruhi.[43] Demikianlah, dapat diharapkan bahwa dasar pikiran raja Kertanagara sebagai Jina juga mempengaruhi politik kenegaraan yang dipeganggnya. Sebagai Jina yang menguasai kekuataan gaib di semesta alam, ia merasa kuat dan mampu menghindarkan segala bencana. Sebagai raja yang secara positif menguasai orang-orang di Keraton dan diwilayah Singasari, ia merasa orang yang tertinggi.
Demikianlah dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton kita dapati peristiwa sejarah tentang pemecatan mahamantri patih Raganata, seorang yang bijak lagi cakap dalam melaksanakan tugasnya. Namun umurnya sudah lanjut. Oleh Wiraraja, bupati Sumenep, patih dongkol Raganata disamakan dengan harimau krepuk atau harimau tua. Mahamantri empu Raganata selalu memberikan nasihat-nasihatnya kepada sang prabu. Segala kesulitan dalam menjalankan pemerintahan secara jujur dikemukan. Tindakan-tindakan yang demikian itu tidak disukai oleh batara Siwa Buddha, kahngkaraneng bhumi. Epiteton itu mengandung pengertian bahwa raja Kertanagara mengagungkan kekuatannya sendiri. Ia sadar bahwa ia menguasai kekuatan gaib. Akhirnya, mahamantri Raganata berhenti dari jabatannya sebagai patih, dan diangkat menjadi adhyaksa di Tumapel. Pengarang Panji Wijayakrama itu melanjutkan uraniannya, bahwa raja Kertanagara bersikap ahangkara atau angkuh terrhadap siapapun juga. Artinya, ia tidak takut menghadapi siapa pun juga. Dalam hal ini, sikap ahangkara itu ditujukan kepada mahamantri bijak empu Raganata yang telah berusia lanjut. Sudah pasti ada sebabnya, mengapa raja Kertanagara serta merta menghentikan patihnya dan menggantikannya dengan Mahisa Anengah dan Apanji Angragani. Pada saat pemecatan itu, raja Kertanagara merasa seakan-akan disiram kejahatan atau bermandi kejahatan, heran mengapa empu Raganata terlalu menurutkan nafsunya, terlalu mementingkan kedudukannya. Yang terang ialah bahwa raja Kertanagara tidak dapat menerima keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh Mpu Raganata.
Sikap ahangkara itu ditunjukkan pula oleh raja Kertanagara kepada Kaisar Tiongkok Kubhilai Khan. Dalam bidang politik, raja Kertanagara ingin menguasai Nusantara. Sejak tahun 1275 Masehi (menurut Negarakretagama), ia telah mulai dengan pengiriman tentara keluar Jawa. Sikap ahangkara itu semakin membuncah pada saat utusan Kaisar Khan, Meng Ki mengirim surat perintah tunduk kepada raja Kertanagara. Dibalasnya surat itu dengan menyuruh memahatkan surat balasan Kertanagara pada kepala Meng Ki. Itulah sekedar contoh sikap ahangkara raja Kertanagara. Ia terlalu mengagungkan kekuasaannya sebagai Jina dan sebagi raja. Ia tidak takut kepada siapapun. Juga tidak takut kepada kekuasaan kaisar Tiongkok.
b. Hubungan antara Kubhlai Khan dengan Kertanagara
Setelah kaisar Kubhilai Khan melihat utusannya kembali dengan tulisan diatas dahinya, ia sangat marah. Kemudian ia menyiapkan tentaranya yang terdiri dari orang Mongolia untuk menyerbu Singasari. Ekspedisi terjadi pada tahun 1292. demikianlah pengiriman tentara Mongolia itu pada hakikatnya tidak ada hubungannya dengan undangan adipati Wiraraja dari Sumenep untuk menolong Raden Wijaya dalam memerangi raja Jayakatwang di Kediri, seperti diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsa Wijaya. Mereka datang di Jawa untuk menghukum raja Kertanagara atas penghinaan terhadapnya, dan memaksanya untuk tunduk kepada kehendak kaisar Kubhilai. Tentara Kubhilai itu dalam Negarakretagama, Pararaton, Kidung Harsa Wijaya dan Panji Wijayakrama disebut tentara Tartar. Tentara itu jelas bukan tentara Tionghoa.[44]
c. Politik Perkawinan dan Gagasan Cakrawalamandala
Dalam Record[45], karangan pendeta Buddha I-tsing dari Kanton, bahwa pelabuhan Melayu alias Jambi dalam abad ke-7 adalah pelabuhan penting untuk lalu lintas kapa-kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok. Boleh dipastikan bahwa pelabuhan itu dalam abad ke-13 masih mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk lalu lintas kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok. Demikianlah pelabuhan Melayu itu banyak dikunjungi oleh perahu-perahu Tiongkok, perahu-perahu kaisar Kubilai. Pelabuhan Melayu menguasai pelayaran di Selat Malaka dan merupakan pangkalan untuk perluasan pengaruh Tiongkok di negeri selatan. Hal itu diketahui benar oleh raja Kertanagara. Maka, raja Kertanagara mengerahkan segala kekuatan tentara Singasari unruk merebut kekuaasaan di negeri Melayu pada tahun 1275, ketika kaisar Kubilai masih sibuk dengan usahanya menguasai Tiongkok. Diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama, bahwa akibat pengerahan tentara ke negeri Melayu, melalu pelabuhan Tuban. Mereka diantar oleh patih Mahisa Anengah dan Panji Angragani. Tidaklah benar uraian Kidung Harsa Wijaya, bahwa pamalayu itu digerakkan oleh keinginan merebut putri Melayu yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya.
Sudah pasti bahwa raja Kertanagara mendengar berita-berita tentang serbuan tentara Mongolia di negeri Annam dan Campa antara tahun 1280 dan 1287. serbuan tentara Mongolia itu menyebabkan usaha raja Kertanagara memperkuat pembinaan persahabatan dengan negeri Melayu yang telah dikuasainya. Pada suatu saat, negeri Melayu pun akan menjadi sasaran serangan tentara Kubilai. Demikianlah pada tahun 1286, berdasarkan prasasti Amoghapasa, raja Kertanagara mengirim arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada raja Melayu Warrmadewa. Kedatangan arca itu diantar oleh pelbagai pembesar pemerintahan dari kerajaan Singasari. Pemberian arca itu dapat ditafsirkan sebagai pemberian çakti kepada raja Melayu. Pemberian çakti itu mengandung arti memperkokoh persahabatan untuk mengahadapi kemungkinan serangan tentara Kubilai dari Tiongkok. Demikianlah raja Kertanagara berusaha membendung pengaruh Kubilai, agar jangan sampai menjalar ke wilayah Nusantara. Untuk tujuan yang sama, raja Kertanagara mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi, untuk dikawinkan dengan raja Campa. Campa dengan ibukotanya Panduranga merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Kubilai. Agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja pangeran dari Kediri, diambil menantu oleh Kertanagara, serta raden Wijaya, panglima perang Singasari, dipasangkan dengan dua orang putrinya.
Bila dilihat lebih dalam gagasan cakrawalamandala Kertanagara sebagai usaha membendung hegemoni Kubilai atas Asia umumnya dan Asia Tenggara khususnya akan lebih berdasar dan bersumber pada watak ahangkara raja Kertanagara. Beliau sadar akan keagungan dan kekuasaannya. Tidak mau menyerah mentah terhadap kaisar Kubilai. Kesadaran akan keagungan itu menimbulkan keberanian untuk menanggulangi kekuasaan dan nafsu menjajah kaisar Kubilai di wilayah Nusantara. Dalam Negarakretagama pupuh 44/3, hanya dinyatakan bahwa semua raja-raja sampai Nusantra tunduk kepada cicit batara Girinata, yakni Sri Kertanagara. Dalam Panji Wijayakrama, tidak disebutkan kekuasaan raja Kertanagara didaerah seberang. Yang tersebut dalam pupuh VII/153 ialah kekuasaan raja Kertarajasa Jayawardana setelah pengusiran tentara Tartar dan sekembalinya tentara Singasari dari Melayu di bawah pimpinan Kebo Anabrang. Sedangkan politik perkawinan Kertanagara, baik kedalam mandala Singasari dan keluar, bukanlah usaha membendung hegemoni Kubilai melainkan sebagai upaya peredam kemungkinan pemberontakan. Demikianlah landasan politik perkawinan didalam negeri merupakan persiapan keamanan kerajaan, penegelakan pemberontakan.[46]
d. Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi Pamalayu merupakan manifestasi gagasan cakrawalamandala raja Kertanagara sebagai bumper atas hegeomoni Kubilai di Asia Tenggara. Negarakretagamai pupuh 41/5 menyebut pengiriman tentara oleh Kertanagara untuk menaklukkan Melayu pada tahun Saka 1197 atau tahun Masehi 1275. Pada pupuh 42/1, Negarakretagama kembali menyebutkan pengiriman kembali tentara Singasari atas perintah Kertanagara untuk menaklukkan Bali. Ekspedisi kedua ini berhasil dan mengantarkan raja Bali sebagai tawanan perang.[47] Dilihat dari sudut antropolitik, secara jangka pendek raja Kertanagara sepintas berhasil melaksanakan politik cakrawalamandala namun bila dilihat efek politik terhadap stabilitas dalam negeri negatif karena bermunculan pemberontakan mikro (Mahisa Rangga dan Cayaraja) serta pemberontakan makro (Jayakatwang).
e. Pemberontakan (Mikro-Makro) Atas Raja Kertanagara Sebagai Kausal Keruntuhan Singasari
Telah dijelaskan secara singkat diatas bahwa ekspedisi Pamalayu rancangan raja Kertanagara menimbulkan tindakan kontra-politik sejak ekspedisi itu masih berupa gagasan perluasan cakrawalamandala. Tindakan-tindakan kontra politik yang dilakukan para wreddha menteri menyebabkan mereka harus rela dilengserkan oleh raja Keranagara keposisi yang lebih rendah. Berita Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Panji Wijayakrama menguaraikan pemecatan para wreddha mantri yang dimulai dari pemecatan patih Raganata, demung Wiraraja, dan tumenggung Wirakreti. Pengalihan posisi dari para wreddha menteri ke para yuwa menteri itu menyebabkan nestapa dalam hati pujangga Santasemereti, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan pura keraton Singasari dan memilih bertapa di hutan.
Tak ayal pemecatan itu menimbulkan pemberontakan dari orang dalam keraton yang tidak terima atas keputusan sang prabu, pemberontakan Cayaraja/Baya/Bhayangkara pada tahun Saka 1192 atau 1280 Masehi. Slamet Muljana menafsirkan pemberotakan ini sebagai pemberontakan atas pemecatan Mpu Raganata dan para wreddha menteri lainnya sebab mengingat makna literer cayaraja adalah “bayang-bayang raja atau pelindung raja”, bhaya adalah singkatan dari bhayangkara yang berarti “pelindung, penjaga keselamatan.”[48]
Pemberontakan tak hanya berhenti sebelum ekspedisi Pamalayu dijalankan, lima tahun setelah tentara Singasari menyerang Melayu, yakni tahun 1280. Mahisa Rangka memberontak kepada Kertanagara, pemberontakan ini jika secara jumlah fisik merupakan pemberontakan mikro namun dari segi politik, pemberontakan ini merupakan kontinuitas dari pemberontakan Cayaraja.
Skala pemberontakan yang semakin membesar bukannya membuat Kertanagara sadar akan kekeliruan kebijakan politik yang ia ambil malah ia semakin bertindak gegabah dengan mengirimkan kembali pasukan Singasari untuk menaklukkan Bali. Sejak pengiriman pasukan Singasari pertama ke Melayu kekuatan militer penjaga keraton di Singasari telah menipis apalagi ditambah pengiriman tentara Singasari ke Bali. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Wiraraja, menurut Kidung Panji Wijayakrama segera ia mengutus Wirondaya untuk mengirimkan surat kepada Jayakatwang penguasa Gelang-Gelang yang berisi hasutan bahwa inilah momentum tepat untuk menyerang Singasari karena tak ada lagi pelindung militer disekeliling Kertanagara yang ada hanya “harimau tua,” Mpu Raganata.
Walaupun ekspedisi ke Bali berhasil, namun tidak dengan perlindungan raja Kertanagara di Singasari sendiri. Taktik dua arah yang dilancarkan Jayakatwang atas Singasari. Kertanagara gugur dan mengakhiri dinasti Rajasa Singasari.
3. Pendekatan Sosiokultural Atas Pemerintahan Raja Kertanagara
Uraian dari pendekatan antroreligi dan antropolitik diatas telah cukup menggambarkan watak sosial raja Kertanagara. Sifat ahangkara yang berlebihan atas pentahbisannya sebagai Jina melahirkan paradoks, alih-alih Kertanagara ingin menunjukkan kekuatan dan keagungannya (majestas) sebagai raja ternyata malah melahirkan sikap egoisme yang justru akhirnya menciptakan determinan antara dirinya dengan para pembesar-pembesar andalnya.
Pemecatan para wreddha mantri manimbulkan kebencian dihati rakyat, yang kemudian menimbulkan pemberontakan-pemberontakan baik mikro maupun makro. Secara sosial, Kertanagara mempersempit ruang gerak publik dan merampas hak bersuara dan mengeluarkan pendapat dikalangan warganya.[49] Bukannya menanggapi dengan memberikan alasan logis, malah ia semakin menunjukkan gelagai kediktatoran dengan memecat para punggawa ahli keraton.
Gagasan cakrawalamandala yang terwujud dalam ekspedisi Pamalayu menimbulkan kekhawatiran dalam diri para wreddha mantri akan timbulnya pemberontakan berskala besar. Tanggapan Kertanagara atas permasalahan ini hanya berupa tindakan solusi politik jangka pendek yaitu perkawinan politik.
Jelasnya, keruntuhan Singasari disebabkan oleh tindakan gegabah raja Kertanagara, hilangnya simpati rakyat atas pemerintahan yang dikendalikannya serta semakin menipisnya kekuatan militer pelindung keraton Singasari. Terlepasnya Kertanagara dari makna kultural yang seharusnya menjadi landasan pijakan membuatnya lari terlalu jauh dari garis lingkar konsensus hukum agama Hindu-Buddha sebagai patokan hukum sosiokutural Sehingga memudahkan pemberontak untuk menaklukkan Kertanagara baik dari segi politik, religi, dan sosial.
1. Kesimpulan
Kerajaan Singasari masa pemerintahan raja Kertanagara jika dilihat dari sudut pandang antropologi dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosikultural melahirkan tiga kesimpulan, yaitu:
Pertama : Secara antroreligi, masa pemerintahan Kertanagara pada abad ke-13 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ajaran tantrisme Vajrayana yang disebutkan dalam Negarakretagama pupuh 43/3 sebagai Tantra Subuthi. Aliran ini dipeluk oleh Kertanagara dan melegitimasikan dirinya sebagai Jina, Wairocana-Locana serta Ardhanaresvara.
Kedua : Secara antropolitik, raja Kertanagara adalah raja yang seringkali mengambil kebijakan politik out of state dari pada in of state. Kertanagara selalu memandang bahwa ancaman negara Singasari berasal dari luar (Mongolian Empire) dan tidak mengindahkan bahaya dari dalam negeri (Pemberontakan Jayakatwang).
Ketiga : Secara sosiokultural, masa pemerintahan raja Kertanagara adalah masa kegemilangan secara politik (ekpedisi Pamalayu) namun meninggalkan ironi dalam hubungan sosiokultural. Walaupun Kertanagara ditahbiskan sebagai Jina, bukannya menerapkan dharma kebuddhaan dengan mengayomi rakyat melainkan semakin mempersempit ruang gerak publik dengan merampas hak mengutarakan pendapat rakyatnya.
2. Saran
Melihat kesimpulan kajian antropologi atas pemerintahan raja Kertanagara atas Singasari diatas baik secara antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Maka kami hanya ingin menyarankan untuk tidak mengulangi pola pemerintahan seperti masa raja Kertanagara yang terlihat jaya diluar negara namun bobrok dalam konsolidasi sosial sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan terutama para pemimpin politik tanah air.
2. Pendekatan Antropolitik Atas Pemerintahan Raja Kertanagara
Sebagaimana diulas diatas, pemerintahan raja Kertanagara menurut Kidung Harsawijaya dibenci oleh para pembesar zaman Wisnuwardhana karena dipecat oleh Kertanagara akibat mereka menentang politik perluasan cakrawalamandala. Dendam kesumat ini menurut Kidung Panji Wijayakrama menimbulkan pemberontakan-pemberontakan politik atas pemerintahan Kertanagara. Walaupun dapat dipadamkan secara militer, secara ideologi kebencian itu mendarah daging dalam hati lawan politik Kertanagara. Kebencian dan dendam memuncak dengan pemberontakan Jayakatwang atas hasutan Dyah Wiraraja adipati Sumenep (Negarakretagama pupuh 44/4) dalang intelektual kejatuhan Kertanagara.
Bagaimana kiranya sebab-musabab perlawanan ini lahir dari mikro menjadi makro hanya dapat dilihat dari pendekatan antropolitik atas pemerintahan raja Kertanagara. Dengan kata lain memandang pola kebijakan politik raja Kertanagaralah sebagai sebab kemunculan tindakan kontra-politik mikro yakni pemberontakan Mahisa Rangga serta Caya Raja (Negarakretagama pupuh 41/5) atau Kalana Bhaya (Paraton) yang berhasil dipadamkan Kertanagara menjadi tindakan kontra-politik makro yang akhirnya meruntuhkan kekuasaannya. Dengan kata lain, pendekatan antropolitik mengasumsikan bahwa perlawanan politik mikro dan makro itu adalah bentuk lain dari peribahasa senjata makan tuan.
Dikatakan demikian, walaupun Kertajaya melaksanakan politik perkawinan dengan Jayakatwang dengan harapan mempererat tali kekeluargaan antara Singasari-Kediri, melalui perkawinan antara anak Kartanagara dan Ardhraja anak Jayakatwang tidak menyebabkan dendam kesumat itu reda. Solusi Kertanagara adalah solusi politis jangka pendek yang hanya menyelesaikan masalah dalam interval waktu singkat dan tidak memberikan solusi jangka panjang.
Pendekatan antropolitik, menguraikan pola pemerintahan Kertanaga secara kausal dari dalam personalitas-religius independensi raja Kertanagara, sebagai penyebab dari keruntuhan kerajaannya sendiri, yakni:
a. Sikap Ahangkara
Telah dijelaskan dimuka tentang dasar pikiran raja Kertanagara sebagai titisan Jina di kerajaan Singhasari. Terbukti bahwa sebagai Jina beliau tidak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam, tetapi juga menguasai kerajaan secara nyata. Kekuasaan rohaniah dan lahiriah yang terdapat pada satu orang itu pasti saling mempengaruhi.[43] Demikianlah, dapat diharapkan bahwa dasar pikiran raja Kertanagara sebagai Jina juga mempengaruhi politik kenegaraan yang dipeganggnya. Sebagai Jina yang menguasai kekuataan gaib di semesta alam, ia merasa kuat dan mampu menghindarkan segala bencana. Sebagai raja yang secara positif menguasai orang-orang di Keraton dan diwilayah Singasari, ia merasa orang yang tertinggi.
Demikianlah dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Pararaton kita dapati peristiwa sejarah tentang pemecatan mahamantri patih Raganata, seorang yang bijak lagi cakap dalam melaksanakan tugasnya. Namun umurnya sudah lanjut. Oleh Wiraraja, bupati Sumenep, patih dongkol Raganata disamakan dengan harimau krepuk atau harimau tua. Mahamantri empu Raganata selalu memberikan nasihat-nasihatnya kepada sang prabu. Segala kesulitan dalam menjalankan pemerintahan secara jujur dikemukan. Tindakan-tindakan yang demikian itu tidak disukai oleh batara Siwa Buddha, kahngkaraneng bhumi. Epiteton itu mengandung pengertian bahwa raja Kertanagara mengagungkan kekuatannya sendiri. Ia sadar bahwa ia menguasai kekuatan gaib. Akhirnya, mahamantri Raganata berhenti dari jabatannya sebagai patih, dan diangkat menjadi adhyaksa di Tumapel. Pengarang Panji Wijayakrama itu melanjutkan uraniannya, bahwa raja Kertanagara bersikap ahangkara atau angkuh terrhadap siapapun juga. Artinya, ia tidak takut menghadapi siapa pun juga. Dalam hal ini, sikap ahangkara itu ditujukan kepada mahamantri bijak empu Raganata yang telah berusia lanjut. Sudah pasti ada sebabnya, mengapa raja Kertanagara serta merta menghentikan patihnya dan menggantikannya dengan Mahisa Anengah dan Apanji Angragani. Pada saat pemecatan itu, raja Kertanagara merasa seakan-akan disiram kejahatan atau bermandi kejahatan, heran mengapa empu Raganata terlalu menurutkan nafsunya, terlalu mementingkan kedudukannya. Yang terang ialah bahwa raja Kertanagara tidak dapat menerima keberatan-keberatan yang dikemukakan oleh Mpu Raganata.
Sikap ahangkara itu ditunjukkan pula oleh raja Kertanagara kepada Kaisar Tiongkok Kubhilai Khan. Dalam bidang politik, raja Kertanagara ingin menguasai Nusantara. Sejak tahun 1275 Masehi (menurut Negarakretagama), ia telah mulai dengan pengiriman tentara keluar Jawa. Sikap ahangkara itu semakin membuncah pada saat utusan Kaisar Khan, Meng Ki mengirim surat perintah tunduk kepada raja Kertanagara. Dibalasnya surat itu dengan menyuruh memahatkan surat balasan Kertanagara pada kepala Meng Ki. Itulah sekedar contoh sikap ahangkara raja Kertanagara. Ia terlalu mengagungkan kekuasaannya sebagai Jina dan sebagi raja. Ia tidak takut kepada siapapun. Juga tidak takut kepada kekuasaan kaisar Tiongkok.
b. Hubungan antara Kubhlai Khan dengan Kertanagara
Setelah kaisar Kubhilai Khan melihat utusannya kembali dengan tulisan diatas dahinya, ia sangat marah. Kemudian ia menyiapkan tentaranya yang terdiri dari orang Mongolia untuk menyerbu Singasari. Ekspedisi terjadi pada tahun 1292. demikianlah pengiriman tentara Mongolia itu pada hakikatnya tidak ada hubungannya dengan undangan adipati Wiraraja dari Sumenep untuk menolong Raden Wijaya dalam memerangi raja Jayakatwang di Kediri, seperti diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Harsa Wijaya. Mereka datang di Jawa untuk menghukum raja Kertanagara atas penghinaan terhadapnya, dan memaksanya untuk tunduk kepada kehendak kaisar Kubhilai. Tentara Kubhilai itu dalam Negarakretagama, Pararaton, Kidung Harsa Wijaya dan Panji Wijayakrama disebut tentara Tartar. Tentara itu jelas bukan tentara Tionghoa.[44]
c. Politik Perkawinan dan Gagasan Cakrawalamandala
Dalam Record[45], karangan pendeta Buddha I-tsing dari Kanton, bahwa pelabuhan Melayu alias Jambi dalam abad ke-7 adalah pelabuhan penting untuk lalu lintas kapa-kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok. Boleh dipastikan bahwa pelabuhan itu dalam abad ke-13 masih mempunyai kedudukan yang sangat penting untuk lalu lintas kapal yang berlayar dari dan ke Tiongkok. Demikianlah pelabuhan Melayu itu banyak dikunjungi oleh perahu-perahu Tiongkok, perahu-perahu kaisar Kubilai. Pelabuhan Melayu menguasai pelayaran di Selat Malaka dan merupakan pangkalan untuk perluasan pengaruh Tiongkok di negeri selatan. Hal itu diketahui benar oleh raja Kertanagara. Maka, raja Kertanagara mengerahkan segala kekuatan tentara Singasari unruk merebut kekuaasaan di negeri Melayu pada tahun 1275, ketika kaisar Kubilai masih sibuk dengan usahanya menguasai Tiongkok. Diuraikan dalam Kidung Panji Wijayakrama, bahwa akibat pengerahan tentara ke negeri Melayu, melalu pelabuhan Tuban. Mereka diantar oleh patih Mahisa Anengah dan Panji Angragani. Tidaklah benar uraian Kidung Harsa Wijaya, bahwa pamalayu itu digerakkan oleh keinginan merebut putri Melayu yang akan dikawinkan dengan Raden Wijaya.
Sudah pasti bahwa raja Kertanagara mendengar berita-berita tentang serbuan tentara Mongolia di negeri Annam dan Campa antara tahun 1280 dan 1287. serbuan tentara Mongolia itu menyebabkan usaha raja Kertanagara memperkuat pembinaan persahabatan dengan negeri Melayu yang telah dikuasainya. Pada suatu saat, negeri Melayu pun akan menjadi sasaran serangan tentara Kubilai. Demikianlah pada tahun 1286, berdasarkan prasasti Amoghapasa, raja Kertanagara mengirim arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada raja Melayu Warrmadewa. Kedatangan arca itu diantar oleh pelbagai pembesar pemerintahan dari kerajaan Singasari. Pemberian arca itu dapat ditafsirkan sebagai pemberian çakti kepada raja Melayu. Pemberian çakti itu mengandung arti memperkokoh persahabatan untuk mengahadapi kemungkinan serangan tentara Kubilai dari Tiongkok. Demikianlah raja Kertanagara berusaha membendung pengaruh Kubilai, agar jangan sampai menjalar ke wilayah Nusantara. Untuk tujuan yang sama, raja Kertanagara mengirimkan putrinya, Dewi Tapasi, untuk dikawinkan dengan raja Campa. Campa dengan ibukotanya Panduranga merupakan benteng pertama untuk membendung pengaruh kekuasaan Kubilai. Agar jangan timbul kekeruhan dalam negeri selama tentara Singasari bertugas di negeri Melayu, Ardaraja pangeran dari Kediri, diambil menantu oleh Kertanagara, serta raden Wijaya, panglima perang Singasari, dipasangkan dengan dua orang putrinya.
Bila dilihat lebih dalam gagasan cakrawalamandala Kertanagara sebagai usaha membendung hegemoni Kubilai atas Asia umumnya dan Asia Tenggara khususnya akan lebih berdasar dan bersumber pada watak ahangkara raja Kertanagara. Beliau sadar akan keagungan dan kekuasaannya. Tidak mau menyerah mentah terhadap kaisar Kubilai. Kesadaran akan keagungan itu menimbulkan keberanian untuk menanggulangi kekuasaan dan nafsu menjajah kaisar Kubilai di wilayah Nusantara. Dalam Negarakretagama pupuh 44/3, hanya dinyatakan bahwa semua raja-raja sampai Nusantra tunduk kepada cicit batara Girinata, yakni Sri Kertanagara. Dalam Panji Wijayakrama, tidak disebutkan kekuasaan raja Kertanagara didaerah seberang. Yang tersebut dalam pupuh VII/153 ialah kekuasaan raja Kertarajasa Jayawardana setelah pengusiran tentara Tartar dan sekembalinya tentara Singasari dari Melayu di bawah pimpinan Kebo Anabrang. Sedangkan politik perkawinan Kertanagara, baik kedalam mandala Singasari dan keluar, bukanlah usaha membendung hegemoni Kubilai melainkan sebagai upaya peredam kemungkinan pemberontakan. Demikianlah landasan politik perkawinan didalam negeri merupakan persiapan keamanan kerajaan, penegelakan pemberontakan.[46]
d. Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi Pamalayu merupakan manifestasi gagasan cakrawalamandala raja Kertanagara sebagai bumper atas hegeomoni Kubilai di Asia Tenggara. Negarakretagamai pupuh 41/5 menyebut pengiriman tentara oleh Kertanagara untuk menaklukkan Melayu pada tahun Saka 1197 atau tahun Masehi 1275. Pada pupuh 42/1, Negarakretagama kembali menyebutkan pengiriman kembali tentara Singasari atas perintah Kertanagara untuk menaklukkan Bali. Ekspedisi kedua ini berhasil dan mengantarkan raja Bali sebagai tawanan perang.[47] Dilihat dari sudut antropolitik, secara jangka pendek raja Kertanagara sepintas berhasil melaksanakan politik cakrawalamandala namun bila dilihat efek politik terhadap stabilitas dalam negeri negatif karena bermunculan pemberontakan mikro (Mahisa Rangga dan Cayaraja) serta pemberontakan makro (Jayakatwang).
e. Pemberontakan (Mikro-Makro) Atas Raja Kertanagara Sebagai Kausal Keruntuhan Singasari
Telah dijelaskan secara singkat diatas bahwa ekspedisi Pamalayu rancangan raja Kertanagara menimbulkan tindakan kontra-politik sejak ekspedisi itu masih berupa gagasan perluasan cakrawalamandala. Tindakan-tindakan kontra politik yang dilakukan para wreddha menteri menyebabkan mereka harus rela dilengserkan oleh raja Keranagara keposisi yang lebih rendah. Berita Kidung Harsa Wijaya dan Kidung Panji Wijayakrama menguaraikan pemecatan para wreddha mantri yang dimulai dari pemecatan patih Raganata, demung Wiraraja, dan tumenggung Wirakreti. Pengalihan posisi dari para wreddha menteri ke para yuwa menteri itu menyebabkan nestapa dalam hati pujangga Santasemereti, sehingga ia memutuskan untuk meninggalkan pura keraton Singasari dan memilih bertapa di hutan.
Tak ayal pemecatan itu menimbulkan pemberontakan dari orang dalam keraton yang tidak terima atas keputusan sang prabu, pemberontakan Cayaraja/Baya/Bhayangkara pada tahun Saka 1192 atau 1280 Masehi. Slamet Muljana menafsirkan pemberotakan ini sebagai pemberontakan atas pemecatan Mpu Raganata dan para wreddha menteri lainnya sebab mengingat makna literer cayaraja adalah “bayang-bayang raja atau pelindung raja”, bhaya adalah singkatan dari bhayangkara yang berarti “pelindung, penjaga keselamatan.”[48]
Pemberontakan tak hanya berhenti sebelum ekspedisi Pamalayu dijalankan, lima tahun setelah tentara Singasari menyerang Melayu, yakni tahun 1280. Mahisa Rangka memberontak kepada Kertanagara, pemberontakan ini jika secara jumlah fisik merupakan pemberontakan mikro namun dari segi politik, pemberontakan ini merupakan kontinuitas dari pemberontakan Cayaraja.
Skala pemberontakan yang semakin membesar bukannya membuat Kertanagara sadar akan kekeliruan kebijakan politik yang ia ambil malah ia semakin bertindak gegabah dengan mengirimkan kembali pasukan Singasari untuk menaklukkan Bali. Sejak pengiriman pasukan Singasari pertama ke Melayu kekuatan militer penjaga keraton di Singasari telah menipis apalagi ditambah pengiriman tentara Singasari ke Bali. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh Wiraraja, menurut Kidung Panji Wijayakrama segera ia mengutus Wirondaya untuk mengirimkan surat kepada Jayakatwang penguasa Gelang-Gelang yang berisi hasutan bahwa inilah momentum tepat untuk menyerang Singasari karena tak ada lagi pelindung militer disekeliling Kertanagara yang ada hanya “harimau tua,” Mpu Raganata.
Walaupun ekspedisi ke Bali berhasil, namun tidak dengan perlindungan raja Kertanagara di Singasari sendiri. Taktik dua arah yang dilancarkan Jayakatwang atas Singasari. Kertanagara gugur dan mengakhiri dinasti Rajasa Singasari.
3. Pendekatan Sosiokultural Atas Pemerintahan Raja Kertanagara
Uraian dari pendekatan antroreligi dan antropolitik diatas telah cukup menggambarkan watak sosial raja Kertanagara. Sifat ahangkara yang berlebihan atas pentahbisannya sebagai Jina melahirkan paradoks, alih-alih Kertanagara ingin menunjukkan kekuatan dan keagungannya (majestas) sebagai raja ternyata malah melahirkan sikap egoisme yang justru akhirnya menciptakan determinan antara dirinya dengan para pembesar-pembesar andalnya.
Pemecatan para wreddha mantri manimbulkan kebencian dihati rakyat, yang kemudian menimbulkan pemberontakan-pemberontakan baik mikro maupun makro. Secara sosial, Kertanagara mempersempit ruang gerak publik dan merampas hak bersuara dan mengeluarkan pendapat dikalangan warganya.[49] Bukannya menanggapi dengan memberikan alasan logis, malah ia semakin menunjukkan gelagai kediktatoran dengan memecat para punggawa ahli keraton.
Gagasan cakrawalamandala yang terwujud dalam ekspedisi Pamalayu menimbulkan kekhawatiran dalam diri para wreddha mantri akan timbulnya pemberontakan berskala besar. Tanggapan Kertanagara atas permasalahan ini hanya berupa tindakan solusi politik jangka pendek yaitu perkawinan politik.
Jelasnya, keruntuhan Singasari disebabkan oleh tindakan gegabah raja Kertanagara, hilangnya simpati rakyat atas pemerintahan yang dikendalikannya serta semakin menipisnya kekuatan militer pelindung keraton Singasari. Terlepasnya Kertanagara dari makna kultural yang seharusnya menjadi landasan pijakan membuatnya lari terlalu jauh dari garis lingkar konsensus hukum agama Hindu-Buddha sebagai patokan hukum sosiokutural Sehingga memudahkan pemberontak untuk menaklukkan Kertanagara baik dari segi politik, religi, dan sosial.
1. Kesimpulan
Kerajaan Singasari masa pemerintahan raja Kertanagara jika dilihat dari sudut pandang antropologi dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosikultural melahirkan tiga kesimpulan, yaitu:
Pertama : Secara antroreligi, masa pemerintahan Kertanagara pada abad ke-13 tidak bisa dilepaskan dari perkembangan ajaran tantrisme Vajrayana yang disebutkan dalam Negarakretagama pupuh 43/3 sebagai Tantra Subuthi. Aliran ini dipeluk oleh Kertanagara dan melegitimasikan dirinya sebagai Jina, Wairocana-Locana serta Ardhanaresvara.
Kedua : Secara antropolitik, raja Kertanagara adalah raja yang seringkali mengambil kebijakan politik out of state dari pada in of state. Kertanagara selalu memandang bahwa ancaman negara Singasari berasal dari luar (Mongolian Empire) dan tidak mengindahkan bahaya dari dalam negeri (Pemberontakan Jayakatwang).
Ketiga : Secara sosiokultural, masa pemerintahan raja Kertanagara adalah masa kegemilangan secara politik (ekpedisi Pamalayu) namun meninggalkan ironi dalam hubungan sosiokultural. Walaupun Kertanagara ditahbiskan sebagai Jina, bukannya menerapkan dharma kebuddhaan dengan mengayomi rakyat melainkan semakin mempersempit ruang gerak publik dengan merampas hak mengutarakan pendapat rakyatnya.
2. Saran
Melihat kesimpulan kajian antropologi atas pemerintahan raja Kertanagara atas Singasari diatas baik secara antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Maka kami hanya ingin menyarankan untuk tidak mengulangi pola pemerintahan seperti masa raja Kertanagara yang terlihat jaya diluar negara namun bobrok dalam konsolidasi sosial sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Hendaknya hal ini benar-benar diperhatikan terutama para pemimpin politik tanah air.
Senin, 04 April 2011
Raja-raja Besar Nusantara (3)
Kerta neagara (2)
PENDEKATAN ANTROPOLOGI ATAS MODEL PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA
Telah diutarakan bahwa penobatan Kertanagara berlangsung pada tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Penobatan itu harus ditafsirkan bahwa Kertanagara pada waktu itu baru dinobatkan sebagai raja muda atau yuwaraja. Hal ini terbukti dari istilah makamngalnya (di bawah pengawasan) yang sering ditemukan dalam prasasti Kertanagara sebelum tahun 1929.[19] Baru setelah raja Wisnuwardana wafat pada tahun saka 1190 atau tahun masehi 1268, maka Kertanagara mempunyai tanggung jawab penuh se bagai raja. Sejak pembentukan kerajaan Singasari oleh Ken Arok alias raja Rajasa,[20] yang pada waktu itu belum bernama Singasari tetapi Kutaraja,[21] Kertanagara adalah raja pertama dan terakhir, alias satu-satunya raja Singasari yang penobatannya tanpa pertumpahan darah.[22] Siapa namanya waktu masih kecil tidak diketahui. Baik Pararaton maupun Negarakretagama serta Prasasti Sarwadharma dan Kidung Panji Wijayakrama tidak menyebutnya. Negarakretagama dan prasasti Sarwadharma dengan tegas menyebut bahwa nama Kertanagara adalah nama abhiseka. Dalam Kidung Panji Harsawijaya, raja Kertanagara biasa disebut Siwa-Buddha.[23] Sebabnya tidak lain karena prabu Kertanagara memang mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam tentang ajaran agama Siwa dan Buddha dan memiliki pengetahuan tentang ajaran agama.
Dari Negarakretagamai kita ketahui bahwa perubahan nama Kutaraja menjadi Singasari terjadi dalam pemerintahan raja Wisnuwardhana di sekitar tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Sumber sejarah lainnya tidak menyebut nama dusun Kutaraja yang kemudian berganti nama Singasari. Pararaton menceritakan hal lain, yakni bahwa Wisnuwardana mendirikan perbentengan (kota?) di Canggu Lor dalam tahun Masehi 1271. Canggu Lor terletak ditepi Sungai Brantas, dan mungkin sekali pembuatan perbentengan di Canggu Lor itu ada hubungannya dengan penyerangan atas Mahibit oleh raja Wisnuwardana, karena dapat diperkirakan Mahibut pun terletak di tepi Sungai Brantas, dekat Terung, tidak jauh dari letak keraton Majapahit dikemudian hari.[24] Negarakretagama agak panjang menguraikan pemerintahan raja Kertanagara. Sudah pasti bahwa uraian itu hanya menyinggung segi-segi yang baik saja, karena uraian itu ditulis dalam rangka pujasastra.[25] Demikianlah dari Negarakretagama itu saja, kita tidak akan memperoleh gambaran yang sekedar mendekati kenyataan peristiwa sejarah. Kecuali itu, uraiannya boleh dikatakan singkat singkat. Sumber sejarah lainnya akan sekedar menambah pengetahuan kita tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan harapan, didapatkan informasi solid dan valid tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan demikian pendekatan antropologi dapat dilakukan secara utuh tidak fragmentis sehingga didapatkan hasil kajian dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Hal ini menjadi penting sebab kajian antropologi berusaha meneropong raja Kertanagara sebagai bagian dari profanitas dan bukan sakralitas sebagaimana banyak diatributkan dalam pemberitaan beberapa Serat, Prasasti dan beberapa Kidung.
Penalaran akan profanitas raja Kertanagara dapat melahirkan paradigma baru bahwa Kertanagara bukanlah manusia adi-luhung sebagaimana disebutkan dalam inskripsi kuno. Melainkan ia hanyalah manusia biasa yang dapat saja tergelincir dalam subjektifitas dan egoisme atau dapat dikatakan juga memiliki kekurangan didalam kelebihan pemerintahannya. Hal ini akan terlihat dalam kajian antropolitik pemerintaha raja Kertanagara yang banyak mengandung paradoks. Begitu dengan pendekatan religi dan sosiokultural pemerintahan Kertanagara.
Dibawah ini uraian pendekatan antropologi yang telah dilakukan atas pemerintahan Kertanagara dari sudut pandang antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Pendekatan antro-religi dilakukan terlebih dahulu karena pandangan religius Kalacakra[26] yang dianut Kertanagara sangatlah mempengaruhi model pemerintahan consentris yang ia laksanakan.
Pendekatan Antroreligi Atas Paham Kalacakra Raja Kertanagara
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Raja Kertanagara menganut paham Kalacakra dan paham ini dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebut sebagai Tantra Subuthi oleh Prapanca. Alasan dipegangnya paham ini oleh raja Kertanagara disebutkan dalam Negarakretagama lanjutan pupuh 43/3, “....demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba...”
Mengenai diri dan ibadahnya Negarakretagama pupuh 43/1-6 memberikan uraian sebagai berikut:
Itulah sebabnya, baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni, teguh tawakal menjalankan pancasila, samskra, dan abhisekakrama. Tersohor nama abhiseka beliau setelah ditahbiskan sebagai Jina: Sri Jnanabajresvara. Putus dalam filsafat, tata bahasa dan ilmu lain-lainnya. Berlomba-lomba beliau menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati. Untuk keselamatan negara beliau melakukan puja, yoga, samadi. Suka memberikan derma kepada rakyat dan mendirikan biara untuk para pendeta. Diantara raja-raja sebelumnya tak ada seorangpun yang setara beliau; paham akan sadguna (enam macam politik), putus dalam ilmu, dan memang ahli dalam ajaran agama. Teguh dalam menjalankan aturan agama Jina, dan tawakal dalam laku utama. Itulah sebabnya mengapa mengapa keturunan beliau semuanya ikacatra (pelindung tunggal) dan dewaraya. Pada tahun Saka 1214, beliau pulang ke Jinalaya. Oleh karena beliau putus dalam ilmu tentang upacara (kriyantara) dan ajaran agama (sarwopadesadika), segenap rakyat memberikan gelar kepada beliau: Yang Mulia di alam Siwa Buddha. Diatas makam beliau didirikan arca Siwa-Buddha, terlampau indah. Di Sagala, ditegakkan pula arca Jina, terlampau indah permai. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai Lambang. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai lambang merupakan arca tunggal, sangat masyhur.[27]
Dari keterangan diatas ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam kajian antroreligi paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara ternyata merupakan sinkreteisme Hindhu-Buddha dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Unsur Buddha Aliran Mahayana
Unsur-unsur kemahayanaan paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara antara lain :
1. Tantra Subuthi
Dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebutkan, “...berlomba-lomba beliua menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati...” Mengenai Tantra ini Prof. Kern berpendapat, Subuthi adalah salah seorang pengikut Buddha. Nama itu terdapat dalam karya Mahayana yang bernama Prajna Paramita.[28] Tantra yang diikuti oleh Prabu Kertanagara dikatakan berasal dari Subuthi. Namun, menurut Slamet Muljana (2005, Menuju Puncak Kemegahan, hal. 145) dalam daftar karya mantra dari aliran Mahayana nama itu tidak kedapatan. Gelar bajra[29] yang terdapat dalam prasasti Tumpang dan diberikan kepada raja Kertanagara, memperkuat asumsi bahwa beliau ahli dalam mantarayana atau tantrayana. Dalam prasasti itu beliau bernama “Jnanesvara Bajra.” Nama tersebut didapat pula dalam Negarakretagama pupuh 43/2 dengan susunan yang agak berbeda sedikit, yakni Sri Jnanabajresvara. Nama itu nama abhiseka sebagai Jina. Atau dapat dikatakan, bila Tantra Subuthi ini dilihat dari sudur pandang antroreligi jelas bahwa raja Kertanagara lebih menerima ajaran ini karena didalamnya tersimpan unsur-unsur esoteris yang berupa paham kesamaan manusia sebagai arketipe ketuhanan dalam mikrokosmos yang bilamana seseorang telah masuk kedalamnya maka seluruh larangan dalam pancasila budhis terabaikan, sebab ia telah menjadi Jina/ Wairocana-Locana. Bhoddisatwa tertinggi yang mewujud dan lepas dari ikatan kemelakatan panca skandha manusia, dengan demikian ia hanya menggunakan kama-nya sebagai jalan hatha yoga menuju kebudhaan.[30] Pada permulaan abad ke-8 para pendeta Mahayana membawa kitab Mahavairocanasutra ke Tiongkok dan Tibet. Sudah pasti bahwa kitab-kitab tersebut juga sampai di Indonesia sekitar tahun 1200 atau abad ke-13.[31] Terbukti dalam makamnya, Kertanagara diwujudkan manunggal dalam arca Wairocana-Locana.
2. Samadimantra dan Abhisekakrama
Telah diketahui bahwa mantra adalah ucapan yang mengandung kekuatan gaib. Tiap bunyi, suku atau kata, berarti pendalaman tentang kekuatan gaib sebagai unsur kekuatan Brahman (purushavatara-Hindu) atau sebagai pembangkitan energi pencerahan dari alam dharmakaya sebagai bentuk sugestif-witarka dari Sang Wairocana[32]. Tiap bunyi, suku kata yang diucapkan dalam mantra adalah unsur dari kata mutlak-parâ vâc. Mengucapkan bunyi, suku atau kata yang bersangkutan berarti membangkitkan kekuatan gaib yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, dibawah ini terdapat tabel namahsiwayamantra dengan tabel makna sugestif.
Na Ma Si Va Ya
Rishi Gautama Atri Vishwamitra Angirasa Baradwaja
Chanda Gyatri Anustup Tristup Brihati Virat
Devata Indra Rudra Hari Brahma Skanda
Arah Timur Utara Barat Selatan Tengah
Swara Udatta Udatta Swaritta Swaritta Udatta
Tabel Makna Sugestif Namahsiwayamantra
Sumber : www.dharmacentral.com/articles/namahsiwayamantra.htm
Dari tabel diatas jelas terlihat bagaimana mantra membangkitkan tenaga supranatural yang setiap bunyi suku katanya dianalogikakan dengan nama-nama dewata. Dengan kata lain, mantra adalah the key of power for determination of darkness illusion-mahamaya-mara to throuh the trikaya till attempt in the enlightment of buddhahod.[33]
Kepercayaan kepada mantra tumbuh dengan suburnya dalam aliran Mahayana. Mereka yang telah terlatih dalam samadhi[34] mempunyai kemampuan supranatural. Bagi mereka tiap bunyi, tiap bunyi yang diucapkan membangkitkan kekuatan gaib sepeti yang dimaksud. Demikianlah kombinasi pemakaian mantra, mudra dan samadhi pada hakikatnya pembangkitan kekuatan gaib dari tiga jurusan, yakni dari ucapan, gerak, dan pikiran. Pembangkitan yang demikian, bagaimanapun sangat intensif. Demikianlah sadhaka, yakni orang yang berlatih atau terlatih, mampu menguasai segala kekuatan menurut kehendak hatinya. Karena pemusatan diri kepada suatu mantra yang mempunyai pertalian erat dengan dewa tertentu, sadhaka memerintahkan dewa yang bersangkutan menitis kedalam dirinya. Akibatnya, ia memiliki kekuatan gaib seperti dewa yang dipanggilnya.[35] Penggunaan mantra dan ber-samadhi hanya dapat berhasil atas petunjuk seorang guru yang mahir dalam hal bersangkutan. Hanya guru yang demikianlah yang mempunyai wewenang untuk menahbiskan seorang murid atau seorang dik’a. Dengan penahbisan itu, murid yang bersankutan wewenang untuk turut memiliki atau menguasai kekuatan gaib. Penahbisan itu disebut abhiseka.
Dari penjelasan ini bila dilihat dari sudut pandang antroreligi akan menjadi kesimpulan bahwa penahbisan Kertanagara sebagai Jnanabajreswara (Negarakretagama) atau Jnanesvara Bajra (Prasasti Tumpang-Prasasti Singasari) menjadi sebentuk penteofanian[36] diri Kertanagara sebagai nirmanakaya.
Unsur Hindhu Aliran Siwa
Setelah membahas unsur kebuddhaan paham Kalacakra yang dianut oleh Kertanagara. Maka kini unsur-unsur Hindhu Siwa, yakni:
1. Kamayoga
Yoga diperlukan dalam menjalankan samadhi dan mantra. Yoga berasal dari kata yug yang berarti menghubungkan atman kepada Brahman (realitas tertinggi) atau dengan kata lain meleburkan diri (purusha) kedalam widyut-energi murni (mahapurusha). Dalam kajian antroreligi tindakan seperti ini disebut sebagai memanifestasikan keagungan (majestas) yang sakral kepada yang profan (being).
Dalam paham Kalacakra dari kacamata Hindhu berarti penghubungan diri dengan realitas tertinggi (Ishvara) dengan menggunakan kama-nafsu ragawi sabagai kamasana-kendaraan jasmani menghalau maya-ilusi, hingga mencapau mahamaya-realitas ilusi, menuju moksa atau kelenyapan.[37] Moksa dalam Hindu umumnya terjadi setelah kematian, namun dalam Tantrisme Kalacakra moksa dapat dicapai bahkan sebelum kematian mengahadang. Namun untuk meraihnya diperlukan tekhnik yoga tertentu. Dalam hal ini terutama hathayoga, yakni yoga yang sangat keras, memegang peranan penting. Yogin, atau praktisi yoga laki-laki (Yogini untuk perempuan) yang sedang menjalankan yoga tersebut, harus berusaha membangkitkan ular sebagai titisan dewi Parwati sakti Siwa.[38] Ular itu akan menutup saluran tertentu dalam badan yang akan memberikan akibat kemenangan atas samsara-kesengsaraan.[39] Latihan itu disebut tantrayana, latihan membangkitkan Dewi.[40] Persetubuhan dengan dewi ular titisan sakti Siwa adalah bentuk kebahagiaan yang tertinggi yang dapat dicapai.[41] Dasar filsafat kepercayaan ini ialah bahwa realitas yang tertinggi ialah persatuan antara dua sifat yang berjenis maskulin dan feminin. Jenis maskulin adalah aspek yang tertinggi, sedangkan jenis feminin adalah aspek pembebasan. Yang pertama disebut upaya, yakni syarat. Maksudnya ialah syarat mencapai kebenaran. Yang kedua bersifat pasif, merupakan aspek pembebasan, disebut prajna. Kesatuan antara maskulinitas dan feminitas melaksanakan kesatuan transendental, mengakibatkan pembebasan dari samsara. Berdasarkan pandangan itu, maka semua dewa, Buddha dan boddhisattva mempunyai sakti yang berupa dewi atau perempuan. Kesatuan antara jenis maskulin dan jenis feminin adalah manifestasi dari prinsip tertinggi. Demikianlah dapat dipahami mengapa dalam tantrayana, persetubuhan mendapat kedudukan yang sangat tinggi, dan wanita sebagai pendukung feminitas mendapat kehormatan luar biasa. Seorang wanita yang menjadi yogini dengan sendrinya mendapat kehormatan dan kedudukan yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada wanita biasa. Oleh karena itu, persetubuhan dengan seorang yogini dipandang sebagai salah satu jalan yang mulia untuk mencapai pembebasan. Jika dilakukan dengan awidya, mengakibatkan klesa-dosa atau leta yang merupakan perintang kejalan moksa. Terbukti dalam pendarmaannya, di Sagala Kertanagara ditegakkan arca Ardhanesvara[42] yang merupakan arca Siwa manunggal dengan saktinya, yakni dewi Parwati.
PENDEKATAN ANTROPOLOGI ATAS MODEL PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA
Telah diutarakan bahwa penobatan Kertanagara berlangsung pada tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Penobatan itu harus ditafsirkan bahwa Kertanagara pada waktu itu baru dinobatkan sebagai raja muda atau yuwaraja. Hal ini terbukti dari istilah makamngalnya (di bawah pengawasan) yang sering ditemukan dalam prasasti Kertanagara sebelum tahun 1929.[19] Baru setelah raja Wisnuwardana wafat pada tahun saka 1190 atau tahun masehi 1268, maka Kertanagara mempunyai tanggung jawab penuh se bagai raja. Sejak pembentukan kerajaan Singasari oleh Ken Arok alias raja Rajasa,[20] yang pada waktu itu belum bernama Singasari tetapi Kutaraja,[21] Kertanagara adalah raja pertama dan terakhir, alias satu-satunya raja Singasari yang penobatannya tanpa pertumpahan darah.[22] Siapa namanya waktu masih kecil tidak diketahui. Baik Pararaton maupun Negarakretagama serta Prasasti Sarwadharma dan Kidung Panji Wijayakrama tidak menyebutnya. Negarakretagama dan prasasti Sarwadharma dengan tegas menyebut bahwa nama Kertanagara adalah nama abhiseka. Dalam Kidung Panji Harsawijaya, raja Kertanagara biasa disebut Siwa-Buddha.[23] Sebabnya tidak lain karena prabu Kertanagara memang mempunyai pengetahuan yang sangat mendalam tentang ajaran agama Siwa dan Buddha dan memiliki pengetahuan tentang ajaran agama.
Dari Negarakretagamai kita ketahui bahwa perubahan nama Kutaraja menjadi Singasari terjadi dalam pemerintahan raja Wisnuwardhana di sekitar tahun Saka 1176 atau tahun Masehi 1254. Sumber sejarah lainnya tidak menyebut nama dusun Kutaraja yang kemudian berganti nama Singasari. Pararaton menceritakan hal lain, yakni bahwa Wisnuwardana mendirikan perbentengan (kota?) di Canggu Lor dalam tahun Masehi 1271. Canggu Lor terletak ditepi Sungai Brantas, dan mungkin sekali pembuatan perbentengan di Canggu Lor itu ada hubungannya dengan penyerangan atas Mahibit oleh raja Wisnuwardana, karena dapat diperkirakan Mahibut pun terletak di tepi Sungai Brantas, dekat Terung, tidak jauh dari letak keraton Majapahit dikemudian hari.[24] Negarakretagama agak panjang menguraikan pemerintahan raja Kertanagara. Sudah pasti bahwa uraian itu hanya menyinggung segi-segi yang baik saja, karena uraian itu ditulis dalam rangka pujasastra.[25] Demikianlah dari Negarakretagama itu saja, kita tidak akan memperoleh gambaran yang sekedar mendekati kenyataan peristiwa sejarah. Kecuali itu, uraiannya boleh dikatakan singkat singkat. Sumber sejarah lainnya akan sekedar menambah pengetahuan kita tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan harapan, didapatkan informasi solid dan valid tentang diri dan pemerintahan raja Kertanagara. Dengan demikian pendekatan antropologi dapat dilakukan secara utuh tidak fragmentis sehingga didapatkan hasil kajian dari prespektif antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Hal ini menjadi penting sebab kajian antropologi berusaha meneropong raja Kertanagara sebagai bagian dari profanitas dan bukan sakralitas sebagaimana banyak diatributkan dalam pemberitaan beberapa Serat, Prasasti dan beberapa Kidung.
Penalaran akan profanitas raja Kertanagara dapat melahirkan paradigma baru bahwa Kertanagara bukanlah manusia adi-luhung sebagaimana disebutkan dalam inskripsi kuno. Melainkan ia hanyalah manusia biasa yang dapat saja tergelincir dalam subjektifitas dan egoisme atau dapat dikatakan juga memiliki kekurangan didalam kelebihan pemerintahannya. Hal ini akan terlihat dalam kajian antropolitik pemerintaha raja Kertanagara yang banyak mengandung paradoks. Begitu dengan pendekatan religi dan sosiokultural pemerintahan Kertanagara.
Dibawah ini uraian pendekatan antropologi yang telah dilakukan atas pemerintahan Kertanagara dari sudut pandang antroreligi, antropolitik, dan sosiokultural. Pendekatan antro-religi dilakukan terlebih dahulu karena pandangan religius Kalacakra[26] yang dianut Kertanagara sangatlah mempengaruhi model pemerintahan consentris yang ia laksanakan.
Pendekatan Antroreligi Atas Paham Kalacakra Raja Kertanagara
Sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Raja Kertanagara menganut paham Kalacakra dan paham ini dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebut sebagai Tantra Subuthi oleh Prapanca. Alasan dipegangnya paham ini oleh raja Kertanagara disebutkan dalam Negarakretagama lanjutan pupuh 43/3, “....demi keselamatan seluruh praja. Menghindarkan tenung, mengindahkan anugerah kepada rakyat murba...”
Mengenai diri dan ibadahnya Negarakretagama pupuh 43/1-6 memberikan uraian sebagai berikut:
Itulah sebabnya, baginda teguh bakti menyembah kaki Sakyamuni, teguh tawakal menjalankan pancasila, samskra, dan abhisekakrama. Tersohor nama abhiseka beliau setelah ditahbiskan sebagai Jina: Sri Jnanabajresvara. Putus dalam filsafat, tata bahasa dan ilmu lain-lainnya. Berlomba-lomba beliau menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati. Untuk keselamatan negara beliau melakukan puja, yoga, samadi. Suka memberikan derma kepada rakyat dan mendirikan biara untuk para pendeta. Diantara raja-raja sebelumnya tak ada seorangpun yang setara beliau; paham akan sadguna (enam macam politik), putus dalam ilmu, dan memang ahli dalam ajaran agama. Teguh dalam menjalankan aturan agama Jina, dan tawakal dalam laku utama. Itulah sebabnya mengapa mengapa keturunan beliau semuanya ikacatra (pelindung tunggal) dan dewaraya. Pada tahun Saka 1214, beliau pulang ke Jinalaya. Oleh karena beliau putus dalam ilmu tentang upacara (kriyantara) dan ajaran agama (sarwopadesadika), segenap rakyat memberikan gelar kepada beliau: Yang Mulia di alam Siwa Buddha. Diatas makam beliau didirikan arca Siwa-Buddha, terlampau indah. Di Sagala, ditegakkan pula arca Jina, terlampau indah permai. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai Lambang. Kecuali itu juga arca Ardanateswari bersama Sri Bajradewi manunggal. Hyang Wairocana dan Locana sebagai lambang merupakan arca tunggal, sangat masyhur.[27]
Dari keterangan diatas ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam kajian antroreligi paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara ternyata merupakan sinkreteisme Hindhu-Buddha dan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
Unsur Buddha Aliran Mahayana
Unsur-unsur kemahayanaan paham Kalacakra yang dianut oleh raja Kertanagara antara lain :
1. Tantra Subuthi
Dalam Negarakretagama pupuh 43/3 disebutkan, “...berlomba-lomba beliua menyerap seluk beluk kebatinan. Terutama tantra Subuthi, diselami rasanya merasuk kedalam hati...” Mengenai Tantra ini Prof. Kern berpendapat, Subuthi adalah salah seorang pengikut Buddha. Nama itu terdapat dalam karya Mahayana yang bernama Prajna Paramita.[28] Tantra yang diikuti oleh Prabu Kertanagara dikatakan berasal dari Subuthi. Namun, menurut Slamet Muljana (2005, Menuju Puncak Kemegahan, hal. 145) dalam daftar karya mantra dari aliran Mahayana nama itu tidak kedapatan. Gelar bajra[29] yang terdapat dalam prasasti Tumpang dan diberikan kepada raja Kertanagara, memperkuat asumsi bahwa beliau ahli dalam mantarayana atau tantrayana. Dalam prasasti itu beliau bernama “Jnanesvara Bajra.” Nama tersebut didapat pula dalam Negarakretagama pupuh 43/2 dengan susunan yang agak berbeda sedikit, yakni Sri Jnanabajresvara. Nama itu nama abhiseka sebagai Jina. Atau dapat dikatakan, bila Tantra Subuthi ini dilihat dari sudur pandang antroreligi jelas bahwa raja Kertanagara lebih menerima ajaran ini karena didalamnya tersimpan unsur-unsur esoteris yang berupa paham kesamaan manusia sebagai arketipe ketuhanan dalam mikrokosmos yang bilamana seseorang telah masuk kedalamnya maka seluruh larangan dalam pancasila budhis terabaikan, sebab ia telah menjadi Jina/ Wairocana-Locana. Bhoddisatwa tertinggi yang mewujud dan lepas dari ikatan kemelakatan panca skandha manusia, dengan demikian ia hanya menggunakan kama-nya sebagai jalan hatha yoga menuju kebudhaan.[30] Pada permulaan abad ke-8 para pendeta Mahayana membawa kitab Mahavairocanasutra ke Tiongkok dan Tibet. Sudah pasti bahwa kitab-kitab tersebut juga sampai di Indonesia sekitar tahun 1200 atau abad ke-13.[31] Terbukti dalam makamnya, Kertanagara diwujudkan manunggal dalam arca Wairocana-Locana.
2. Samadimantra dan Abhisekakrama
Telah diketahui bahwa mantra adalah ucapan yang mengandung kekuatan gaib. Tiap bunyi, suku atau kata, berarti pendalaman tentang kekuatan gaib sebagai unsur kekuatan Brahman (purushavatara-Hindu) atau sebagai pembangkitan energi pencerahan dari alam dharmakaya sebagai bentuk sugestif-witarka dari Sang Wairocana[32]. Tiap bunyi, suku kata yang diucapkan dalam mantra adalah unsur dari kata mutlak-parâ vâc. Mengucapkan bunyi, suku atau kata yang bersangkutan berarti membangkitkan kekuatan gaib yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, dibawah ini terdapat tabel namahsiwayamantra dengan tabel makna sugestif.
Na Ma Si Va Ya
Rishi Gautama Atri Vishwamitra Angirasa Baradwaja
Chanda Gyatri Anustup Tristup Brihati Virat
Devata Indra Rudra Hari Brahma Skanda
Arah Timur Utara Barat Selatan Tengah
Swara Udatta Udatta Swaritta Swaritta Udatta
Tabel Makna Sugestif Namahsiwayamantra
Sumber : www.dharmacentral.com/articles/namahsiwayamantra.htm
Dari tabel diatas jelas terlihat bagaimana mantra membangkitkan tenaga supranatural yang setiap bunyi suku katanya dianalogikakan dengan nama-nama dewata. Dengan kata lain, mantra adalah the key of power for determination of darkness illusion-mahamaya-mara to throuh the trikaya till attempt in the enlightment of buddhahod.[33]
Kepercayaan kepada mantra tumbuh dengan suburnya dalam aliran Mahayana. Mereka yang telah terlatih dalam samadhi[34] mempunyai kemampuan supranatural. Bagi mereka tiap bunyi, tiap bunyi yang diucapkan membangkitkan kekuatan gaib sepeti yang dimaksud. Demikianlah kombinasi pemakaian mantra, mudra dan samadhi pada hakikatnya pembangkitan kekuatan gaib dari tiga jurusan, yakni dari ucapan, gerak, dan pikiran. Pembangkitan yang demikian, bagaimanapun sangat intensif. Demikianlah sadhaka, yakni orang yang berlatih atau terlatih, mampu menguasai segala kekuatan menurut kehendak hatinya. Karena pemusatan diri kepada suatu mantra yang mempunyai pertalian erat dengan dewa tertentu, sadhaka memerintahkan dewa yang bersangkutan menitis kedalam dirinya. Akibatnya, ia memiliki kekuatan gaib seperti dewa yang dipanggilnya.[35] Penggunaan mantra dan ber-samadhi hanya dapat berhasil atas petunjuk seorang guru yang mahir dalam hal bersangkutan. Hanya guru yang demikianlah yang mempunyai wewenang untuk menahbiskan seorang murid atau seorang dik’a. Dengan penahbisan itu, murid yang bersankutan wewenang untuk turut memiliki atau menguasai kekuatan gaib. Penahbisan itu disebut abhiseka.
Dari penjelasan ini bila dilihat dari sudut pandang antroreligi akan menjadi kesimpulan bahwa penahbisan Kertanagara sebagai Jnanabajreswara (Negarakretagama) atau Jnanesvara Bajra (Prasasti Tumpang-Prasasti Singasari) menjadi sebentuk penteofanian[36] diri Kertanagara sebagai nirmanakaya.
Unsur Hindhu Aliran Siwa
Setelah membahas unsur kebuddhaan paham Kalacakra yang dianut oleh Kertanagara. Maka kini unsur-unsur Hindhu Siwa, yakni:
1. Kamayoga
Yoga diperlukan dalam menjalankan samadhi dan mantra. Yoga berasal dari kata yug yang berarti menghubungkan atman kepada Brahman (realitas tertinggi) atau dengan kata lain meleburkan diri (purusha) kedalam widyut-energi murni (mahapurusha). Dalam kajian antroreligi tindakan seperti ini disebut sebagai memanifestasikan keagungan (majestas) yang sakral kepada yang profan (being).
Dalam paham Kalacakra dari kacamata Hindhu berarti penghubungan diri dengan realitas tertinggi (Ishvara) dengan menggunakan kama-nafsu ragawi sabagai kamasana-kendaraan jasmani menghalau maya-ilusi, hingga mencapau mahamaya-realitas ilusi, menuju moksa atau kelenyapan.[37] Moksa dalam Hindu umumnya terjadi setelah kematian, namun dalam Tantrisme Kalacakra moksa dapat dicapai bahkan sebelum kematian mengahadang. Namun untuk meraihnya diperlukan tekhnik yoga tertentu. Dalam hal ini terutama hathayoga, yakni yoga yang sangat keras, memegang peranan penting. Yogin, atau praktisi yoga laki-laki (Yogini untuk perempuan) yang sedang menjalankan yoga tersebut, harus berusaha membangkitkan ular sebagai titisan dewi Parwati sakti Siwa.[38] Ular itu akan menutup saluran tertentu dalam badan yang akan memberikan akibat kemenangan atas samsara-kesengsaraan.[39] Latihan itu disebut tantrayana, latihan membangkitkan Dewi.[40] Persetubuhan dengan dewi ular titisan sakti Siwa adalah bentuk kebahagiaan yang tertinggi yang dapat dicapai.[41] Dasar filsafat kepercayaan ini ialah bahwa realitas yang tertinggi ialah persatuan antara dua sifat yang berjenis maskulin dan feminin. Jenis maskulin adalah aspek yang tertinggi, sedangkan jenis feminin adalah aspek pembebasan. Yang pertama disebut upaya, yakni syarat. Maksudnya ialah syarat mencapai kebenaran. Yang kedua bersifat pasif, merupakan aspek pembebasan, disebut prajna. Kesatuan antara maskulinitas dan feminitas melaksanakan kesatuan transendental, mengakibatkan pembebasan dari samsara. Berdasarkan pandangan itu, maka semua dewa, Buddha dan boddhisattva mempunyai sakti yang berupa dewi atau perempuan. Kesatuan antara jenis maskulin dan jenis feminin adalah manifestasi dari prinsip tertinggi. Demikianlah dapat dipahami mengapa dalam tantrayana, persetubuhan mendapat kedudukan yang sangat tinggi, dan wanita sebagai pendukung feminitas mendapat kehormatan luar biasa. Seorang wanita yang menjadi yogini dengan sendrinya mendapat kehormatan dan kedudukan yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada wanita biasa. Oleh karena itu, persetubuhan dengan seorang yogini dipandang sebagai salah satu jalan yang mulia untuk mencapai pembebasan. Jika dilakukan dengan awidya, mengakibatkan klesa-dosa atau leta yang merupakan perintang kejalan moksa. Terbukti dalam pendarmaannya, di Sagala Kertanagara ditegakkan arca Ardhanesvara[42] yang merupakan arca Siwa manunggal dengan saktinya, yakni dewi Parwati.
Raja-raja Besar Nusantara (3)
Raja Kertaneagara (1)
Kertanagara mungkin merupakan satu-satunya tokoh Nusantara yang “terpaksa” harus dicatat dalam perjalanan sejarah dunia ketika berbicara mengenai Mongol. Ia lah tokoh yang membuat Nusantara menjadi satu dari dua kerajaan yang tidak pernah dapat ditaklukan hegemoni Mongol setelah Jepang, meskipun kemudian jepang dalam beberapa tafsiran sejarah dinyatakan melakukan pembayaran rutin (upeti) terhadap Mongol sehingga Mongol kemudian tidak meneruskan ekspedisi penaklukannya ke Jepang.
Ekspedisi Pamalayu, otonomi daerah, merupakan beberapa kebijakan yang menjadi terobosan pada masa pemerintahan Kertanagara. Nagarakratagama/Desawarnana, menempatkan masa pemerintahan raja Kertanagara kedalam sebuah pembahasan khusus. Kitab Pujasastra yang digubah dizaman Hayam Wuruk ini menempatkannya sebagai seorang Yogin sejati pengikut Tantrisme Subhuti. Ciri khas keagamaan Tantrisnya melahirkan konsepsi religius sinkretis Hindhu-Buddha, yang menurut Prof. Aminuddin Kasdi, yang dikutipnya dari pendapat Soekmono dan Krom, sebagai Tantrisme Kalacakra. Tak ayal kemudian, konsep religius ini mempengaruhi jalan kebijakan politik yang Kertanagara tempuh. Dibawah ini, kami sajikan sebuah makalah yang mengungkap secara gamblang mengenai seorang Kertanegara beserta pandangan Politiknya dan pandangannya terhadap Agama.
Latar Belakang
Pemerintahan raja Kertanagara sangat menarik perhatian , karena selama Kertanagara memegang pemerintahan, terjadi berbegai peristiwa sejarah yang penting untuk diketahui. Pemberitaan peristiwa sejarah itu pun kadang-kadang menimbulkan persoalan yang meminta pemecahan dari para ahli sejarah karena penjelasan mengenai jalannya peristiwa masih gelap. Demikianlah untuk memahami jalannya peristiwa sejarah dalam pemerintahan raja Kertanagara, khususnya kita harus mencurahkan perhatian sepenuhnya.
Peristiwa sejarah penting yang masih simpang siur pemberitaannya, seperti ekspedisi Pamalayu atau perluasan cakrawala mandala, pemberontakan dalam negeri, pergantian para wreddha patih dan pengangkatan para yuwa patih, serta kejatuhan Kertanagara sebagai akhir dari kekuasaan Singhasari atau dinasti Rajasa.
Tinjauan antropolitik, sosiokultural, dan religi sangat diperlukan demi terangnya masa-masa peralihan dari Singhasari ke Majapahit ini. Pemusatan kajian dan pendekatan antropologi tidak bisa dipungkiri menjadi pilihan akhir dari metode penelitian atas pemerintahan Kertanagara, khususnya sebagai bagian dari analisis mikro raja-raja dinasti Rajasa. Atas dasar itulah makalah ini dibuat dengan judul, Singhasari, Masa Keemasan Kertanagara dan Keruntuhan Dinasti Rajasa, Analasis Antroreligi, Antropolitik, dan Sosiokultural atas Pemerintahan Kertanagara.
Pemerintahan Kertanagara merupakan masa keemasan Singhasari dan merupakan zaman lahirnya embrio gagasan Nusantara berupa perluasan cakrawala mandala yang diwujudkan dalam ekspedisi Pamalayu. Namun ironisnya, kemajuan disatu pihak beriringan denga kemunduran dipihak lain yaitu, pemeberontakan Jayakatwang sebagai titik didih perlawanan atas sikap ahangkara raja Kertanagara. Peristiwa-peristiwa sejarah disekitar masa Kertanagara mengandung paradoks yang melahirkan pertanyaan, jika demikian bagaimanakan kiranya bila masa Kertanagara dikaji dari sudut pandang antropologi prespektif religi antropolitik, dan sosiokultural berkaitan dengan kejatuhan Singhasari?
Makalah ini terbatas membahas masa akhir Singhasari terfokus pada masa pemerintahan Kartanagara ( 1254-1292 M) dari prespektif antropologi. Dan terlepas dari kajian antropologi dari prespektif ekonomi.
HISTORIOGRAFI MASA PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA
Negarakretagama pupuh 41/3 menguraikan bahwa pada tahun 1176 Saka (1254 M) Raja Wisnuwardhana menobatkan putranya. Segenap raja Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara penobatan itu. Setelah dinobatkan, putra mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanagara.
Uraian diatas seolah-oleh memberi kesan pada tahun 1254 itu, Wisnuwardhana menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Kertanagara. Hal itu tidak benar karena dalam prasasti Mula-Malurung dinyatakan dengan jelas bahwa pada tahun 1255 Wisnuwardhana masih memerintah di Tumapel, sebagai raja agung yang menguasai Janggala dan Panjalu. Raja Kertanagara dinobatkan di Daha sebagai raja bawahan atau raja muda-yuwaraja. Berkat kelahirannya dari perkawinan Wisnuwardhana dengan Permaisuri Waning Hyun, Kertanagara mempunyai kedudukan sebagai raja mahkota, mengepalai raja-raja bawahan lainnya. Sebagai raja bawahan yang memerintah Daha, ia mempunyai hak untuk mengeluarkan prasasti diwilayahnya. Hal itu memang terjadi. Prasasti Pakis Wetan, bertarikh 8 Februari 1267, dikeluarkan oleh raja Kertanagara pada waktu raja Wisnuwardhana masih hidup.[1] Baru sepeninggal raja Wisnuwardhana pada tahun 1270[2], Kertanagara bertindak sebagai raja agung menguasai Singhasari[3] dan Kediri seperti mendiang Wisnuardhana.
Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menguraikan watak Sri Kertanagara, yang juga bergelar Siwa-Buddha,[4] seperi berikut:
“Raja Kertanagara mempunyai mahamantri, bernama Mpu Raganata. Mpu Raganata adalah orang baik, jujur dan pemberani. Tanpa tedeng aling-aling, ia berani mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap sikap dan pimpinan sang Prabu. Hubungannya dengan Prabu Kertanagara disamakan dengan hubungan Patih Sri Laksmikirana dengan Prabu Sri Cayapurusa dalam cerita Singhalanggala. Juga patih Sri Laksmikirana bersikap jujur, berani membantah dan mencela sikap sang Prabu Cayapurusa. Prabu Kertanagara yang berwatak angkuh dan sadar akan kekuatan dan kekuasaannya (ahangkara), menolak mentah-mentah pendapat dam keberatan Mpu Raganata bahkam beliau menjadi muram lagi murka, seolah-olah disiram dengan kejahatan, mendengar ujaran Mpu Raganata. Dengan serta merta Mpu Raganata dipecat dari jabatannya, digantikan oleh Mahisa Anengah Panji Angragani.”
Dalam Kidung Harasawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara melorot Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi menjadi ramadhyaksa di Tumapel. Mpu Raganata kecewa, tidak senang dengan pemerintahan Sang Prabu. Dikatakan dalam kidung tersebut, asmu ewa sang mantri wrédha rirehira sang ahulun. Wiraraja dilorot kedudukannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur. Ia tidak senang terhadap pemerintahan Raja Kertanagara. Dikatakan, tan trepti rehing nagari arawat-rawat kewuh. Tumenggung Wirekreti dilorot kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya (menteri pembantu). Pujangga Santasemereti meninggalkan Pura untuk bertapa di hutan. Pupuh 1/82a menguraikan bahwa penurunan Wiraraja dari jabatan demung manjadi adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan. Dari percakapan antara Wirondaya dan Raja Jayakatwang, dalam pupuh 2/16a-16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan yuwa mantri (menteri muda) rakyat tidak senang terhadap sikap Sang Prabu Kertanagara. Perbuatan itu menimbulkan kegelisahan dan kesenjangan antara generasi tua zaman Wisnuwardhana yang masih hidup dengan generasi muda zaman Kertanagara yang mendukung gagasan perluasan cakrawala mandala.
Demikianlah sepeninggal Wisnuwardhana dan Bhatara Narasinghamurti, Prabu Kertanagara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Prabu Wisnuwardhana dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Prabu Kertanagara, disingkirkan dan diganti oleh tenaga-tenaga baru, yang menyetujui gagasan politik Sang Prabu Kertanagara. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan diantara para pengawal dan rakyat.
Nama Mpu Raganata tidak tercatat dalam prasasti Sarwadharma yang dikeluarkan pada bulan Kartika tahun 1191 Saka (Oktober-November 1269). Pada prasasti tersebut , yang tercatat ialah Patih Kebo Arema dan Sang Ramapati, yang sangat dipuja sebagai penasehat politik sang prabu dalam mengadakan hubungan dengan pembesar-pembesar di Madura dan Nusantara. Sang Ramapati mengepalai kabinet menteri yang terdiri dari patih, demung, tumenggung, rangga, dan kanuruhan. Melihat fungsinya dalam pemerintahan, kiranya Sang Ramapati dalam prasasti Sarwadharma itu sama dengan Mpu Raganata dalam Pararaton dan Kidung Harsawijaya ataupun Panji Wijayakrama.
Timbullah pemberontakan bersenjata yang mengejutkan Prabu Kertanagara. Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menyebut pemberontakan Kelana Bhayangkara, dan Negarakretagama pupuh 41/4 pemberontakan Cayaraja.[5] Pemberontakan-pemberontakan itu, meskipun akhirnya dapat ditumpas, menghambat pelaksanaan gagasan politik perluasan wilayah. Untuk dapat menngirim tentara ke seberang lautan, kekeruhan didalam negeri harus diatasi dulu.
Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, dan Negarakretagama pupuh 41, semuanya menyebutkan pengiriman tentara Singhasari ke negeri Melayu (Suwarbabhumi) pada tahun Saka 1187 (1275 M), lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana Bhayangkara atau Cayaraja. Dalam Kidung Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasehat Raganata tentang pengiriman tentara ke Suwarnabhumi ditolak oleh Prabu Kertanagara. Raganata mengingatkan sang prabu tentang kemungkinan balas dendam Raja Jayakatwang dari Kediri terhadap Singhasari, sebab Singhasari dalam keadaan kosong akibat pengiriman tentara ke Suwarnabhumi. Prabu Kertanagara berpendapat, raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang budi kepada sang prabu.[6] Jayakatwang adalah bekas pengalasan (pegawai) keraton Singhasari, yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Sri Kertanagara.[7] Gagasan pengiriman tentara ke Suwarnabhumi dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti Raganata. Demikianlah diputuskan untuk mengirimkan tentara ke Melayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 M. Dalam sastra sejarah Jawa kuno, ekpedisi ke Melayu itu biasa disebut Pamalayu atau perang Malayu.[8] Ekspedisi ke Malayu berhasil baik. Tentara Singhasari berhasil menundukkan raja Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya, yang berpusat di Jambi dan menguasai Selat Malaka. Terbukti dari isi prasasti pada alas arca Amoghapasa dari Padangroco yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada bulan Bharadhapada tahun Saka 1208 (Agustus-Sepetember 1286 M).[9] Bunyinya sebagai berikut:[10]
“Salam bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Bhadrapada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu, Wage, hari Kamis, wuku Madangkungan, letak raja bintang di barat daya... tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta saptaratna-tujuh ratna permata,[11] dibawa dari bumi Jawa ke Suwarnabhumi ditegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah Sri Wiswarupa. Untuk tujuan tersebut, Sri Kertanagara Wikramottunggadewa memerintahkan rakryan mahamantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma, payanan Hyang Dipangkaradasa, rakryan demung Wira, untuk menghantar paduka arca Amoghapasa.
Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Malayu, termasuk para brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.”
Negarakretagama pupuh 41/5 menguraikan bahwa Prabu Kertanagara dengan pengiriman tentara itu sebenarnya mengharapkan agar Raja Dharmasraya tunduk begitu saja karena takut akan kesaktian sang prabu. Ekspedisi ke negeri Malayu yang berjaya gilang-gemilang, mempunyai akibat yang sangat buruk didalam negeri. Pada tahun 1280 M., timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah[12] menurut pemberitaan Negarakretagama pupuh 42/1. Pembesar-pembesar yang kena pecat, terutama adipati Wiraraja di Sumenep, mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya kepada Sri Kertanagara. Ia menghasut raja bawahan Jayakatwang dari Kediri yang berkuasa di Gelang-gelang untuk memberontak dengan cara mengirim surat[13] pada tahun Saka 1214 atau 1292 M, seperti berikut:
“Patih memberitahukan kepada sang prabu. Padukanata dapat disamakan dengan orang yang sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan tempat yang setepat-tepatnya. Pergunakan saat yang sebaik-baiknya. Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat. Tegal sedang tandus; tidak ada rumput, tidak ada ilalang; daun-daun sedang gugur, berhamburan ketanah. Bukitnya kecil-kecil, jurangnya tidak berbahaya, hanya didiami harimau yang sama sekali tidak menakutkan. Tidak ada kerbau, sapi, dan rusa yang bertanduk. Jika mereka sedang menyenggut, baiklah mereka diburu. Pasti tidak berdaya. Satu-satunya harimau yang tinggal adalah harimau guguh, sudah tua renta, yakni empu Raganata.”[14]
Dari surat hasutan Wiraraja diatas, nyata bahwa Singhasari dalam keadaaan kosong. Tidak ada lagi orang yang dapat dibanggakan. Raganata adalah satu-satunya pembesar, yang terpandang sebagai pahlawan, namun ia sudah tua renta, seperti harimau kawakan, yang tidak lagi bergigi. Meskipun demikian, raja Kertanagara segan menyadari kenyataaan itu. Beliau berani menolak permintaan Meng Khi, utusan Kaisar Cina Kubilai Khan, untuk mengakui kekuasaan kaisar dan mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa upeti sebagai tanda takluk.[15] Meng Ki dipahat dahinya dan disuruh pulang.[16] Hinaan terhadap utusan Kaisar Tiongkok itu berlangsung pada tahun 1289 M. Prabu Kertanagara segan tunduk kepada kemauan Kaisar Kubilai, apalagi takluk kepada kekuasaanynya.
Setelah Jayakatwang membaca surat Wiraraja, tahulah beliau akan makna ibarat yang disuarkan oleh Wiraraja dan segera bertanya kepada Wirondaya, tentang bagaimana keadaan Singhasari sebenarnya. Jawabnya, semenjak Raja Kertanagara memegang tampuk pimpinan kenegaraan, segala nasihat Mpu Raganata dan para wreddha menteri diabaikan. Para wreddha menteri digeser dari kedudukan mereka dan diganti oleh menteri muda. Sang prabu cenderung untuk menerima segala nasehat para menteri baru. Rakyat tidak puas dengan sikap demikian. Jayakatwang lalu menyakan pendapat Patih Mahisa Mundarang. Jawabnya; “Moyang Paduka, Prabu Dandang Gendis (Kertajaya), binasa akibat pemberontakan anak petani Pangkur, Ni Ndok. Itulah raja Singhasari yang pertama dan bergelar Raja Rajasa. Bala tentara Kediri sirna bagai gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya beserta bala tentaranya musnah karena tindakan Ken Arok. Kediri karenanya dijajah Singhasari. Padukalah yang memiliki kewajiban membangun kembali kerajaan Kediri dan membalas kekelahan Prabu Kertajaya marhum!”
Setelah mendengar nasihat adipati Wiraraja dan pendapat patih Mundarang, Raja Jayakatwang segera mengeluarkan perintah menyerbu Singhasari. Jaran Guyang berangkat menyerang Singasari dari jurusan utara, Patih Mahisa Mundarang menyerang dari selatan. Bala tentara Daha dibawah pimpinan Jaran Guyang melintas sawah ke jurusan utara; membawa kereta, bende, gong, dan tunggul, berhenti di desa Mameling. Banyak orang desa yang ketakutan, lari mengungsi ke kota Singasari. Yang berani melawan, menderita luka parah. Utusan dari Mameling sudah sampai di istana melaporkan bahwa tentara Kediri telah sampai di Mameling, namun Prabu Kertanagara tidak percaya. Baru setelah menyaksikan sendiri para pengungsi mengalir ke kota, beliau percaya akan kebenaran laporan, namun telah terlambat. Nararya Sangramawijaya dengan bala tentaranya, yang tidak siap berperang, mendadak diperintahkan berangkat ke Mameling untuk menanggulangi musuh.
Sementara itu, Prabu Kertanagara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Ditemui oleh Patih Angragani, beliau terperanjat mendengan sorak bala tentara Daha di manguntur. [17] Kidung Harsawijaya menguraikan bahwa adhyaksa Raganata dan menteri angabhaya Wirakreti memberi nasehat kepada sang prabu demikian: “Adalah haram bagi seorang raja mati terbunuh olehh tentara musuh dalam keputrian. Lawanlah musuh yang datang menyerang!” Demikianlah raja Kertanagara kali itu mengindahkan nasehat Mpu Raganata. Raja Kertanagara, Panji Anggragani, Mpu Ragganata, dan Wikreti gugur dalam perlawanan gigih melawan musuh, yang mendadak datang menyerbu kota Singasari. Sejarah Singasari berakhir dengan mangkatnya Prabu Kertanagara pada tahun 1292. Negarakretagama pupuh 43/5 mencatat bahwa Sri Kertanagara pulang ke Jinalaya pada tahun Saka 1214 (1292 M) dan diberi gelar “Yang Mulia di alam Siwa-Buddha.”
Versi Negarakretagama dan Pararaton mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu dibetulkan karena menurut prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Gelang-Gelang berkat perkawinannya denga Nararya Turukbali, putri Sang Prabu Seminingrat atau Wisnuwardhana. Yang menjadi raja Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292 ialah raja Kertanagara. Jadi, serangan Jayakatwang terhadap Singasari pada tahun 1292 dilancarkan dari Gelang-Gelang;[18] bukan dari Kediri seperti diuraikan dalam Pararaton dan Negarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanagara. Baru setelah berhasil memusnahkan Sri Kertanagara, menurut prasasti Pananggungan, 1296, Jayakatwang menduduki ibokota Daha dan memerintah Singasari sebagai negara bawahan. Kidung Harsawijaya berulang kali menyebut Jayakatwang raja Kediri, sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberitahu sang prabu supaya serangan terhadap Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan lewat. Mahisa Mundarang memberikan nasehat yang serupa dan menyebut Jayakatwang sebaga keturunan Raja Kertajaya. Berdasarkan prasasti Mula-Malurung, utusan Wiraraja itu dikirim ke Gelang-Gelang tidak ke Kediri. Kidung Harasawijaya mengatakan bahwa Sri Kertanagara tidak khawatir tentang akan adanya kemungkinan serangan dari Kediri, karena ia percaya bahwa raja Jayakatwang tidak akan menyalahgunakan kebaikan sang prabu, yang telah sudi mengangkatnya sebagai raja Kediri. Uraian diatas tidak tepat, karena yang mengangkat Jayakatwang sebagai raja ialah Nararya Seminingrat menurut prasasti Mula-Malurung. Lagi pula, Jayakatwang tidak diangkat sebagai raja Kediri, melainkan sebagai raja Gelang-Gelang. Seperti ditunjukkan diatas, baru pada tahun 1292, Jayakatwang menjadi raja Kediri setelah menaklukkan Kertanagara.
bersambung Kertanagara (2)-Raja-raja Besar Nusantara (3)
Kertanagara mungkin merupakan satu-satunya tokoh Nusantara yang “terpaksa” harus dicatat dalam perjalanan sejarah dunia ketika berbicara mengenai Mongol. Ia lah tokoh yang membuat Nusantara menjadi satu dari dua kerajaan yang tidak pernah dapat ditaklukan hegemoni Mongol setelah Jepang, meskipun kemudian jepang dalam beberapa tafsiran sejarah dinyatakan melakukan pembayaran rutin (upeti) terhadap Mongol sehingga Mongol kemudian tidak meneruskan ekspedisi penaklukannya ke Jepang.
Ekspedisi Pamalayu, otonomi daerah, merupakan beberapa kebijakan yang menjadi terobosan pada masa pemerintahan Kertanagara. Nagarakratagama/Desawarnana, menempatkan masa pemerintahan raja Kertanagara kedalam sebuah pembahasan khusus. Kitab Pujasastra yang digubah dizaman Hayam Wuruk ini menempatkannya sebagai seorang Yogin sejati pengikut Tantrisme Subhuti. Ciri khas keagamaan Tantrisnya melahirkan konsepsi religius sinkretis Hindhu-Buddha, yang menurut Prof. Aminuddin Kasdi, yang dikutipnya dari pendapat Soekmono dan Krom, sebagai Tantrisme Kalacakra. Tak ayal kemudian, konsep religius ini mempengaruhi jalan kebijakan politik yang Kertanagara tempuh. Dibawah ini, kami sajikan sebuah makalah yang mengungkap secara gamblang mengenai seorang Kertanegara beserta pandangan Politiknya dan pandangannya terhadap Agama.
Latar Belakang
Pemerintahan raja Kertanagara sangat menarik perhatian , karena selama Kertanagara memegang pemerintahan, terjadi berbegai peristiwa sejarah yang penting untuk diketahui. Pemberitaan peristiwa sejarah itu pun kadang-kadang menimbulkan persoalan yang meminta pemecahan dari para ahli sejarah karena penjelasan mengenai jalannya peristiwa masih gelap. Demikianlah untuk memahami jalannya peristiwa sejarah dalam pemerintahan raja Kertanagara, khususnya kita harus mencurahkan perhatian sepenuhnya.
Peristiwa sejarah penting yang masih simpang siur pemberitaannya, seperti ekspedisi Pamalayu atau perluasan cakrawala mandala, pemberontakan dalam negeri, pergantian para wreddha patih dan pengangkatan para yuwa patih, serta kejatuhan Kertanagara sebagai akhir dari kekuasaan Singhasari atau dinasti Rajasa.
Tinjauan antropolitik, sosiokultural, dan religi sangat diperlukan demi terangnya masa-masa peralihan dari Singhasari ke Majapahit ini. Pemusatan kajian dan pendekatan antropologi tidak bisa dipungkiri menjadi pilihan akhir dari metode penelitian atas pemerintahan Kertanagara, khususnya sebagai bagian dari analisis mikro raja-raja dinasti Rajasa. Atas dasar itulah makalah ini dibuat dengan judul, Singhasari, Masa Keemasan Kertanagara dan Keruntuhan Dinasti Rajasa, Analasis Antroreligi, Antropolitik, dan Sosiokultural atas Pemerintahan Kertanagara.
Pemerintahan Kertanagara merupakan masa keemasan Singhasari dan merupakan zaman lahirnya embrio gagasan Nusantara berupa perluasan cakrawala mandala yang diwujudkan dalam ekspedisi Pamalayu. Namun ironisnya, kemajuan disatu pihak beriringan denga kemunduran dipihak lain yaitu, pemeberontakan Jayakatwang sebagai titik didih perlawanan atas sikap ahangkara raja Kertanagara. Peristiwa-peristiwa sejarah disekitar masa Kertanagara mengandung paradoks yang melahirkan pertanyaan, jika demikian bagaimanakan kiranya bila masa Kertanagara dikaji dari sudut pandang antropologi prespektif religi antropolitik, dan sosiokultural berkaitan dengan kejatuhan Singhasari?
Makalah ini terbatas membahas masa akhir Singhasari terfokus pada masa pemerintahan Kartanagara ( 1254-1292 M) dari prespektif antropologi. Dan terlepas dari kajian antropologi dari prespektif ekonomi.
HISTORIOGRAFI MASA PEMERINTAHAN RAJA KERTANAGARA
Negarakretagama pupuh 41/3 menguraikan bahwa pada tahun 1176 Saka (1254 M) Raja Wisnuwardhana menobatkan putranya. Segenap raja Janggala dan Panjalu datang ke Tumapel untuk menghadiri upacara penobatan itu. Setelah dinobatkan, putra mahkota mengambil nama abhiseka Sri Kertanagara.
Uraian diatas seolah-oleh memberi kesan pada tahun 1254 itu, Wisnuwardhana menyerahkan kekuasaannya kepada putranya Kertanagara. Hal itu tidak benar karena dalam prasasti Mula-Malurung dinyatakan dengan jelas bahwa pada tahun 1255 Wisnuwardhana masih memerintah di Tumapel, sebagai raja agung yang menguasai Janggala dan Panjalu. Raja Kertanagara dinobatkan di Daha sebagai raja bawahan atau raja muda-yuwaraja. Berkat kelahirannya dari perkawinan Wisnuwardhana dengan Permaisuri Waning Hyun, Kertanagara mempunyai kedudukan sebagai raja mahkota, mengepalai raja-raja bawahan lainnya. Sebagai raja bawahan yang memerintah Daha, ia mempunyai hak untuk mengeluarkan prasasti diwilayahnya. Hal itu memang terjadi. Prasasti Pakis Wetan, bertarikh 8 Februari 1267, dikeluarkan oleh raja Kertanagara pada waktu raja Wisnuwardhana masih hidup.[1] Baru sepeninggal raja Wisnuwardhana pada tahun 1270[2], Kertanagara bertindak sebagai raja agung menguasai Singhasari[3] dan Kediri seperti mendiang Wisnuardhana.
Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menguraikan watak Sri Kertanagara, yang juga bergelar Siwa-Buddha,[4] seperi berikut:
“Raja Kertanagara mempunyai mahamantri, bernama Mpu Raganata. Mpu Raganata adalah orang baik, jujur dan pemberani. Tanpa tedeng aling-aling, ia berani mengemukakan keberatan-keberatannya terhadap sikap dan pimpinan sang Prabu. Hubungannya dengan Prabu Kertanagara disamakan dengan hubungan Patih Sri Laksmikirana dengan Prabu Sri Cayapurusa dalam cerita Singhalanggala. Juga patih Sri Laksmikirana bersikap jujur, berani membantah dan mencela sikap sang Prabu Cayapurusa. Prabu Kertanagara yang berwatak angkuh dan sadar akan kekuatan dan kekuasaannya (ahangkara), menolak mentah-mentah pendapat dam keberatan Mpu Raganata bahkam beliau menjadi muram lagi murka, seolah-olah disiram dengan kejahatan, mendengar ujaran Mpu Raganata. Dengan serta merta Mpu Raganata dipecat dari jabatannya, digantikan oleh Mahisa Anengah Panji Angragani.”
Dalam Kidung Harasawijaya pupuh 1/28b sampai 30a, disebut dengan jelas bahwa Prabu Kertanagara melorot Mpu Raganata dari kedudukannya sebagai patih amangkubhumi menjadi ramadhyaksa di Tumapel. Mpu Raganata kecewa, tidak senang dengan pemerintahan Sang Prabu. Dikatakan dalam kidung tersebut, asmu ewa sang mantri wrédha rirehira sang ahulun. Wiraraja dilorot kedudukannya sebagai demung menjadi adipati di Madura Timur. Ia tidak senang terhadap pemerintahan Raja Kertanagara. Dikatakan, tan trepti rehing nagari arawat-rawat kewuh. Tumenggung Wirekreti dilorot kedudukannya sebagai tumenggung menjadi mantri angabhaya (menteri pembantu). Pujangga Santasemereti meninggalkan Pura untuk bertapa di hutan. Pupuh 1/82a menguraikan bahwa penurunan Wiraraja dari jabatan demung manjadi adipati sangat melukai hati dan menimbulkan kemarahan. Dari percakapan antara Wirondaya dan Raja Jayakatwang, dalam pupuh 2/16a-16b dengan jelas diceritakan, bahwa sejak pemecatan para wreddha mantri dan pengangkatan yuwa mantri (menteri muda) rakyat tidak senang terhadap sikap Sang Prabu Kertanagara. Perbuatan itu menimbulkan kegelisahan dan kesenjangan antara generasi tua zaman Wisnuwardhana yang masih hidup dengan generasi muda zaman Kertanagara yang mendukung gagasan perluasan cakrawala mandala.
Demikianlah sepeninggal Wisnuwardhana dan Bhatara Narasinghamurti, Prabu Kertanagara segera mengadakan perubahan besar-besaran dalam bidang administrasi untuk disesuaikan dengan pelaksanaan politik ekspansinya. Para pembesar yang telah lama mengabdi dalam pemerintahan Prabu Wisnuwardhana dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan politik baru yang akan dijalankan oleh Prabu Kertanagara, disingkirkan dan diganti oleh tenaga-tenaga baru, yang menyetujui gagasan politik Sang Prabu Kertanagara. Perubahan itu menimbulkan kegelisahan diantara para pengawal dan rakyat.
Nama Mpu Raganata tidak tercatat dalam prasasti Sarwadharma yang dikeluarkan pada bulan Kartika tahun 1191 Saka (Oktober-November 1269). Pada prasasti tersebut , yang tercatat ialah Patih Kebo Arema dan Sang Ramapati, yang sangat dipuja sebagai penasehat politik sang prabu dalam mengadakan hubungan dengan pembesar-pembesar di Madura dan Nusantara. Sang Ramapati mengepalai kabinet menteri yang terdiri dari patih, demung, tumenggung, rangga, dan kanuruhan. Melihat fungsinya dalam pemerintahan, kiranya Sang Ramapati dalam prasasti Sarwadharma itu sama dengan Mpu Raganata dalam Pararaton dan Kidung Harsawijaya ataupun Panji Wijayakrama.
Timbullah pemberontakan bersenjata yang mengejutkan Prabu Kertanagara. Kidung Panji Wijayakrama pupuh 1 menyebut pemberontakan Kelana Bhayangkara, dan Negarakretagama pupuh 41/4 pemberontakan Cayaraja.[5] Pemberontakan-pemberontakan itu, meskipun akhirnya dapat ditumpas, menghambat pelaksanaan gagasan politik perluasan wilayah. Untuk dapat menngirim tentara ke seberang lautan, kekeruhan didalam negeri harus diatasi dulu.
Pararaton, Kidung Panji Wijayakrama, Kidung Harsawijaya, dan Negarakretagama pupuh 41, semuanya menyebutkan pengiriman tentara Singhasari ke negeri Melayu (Suwarbabhumi) pada tahun Saka 1187 (1275 M), lima tahun setelah pecahnya pemberontakan Kelana Bhayangkara atau Cayaraja. Dalam Kidung Harsawijaya, dinyatakan bahwa nasehat Raganata tentang pengiriman tentara ke Suwarnabhumi ditolak oleh Prabu Kertanagara. Raganata mengingatkan sang prabu tentang kemungkinan balas dendam Raja Jayakatwang dari Kediri terhadap Singhasari, sebab Singhasari dalam keadaan kosong akibat pengiriman tentara ke Suwarnabhumi. Prabu Kertanagara berpendapat, raja bawahan Jayakatwang tidak akan memberontak karena beliau berutang budi kepada sang prabu.[6] Jayakatwang adalah bekas pengalasan (pegawai) keraton Singhasari, yang diangkat sebagai raja bawahan di Kediri oleh Sri Kertanagara.[7] Gagasan pengiriman tentara ke Suwarnabhumi dapat dukungan penuh dari Mahisa Anengah, pengganti Raganata. Demikianlah diputuskan untuk mengirimkan tentara ke Melayu. Keputusan itu dilaksanakan pada tahun 1275 M. Dalam sastra sejarah Jawa kuno, ekpedisi ke Melayu itu biasa disebut Pamalayu atau perang Malayu.[8] Ekspedisi ke Malayu berhasil baik. Tentara Singhasari berhasil menundukkan raja Malayu, Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa di Dharmasraya, yang berpusat di Jambi dan menguasai Selat Malaka. Terbukti dari isi prasasti pada alas arca Amoghapasa dari Padangroco yang dikeluarkan oleh Sri Kertanagara pada bulan Bharadhapada tahun Saka 1208 (Agustus-Sepetember 1286 M).[9] Bunyinya sebagai berikut:[10]
“Salam bahagia! Pada tahun Saka 1208, bulan Bhadrapada, hari pertama bulan naik, hari Mawulu, Wage, hari Kamis, wuku Madangkungan, letak raja bintang di barat daya... tatkala itulah arca paduka Amoghapasa Lokeswara dengan empat belas pengikut serta saptaratna-tujuh ratna permata,[11] dibawa dari bumi Jawa ke Suwarnabhumi ditegakkan di Dharmasraya, sebagai hadiah Sri Wiswarupa. Untuk tujuan tersebut, Sri Kertanagara Wikramottunggadewa memerintahkan rakryan mahamantri Dyah Adwayabrahma, rakryan sirikan Dyah Sugatabrahma, payanan Hyang Dipangkaradasa, rakryan demung Wira, untuk menghantar paduka arca Amoghapasa.
Semoga hadiah itu membuat gembira segenap penduduk negeri Malayu, termasuk para brahmana, ksatria, waisya, sudra, dan terutama pusat segenap para arya, Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa.”
Negarakretagama pupuh 41/5 menguraikan bahwa Prabu Kertanagara dengan pengiriman tentara itu sebenarnya mengharapkan agar Raja Dharmasraya tunduk begitu saja karena takut akan kesaktian sang prabu. Ekspedisi ke negeri Malayu yang berjaya gilang-gemilang, mempunyai akibat yang sangat buruk didalam negeri. Pada tahun 1280 M., timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Mahisa Rangkah[12] menurut pemberitaan Negarakretagama pupuh 42/1. Pembesar-pembesar yang kena pecat, terutama adipati Wiraraja di Sumenep, mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam dan melampiaskan kemarahannya kepada Sri Kertanagara. Ia menghasut raja bawahan Jayakatwang dari Kediri yang berkuasa di Gelang-gelang untuk memberontak dengan cara mengirim surat[13] pada tahun Saka 1214 atau 1292 M, seperti berikut:
“Patih memberitahukan kepada sang prabu. Padukanata dapat disamakan dengan orang yang sedang berburu, hendaklah waspada memilih saat dan tempat yang setepat-tepatnya. Pergunakan saat yang sebaik-baiknya. Sekarang inilah saat yang paling baik dan paling tepat. Tegal sedang tandus; tidak ada rumput, tidak ada ilalang; daun-daun sedang gugur, berhamburan ketanah. Bukitnya kecil-kecil, jurangnya tidak berbahaya, hanya didiami harimau yang sama sekali tidak menakutkan. Tidak ada kerbau, sapi, dan rusa yang bertanduk. Jika mereka sedang menyenggut, baiklah mereka diburu. Pasti tidak berdaya. Satu-satunya harimau yang tinggal adalah harimau guguh, sudah tua renta, yakni empu Raganata.”[14]
Dari surat hasutan Wiraraja diatas, nyata bahwa Singhasari dalam keadaaan kosong. Tidak ada lagi orang yang dapat dibanggakan. Raganata adalah satu-satunya pembesar, yang terpandang sebagai pahlawan, namun ia sudah tua renta, seperti harimau kawakan, yang tidak lagi bergigi. Meskipun demikian, raja Kertanagara segan menyadari kenyataaan itu. Beliau berani menolak permintaan Meng Khi, utusan Kaisar Cina Kubilai Khan, untuk mengakui kekuasaan kaisar dan mengirim utusan ke Tiongkok dengan membawa upeti sebagai tanda takluk.[15] Meng Ki dipahat dahinya dan disuruh pulang.[16] Hinaan terhadap utusan Kaisar Tiongkok itu berlangsung pada tahun 1289 M. Prabu Kertanagara segan tunduk kepada kemauan Kaisar Kubilai, apalagi takluk kepada kekuasaanynya.
Setelah Jayakatwang membaca surat Wiraraja, tahulah beliau akan makna ibarat yang disuarkan oleh Wiraraja dan segera bertanya kepada Wirondaya, tentang bagaimana keadaan Singhasari sebenarnya. Jawabnya, semenjak Raja Kertanagara memegang tampuk pimpinan kenegaraan, segala nasihat Mpu Raganata dan para wreddha menteri diabaikan. Para wreddha menteri digeser dari kedudukan mereka dan diganti oleh menteri muda. Sang prabu cenderung untuk menerima segala nasehat para menteri baru. Rakyat tidak puas dengan sikap demikian. Jayakatwang lalu menyakan pendapat Patih Mahisa Mundarang. Jawabnya; “Moyang Paduka, Prabu Dandang Gendis (Kertajaya), binasa akibat pemberontakan anak petani Pangkur, Ni Ndok. Itulah raja Singhasari yang pertama dan bergelar Raja Rajasa. Bala tentara Kediri sirna bagai gunung disambar halilintar. Prabu Kertajaya beserta bala tentaranya musnah karena tindakan Ken Arok. Kediri karenanya dijajah Singhasari. Padukalah yang memiliki kewajiban membangun kembali kerajaan Kediri dan membalas kekelahan Prabu Kertajaya marhum!”
Setelah mendengar nasihat adipati Wiraraja dan pendapat patih Mundarang, Raja Jayakatwang segera mengeluarkan perintah menyerbu Singhasari. Jaran Guyang berangkat menyerang Singasari dari jurusan utara, Patih Mahisa Mundarang menyerang dari selatan. Bala tentara Daha dibawah pimpinan Jaran Guyang melintas sawah ke jurusan utara; membawa kereta, bende, gong, dan tunggul, berhenti di desa Mameling. Banyak orang desa yang ketakutan, lari mengungsi ke kota Singasari. Yang berani melawan, menderita luka parah. Utusan dari Mameling sudah sampai di istana melaporkan bahwa tentara Kediri telah sampai di Mameling, namun Prabu Kertanagara tidak percaya. Baru setelah menyaksikan sendiri para pengungsi mengalir ke kota, beliau percaya akan kebenaran laporan, namun telah terlambat. Nararya Sangramawijaya dengan bala tentaranya, yang tidak siap berperang, mendadak diperintahkan berangkat ke Mameling untuk menanggulangi musuh.
Sementara itu, Prabu Kertanagara tinggal di pura, mengenyam kenikmatan hidup, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam. Ditemui oleh Patih Angragani, beliau terperanjat mendengan sorak bala tentara Daha di manguntur. [17] Kidung Harsawijaya menguraikan bahwa adhyaksa Raganata dan menteri angabhaya Wirakreti memberi nasehat kepada sang prabu demikian: “Adalah haram bagi seorang raja mati terbunuh olehh tentara musuh dalam keputrian. Lawanlah musuh yang datang menyerang!” Demikianlah raja Kertanagara kali itu mengindahkan nasehat Mpu Raganata. Raja Kertanagara, Panji Anggragani, Mpu Ragganata, dan Wikreti gugur dalam perlawanan gigih melawan musuh, yang mendadak datang menyerbu kota Singasari. Sejarah Singasari berakhir dengan mangkatnya Prabu Kertanagara pada tahun 1292. Negarakretagama pupuh 43/5 mencatat bahwa Sri Kertanagara pulang ke Jinalaya pada tahun Saka 1214 (1292 M) dan diberi gelar “Yang Mulia di alam Siwa-Buddha.”
Versi Negarakretagama dan Pararaton mengatakan bahwa Jayakatwang adalah raja Kediri perlu dibetulkan karena menurut prasasti Mula-Malurung, Jayakatwang adalah raja Gelang-Gelang berkat perkawinannya denga Nararya Turukbali, putri Sang Prabu Seminingrat atau Wisnuwardhana. Yang menjadi raja Kediri sejak tahun 1254 sampai 1292 ialah raja Kertanagara. Jadi, serangan Jayakatwang terhadap Singasari pada tahun 1292 dilancarkan dari Gelang-Gelang;[18] bukan dari Kediri seperti diuraikan dalam Pararaton dan Negarakretagama serta beberapa kidung. Prasasti Mula-Malurung mengatakan dengan jelas bahwa Jayakatwang adalah kemenakan Raja Seminingrat, jadi saudara sepupu dengan Sri Kertanagara. Baru setelah berhasil memusnahkan Sri Kertanagara, menurut prasasti Pananggungan, 1296, Jayakatwang menduduki ibokota Daha dan memerintah Singasari sebagai negara bawahan. Kidung Harsawijaya berulang kali menyebut Jayakatwang raja Kediri, sehingga utusan Bupati Wiraraja dari Sumenep datang ke Kediri untuk memberitahu sang prabu supaya serangan terhadap Singasari segera dilancarkan, kesempatan yang baik jangan dibiarkan lewat. Mahisa Mundarang memberikan nasehat yang serupa dan menyebut Jayakatwang sebaga keturunan Raja Kertajaya. Berdasarkan prasasti Mula-Malurung, utusan Wiraraja itu dikirim ke Gelang-Gelang tidak ke Kediri. Kidung Harasawijaya mengatakan bahwa Sri Kertanagara tidak khawatir tentang akan adanya kemungkinan serangan dari Kediri, karena ia percaya bahwa raja Jayakatwang tidak akan menyalahgunakan kebaikan sang prabu, yang telah sudi mengangkatnya sebagai raja Kediri. Uraian diatas tidak tepat, karena yang mengangkat Jayakatwang sebagai raja ialah Nararya Seminingrat menurut prasasti Mula-Malurung. Lagi pula, Jayakatwang tidak diangkat sebagai raja Kediri, melainkan sebagai raja Gelang-Gelang. Seperti ditunjukkan diatas, baru pada tahun 1292, Jayakatwang menjadi raja Kediri setelah menaklukkan Kertanagara.
bersambung Kertanagara (2)-Raja-raja Besar Nusantara (3)
Raja-raja Besar Nusantara (2)
Ken Arok Raja Kerajaan Singosari, Pendiri Wangsa Rajasa (Menurunkan raja-raja Majapahit)
Ken Arok
Nama Rajasa selain dijumpai dalam naskah sastra Nagarakretagama dan Pararaton, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa.Raden Wijaya adalah keturunan Ken Arok.
Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir:1182 - wafat: 1227/1247), adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247)
Menurut naskah Pararaton, Ken Arok adalah putra Dewa Brahma hasil berselingkuh dengan seorang wanita desa Pangkur bernama Ken Ndok. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Ken Arok tumbuh menjadi pemuda yang gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.
Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.
Merebut Tumapel
Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.
Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencana liciknya. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.
Mendirikan Kerajaan Tumapel
Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi
Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Keturunan Ken Arok
Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.
Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati
Kematian Ken Arok
Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.
Versi Nagarakretagama
Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.
Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).
Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.
Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam
prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.
Sebagai raja pertama Singosari maka Ken Arok menandai munculnya dinasti baru yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra
yang perlu Anda ketahui bahwa kekuasaan tersebut dicapai oleh Kertanegara karena tindakan politiknya seperti:
a.Kebijakan dalam negeri
1.Pergantian pejabat kerajaan, bertujuan menggalang pemerintahan yang kompak.
2.Memelihara keamanan dan melakukan politik perkawinan. Tujuannya menciptakan kerukunan dan politik yang stabil.
b.Kebijakan Luar Negeri
1.Menggalang persatuan 'Nusantara' dengan mengutus ekspedisi tentara Pamalayu ke Kerajaan Melayu (Jambi). Mengutus pasukan ke Sunda, Bali, Pahang.
2.Menggalang kerjasama dengan kerajaan lain. Contohnya menjalin persekutuan dengan kerajaan Campa.
Dari tindakan-tindakan politik Kertanegara tersebut, di satu sisi Kertanegara berhasil mencapai cita-citanya memperluas dan memperkuat Singasari, tetapi dari sisi yang lain muncul beberapa ancaman yang justru berakibat hancurnya Singasari. Ancaman yang muncul dari luar yaitu dari tentara Kubilai-Khan dari Cina Mongol karena Kertanegara tidak mau mengakui kekuasaannya bahkan menghina utusan Kubilai-khan yaitu Meng-chi. Dari dalam adanya serangan dari Jayakatwang (Kadiri) tahun 1292 yang bekerja sama dengan Arya Wiraraja Bupati Sumenep yang tidak diduga sebelumnya. Kertanegara terbunuh, maka jatuhlah Singasari di bawah kekuasaan Jayakatwang dari Kediri. Setelah Kertanegara meninggal maka didharmakan/diberi penghargaan di candi Jawi sebagai Syiwa Budha, di candi Singasari sebagai Bhairawa. Di Sagala sebagai Jina (Wairocana) bersama permaisurinya Bajradewi. Untuk memperjelas pemahaman Anda, tentang candi Singosari tempat Kertanegari di muliakan,
Dalam kitab Pararaton maupun Negara Kertagama diceritakan bahwa kehidupan sosial masyarakat Singosari cukup baik karena rakyat terbiasa hidup aman dan tenteram sejak pemerintahan Ken Arok bahkan dari raja sampai rakyatnya terbiasa dengan kehidupan religius. Kehidupan religius tersebut dibuktikan dengan berkembangnya ajaran baru yaitu ajaran Tantrayana (Syiwa Budha) dengan kitab sucinya Tantra.
Ajaran Tantrayana berkembang dengan baik sejak pemerintahan Wisnuwardhana dan mencapai puncaknya pada masa Kertanegara, bahkan pada akhir pemirintahan Kertanegara ketika diserang oleh Jayakatwang, sedang melaksanakan upacara Tantrayana bersama Mahamantri dan pendeta terkenal.
Dalam kehidupan ekonomi, walaupun tidak ditemukan sumber secara jelas. Ada kemungkinan perekonomian ditekankan pada pertanian dan perdagangan karena Singosari merupakan daerah yang subur dan dapat memanfaatkan sungai Brantas dan Bengawan Solo sebagai sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran.
Singosari banyak meninggalkan bangunan berupa candi yang berhubungan dengan agama yaitu seperti candi Kidal, candi Jago, candi Singosari dan patung Joko Dolok yang merupakan perwujudan Kertanegara terletak di simpang tiga Surabaya, Jatim.
Ken Arok
Nama Rajasa selain dijumpai dalam naskah sastra Nagarakretagama dan Pararaton, juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit tahun 1305. Dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa.Raden Wijaya adalah keturunan Ken Arok.
Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir:1182 - wafat: 1227/1247), adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari). Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222 - 1227 (atau 1247)
Menurut naskah Pararaton, Ken Arok adalah putra Dewa Brahma hasil berselingkuh dengan seorang wanita desa Pangkur bernama Ken Ndok. Oleh ibunya, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Ken Arok tumbuh menjadi pemuda yang gemar berjudi, sehingga membebani Lembong dengan banyak hutang. Lembong pun mengusirnya. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genukbuntu, istri tua Bango Samparan. Ia kemudian bersahabat dengan Tita, anak kepala desa Siganggeng. Keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kadiri.
Akhirnya, Ken Arok bertemu seorang brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Dari ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.
Merebut Tumapel
Tumapel merupakan salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri. Yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung. Atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik. Apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti. Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbang (sekarang Lumbang, Pasuruan), yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun. Ken Arok tidak sabar. Lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan. Keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring sampai tewas. Dalam sekaratnya, Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh 7 orang, termasuk Ken Arok sendiri.
Kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencana liciknya. Mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal. Kebo Hijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Dengan demikian, siasat Ken Arok berhasil.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok. Lagi pula, Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Pagi harinya, Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung. Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang kepustusan itu. Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.
Mendirikan Kerajaan Tumapel
Pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja Kadiri dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan terhadap Kadiri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kadiri. Sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi
Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontakan Tumapel. Ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter. Pihak Kadiri kalah. Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.
Keturunan Ken Arok
Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok, yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.
Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati
Kematian Ken Arok
Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua. Setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes. Ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok. Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada tahun 1247.
Versi Nagarakretagama
Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182.
Pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kadiri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa. Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).
Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.
Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam
prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.
Sebagai raja pertama Singosari maka Ken Arok menandai munculnya dinasti baru yaitu dinasti Rajasa atau dinasti Girindra
yang perlu Anda ketahui bahwa kekuasaan tersebut dicapai oleh Kertanegara karena tindakan politiknya seperti:
a.Kebijakan dalam negeri
1.Pergantian pejabat kerajaan, bertujuan menggalang pemerintahan yang kompak.
2.Memelihara keamanan dan melakukan politik perkawinan. Tujuannya menciptakan kerukunan dan politik yang stabil.
b.Kebijakan Luar Negeri
1.Menggalang persatuan 'Nusantara' dengan mengutus ekspedisi tentara Pamalayu ke Kerajaan Melayu (Jambi). Mengutus pasukan ke Sunda, Bali, Pahang.
2.Menggalang kerjasama dengan kerajaan lain. Contohnya menjalin persekutuan dengan kerajaan Campa.
Dari tindakan-tindakan politik Kertanegara tersebut, di satu sisi Kertanegara berhasil mencapai cita-citanya memperluas dan memperkuat Singasari, tetapi dari sisi yang lain muncul beberapa ancaman yang justru berakibat hancurnya Singasari. Ancaman yang muncul dari luar yaitu dari tentara Kubilai-Khan dari Cina Mongol karena Kertanegara tidak mau mengakui kekuasaannya bahkan menghina utusan Kubilai-khan yaitu Meng-chi. Dari dalam adanya serangan dari Jayakatwang (Kadiri) tahun 1292 yang bekerja sama dengan Arya Wiraraja Bupati Sumenep yang tidak diduga sebelumnya. Kertanegara terbunuh, maka jatuhlah Singasari di bawah kekuasaan Jayakatwang dari Kediri. Setelah Kertanegara meninggal maka didharmakan/diberi penghargaan di candi Jawi sebagai Syiwa Budha, di candi Singasari sebagai Bhairawa. Di Sagala sebagai Jina (Wairocana) bersama permaisurinya Bajradewi. Untuk memperjelas pemahaman Anda, tentang candi Singosari tempat Kertanegari di muliakan,
Dalam kitab Pararaton maupun Negara Kertagama diceritakan bahwa kehidupan sosial masyarakat Singosari cukup baik karena rakyat terbiasa hidup aman dan tenteram sejak pemerintahan Ken Arok bahkan dari raja sampai rakyatnya terbiasa dengan kehidupan religius. Kehidupan religius tersebut dibuktikan dengan berkembangnya ajaran baru yaitu ajaran Tantrayana (Syiwa Budha) dengan kitab sucinya Tantra.
Ajaran Tantrayana berkembang dengan baik sejak pemerintahan Wisnuwardhana dan mencapai puncaknya pada masa Kertanegara, bahkan pada akhir pemirintahan Kertanegara ketika diserang oleh Jayakatwang, sedang melaksanakan upacara Tantrayana bersama Mahamantri dan pendeta terkenal.
Dalam kehidupan ekonomi, walaupun tidak ditemukan sumber secara jelas. Ada kemungkinan perekonomian ditekankan pada pertanian dan perdagangan karena Singosari merupakan daerah yang subur dan dapat memanfaatkan sungai Brantas dan Bengawan Solo sebagai sarana lalu lintas perdagangan dan pelayaran.
Singosari banyak meninggalkan bangunan berupa candi yang berhubungan dengan agama yaitu seperti candi Kidal, candi Jago, candi Singosari dan patung Joko Dolok yang merupakan perwujudan Kertanegara terletak di simpang tiga Surabaya, Jatim.
Raja-Raja Besar Nusantara (1)
PRABU ERLANGGA
Jayabhaya yang sedemikian populer dan abadi dengan ramalannya, merupakan raja paling terkenal di Kediri Jawa Timur sesudah zaman Prabu Erlangga. Dalam sejarahnya, Jayabhaya tak hanya dikenal sakti dan waskita. Tetapi, juga kejam karena tega menggempur adiknya sendiri, Jayasabha.
Rentang jauh perjalanan sejarah jagat Nusantara dimulai dengan kedatangan para pengembara dari Saka Hindhustan atau India. Sejak kedatangan bangsa Saka itulah, menurut para ahli sejarah kuno, Nusantara mulai mengenal pola kekuasaan raja sebagai titisan Dewa. DR Franz Magnis Suseno SJ, dalam sebuah bukunya menyebut berdasarkan sumber data dari China, sebelum kedatangan para pengembara dari Hindhustan, Nusantara baru mengenal pemimpin lokal yang mengatur soal irigasi.
Kaum brahmana memperkenalkan konsep kerajawian Hindhu dengan berbagai pola hidupnya. Demikian pula dengan sistem perhitungan hari atau kalendernya. Karena itu, sistem penanggalan yang kini sering disebut kalender Jawa, dulu disebut Saka karena berasal dari bangsa Saka di Hindhustan. Pada sekitar abad VI dan VII, mulai dikenal sejumlah kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra, dan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Saat itu, Nusantara dikenal dengan sebutan Swarna Dwipa untuk kepulauan Sumatra, dan Jawa Dwipa untuk kepulauan Jawa. Istilah Nusantara baru dikenal kemudian pada zaman Majapahit.
Ketika itu, raja terkenal berasal dari dinasti Syailendra dan Sanjaya. Sampai pada sekitar abad X, peradaban jaya Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa berubah total oleh letusan Gunung Merapi. Seluruh peradaban di Jawa Tengah luluh lantak, dan memaksa para raja memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur. DR Franz Magnis Suseno, SJ menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1000 Masehi. Empu Sendok, dikatakannya sebagai raja pertama di Jawa Timur.
Pada sekitar abad itu, mulai muncul raja Hindhu lain dari dinasti Warmadewa, yang berkuasa di Bali. Seperti halnya di Indhia, penganut Hindhu yang terdiri dari beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Bali Mula atau penduduk asli Bali di Tampurhyang-Batur-Kintamani dan Bali Aga atau penganut Hindhu dari Jawa, saling bertikai. Seorang raja yang berhasil mempersatukan beberapa aliran kepercayaan itu adalah Udayana Warmadewa dan permaisurinya, Gunapriya Darmapatni (988-1011 Masehi). Dari raja besar itu kemudian lahir Prabu Erlangga, yang kelak di kemudian hari menurunkan Jayabhaya dan Jayasabha.
Pecahnya Daha
Gunapriya Darmapatni, ibunda Erlangga adalah putri Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, raja Daha di Jawa Timur. Daha sering pula disebut Kahuripan. Ketika raja Daha di Jawa Timur tersebut wafat, kakak Gunapriya Darmapatni bernama Kameswara menjadi raja di Daha. Bertahun-tahun kemudian, Erlangga menggantikannya menjadi raja di Daha pada 1019-1085 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Darmawangsa Erlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa. Gelar ini menjadi penyebab terputusnya Erlangga dari garis wangsa Warmadewa, dan berujung pada pecahnya Daha menjadi dua, Jenggala dan Kediri.
Dikisahkan, Prabu Erlangga memiliki dua putra. Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha. Khawatir terjadi perang saudara di antara kedua putranya, Erlangga mengutus Empu Baradah menemui ayahandanya di Bali, dan meminta tahta untuk salah seorang putranya. Permintaan itu ditolak, karena Erlangga dianggap telah melepaskan haknya di kerajaan Bali, dengan menjadi raja di Daha. Terpaksa Prabu Erlangga memecah kerajaannya menjadi dua, Daha atau Kediri dan Panjalu atau Jenggala, untuk dibagikan kepada dua putranya.
Garis perbatasan antara dua kerajaan itu lalu dibuat oleh Empu Barada, dengan bangunan dinding batu. Siapa pun yang berani melanggar akan terkena kutukan para dewa. Kutukan Empu Barada. Namun, beberapa tahun setelah Prabu Erlangga wafat, perang saudara tetap berkobar. Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Jayasabha akhirnya runtuh, dan Jayabhaya menjadi raja tunggal di Jawa Timur. Kerajaan Daha dan Jenggala kembali menyatu dan berpusat di Kediri.
Jayabhaya menjadi raja besar dan paling terkenal pasca Prabu Erlangga. Keadaan negara aman-tenteram, dan berbagai karya sastra lahir pada zamannya. Kehadiran karya sastra merupakan pertanda kemakmuran negara. Prabu Jayabhaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memerintah sejak 1135-1157 Masehi, berpusat di Mamenang. Saat itu, dua orang empu yang terkenal adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Kedua Empu tersebut diperintah oleh Prabu Jayabhaya untuk menyadur Kitab Baratayuda yang berbahasa Indhia ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu, Kakawin. Kehebatan kedua Empu tersebut adalah mampu menyalin setiap peristiwa dalam Kitab Baratayuda seolah-olah peristiwanya terjadi di tanah Jawa. Baratayuda menggambarkan perang saudara antara putra Prabu Erlangga. Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh itu diberi surya sengkala: Sangka Kuda Sudda Candrama (1079 Saka atau 1157 Masehi). Selain berarti angka tahun, sengkalan tersebut juga berarti beliau yang berkuda putih mempunyai hati bersih seperti bulan. Tak lain yang dimaksud beliau adalah Prabu Jayabhaya.
Pada zaman Kerajaan Surakarta, Kitab Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh disadur lagi oleh Pujangga Keraton Surakarta, Ki Yosodipuro I (kakek RNg. Ronggowarsito) ke dalam bentuk tembang. Menurut Kitab Negara Kertagama, Baratayuda dalam bahasa Kakawin memang merupakan ungkapan sejarah perang saudara antara Kediri dan Jenggala. Bahkan, kitab tersebut dianggap sebagai apologi atau pembelaan Prabu Jayabhaya atas perbuatannya yang telah membunuh Prabu Hemabupati atau Jayasabha, yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Membunuh saudara sendiri membuat Jayabhaya merasa berdosa. Apa lagi jika mengingat pesan Prabu Erlangga dan Empu Barada. Maka, karya sastra hasil gubahan Empu Sedah dan Panuluh merupakan ruwatan atas perbuatan Sang Prabu Jayabhaya. Sejak itu, Jayabhaya mulai menggiatkan kegiatan susastra, sehingga muncul berbagai ramalan ramalan yang terkenal seperti Jongko Joyoboyo dan lainnya. KOKO T.
PRABU JAYABAYA
Sesuai dengan janji saya kepada seorang teman, Madelyncute, saya berusaha membuat posting tentang Prabu Jayabaya. Niat saya hanya satu: menawarkan kekayaan ilmu Allah yang terserak dimanapun itu. Akurat tidaknya informasi tentang Prabu Jayabaya ini jangan membuat kita mayang mentoleh (ragu, bahasa Jawa) terhadap niatan kita untuk mengambil hikmah sejarah apapun yang melintasi hidup kita. Semoga bermanfaat.
Tidak banyak sumber yang bercerita tentang raja yang satu ini. Ramalan Jayabaya lebih terkenal daripada sang pemilik nama itu sendiri.
Prabu Jayabaya atau Ratu Jayabaya atau Sri Mapanji Jayabaya atau Sri Aji Jayabaya atau Sri Jayabhaya (buah cinta dari kisah romantis Raden Panji Inukertapati dan Dewi Galuh Chandra Kirana) memerintah Kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi. Raja Jawa yang satu ini disebut juga sebagai ahli nujum selain sebagai pemimpin yang mumpuni. Dia telah meramalkan keruntuhan kerajaannya sekaligus berjayanya kembali kerajaan tanah Jawa di masa depan. Disinyalir kedatangan Belanda dan Jepang telah ada di “penglihatan” sang raja.
Prabu Jayabaya mempersatukan kembali tanah Jawa yang sebelumnya terpecah belah sejak masa pasca mangkatnya Prabu Airlangga. Ratu Jayabaya terkenal karena keadilan dan kemakmuran Kerajaan Kediri dibawah pemerintahannya. Dia juga disinyalir sebagai perwujudan Batara Wishnu, dewa yang dipercayai sebagai pengatur alam semesta dalam kepercayaan Hindu. Dia dimasukkan dalam jajaran Ratu Adil yang dilahirkan dalam masa gelap pada tiap akhir perputaran jaman – Ratu Adil diidentikkan dengan tokoh yang tugasnya mengembalikan keadilan tatanan sosial negeri Jawa sekaligus harmonisasi seluruh alam semesta.
Pada jaman Ratu Jayabaya, sastra Jawa berkembang pesat didukung oleh situasi sosial, politik, dan ekonomi yang cukup kondusif. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh merupakan dua mpu sastra tersohor yang hidup di jaman raja tersebut (julukan mpu diberikan pada para ilmuwan Jawa kuno tanpa memandang ilmu yang dikuasainya; bisa ilmu sastra, ilmu perang, ilmu pertanian, dll). Mereka menulis serat Kakawin Bharatayudha yang diadaptasi dari kisah dari India.
Jangka Jayabaya sendiri (sekarang lebih dikenal dengan Ramalan Jayabaya) merupakan sebuah karya yang dinisbatkan kepada sang raja oleh sebagian orang menilik bahwa beliau hidup di jaman yang “kaya sastra” atau bahkan lantaran dialah tokoh dibalik berkembangnya sastra Jawa saat itu. Golongan ini meyakini bahwa semua “ramalan” yang terdapat dalam jangka Jayabaya tersebut adalah ide dan vision sang raja yang didiktekan kepada para juru tulisnya kemudian dirangkum dalam sebuah serat yang diberi pengantar termasuk cuplikan tentang sebagian karakter dan kisah hidup sang raja.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Ramalan Jayabaya itu sesungguhnya bukanlah karya sang maharaja melainkan karya orang lain yang kemudian dianggap sebagai karya Jayabaya. Dikisahkan dalam Jangka Jayabaya bahwa Raja Jayabaya pernah berguru kepada seorang ulama terkemuka dari jazirah Arab yang sedang mengembara ke Asia Tenggara. Ulama itu bernama Syech Ali Syamsu Zein, dalam ‘Jangka Jayabaya musabar’ disebut Ngali Samsujen dan adapula yang menyebutnya Maulana Ali Syamsu Zein. Jadi menurut golongan ini, Jangka Jayabaya “hanya” meminjam nama sang raja sebagai judul saja sekaligus mengisahkan sekelumit perjalanan sang saja.
Dipercaya bahwa Ratu Jayabaya tidak pernah meninggal melainkan moksa atau hilang jiwa dan raga dari dunia begitu saja tanpa melewati proses kematian normal sebagai manusia biasa. Analogikan dengan Nabi Isa yang diangkat ke langit. Moksa hanya dicapai oleh orang-orang pinilih (pilihan) menurut ajaran Hindu. Desa Menang Kec. Kab. Kediri Prov. Jawa Timur dipercaya sebagai tempat moksa Sri Aji Jayabaya (sekarang menjadi kunjungan wisata bernama Petilasan Sri Aji Joyoboyo).
Jayabhaya yang sedemikian populer dan abadi dengan ramalannya, merupakan raja paling terkenal di Kediri Jawa Timur sesudah zaman Prabu Erlangga. Dalam sejarahnya, Jayabhaya tak hanya dikenal sakti dan waskita. Tetapi, juga kejam karena tega menggempur adiknya sendiri, Jayasabha.
Rentang jauh perjalanan sejarah jagat Nusantara dimulai dengan kedatangan para pengembara dari Saka Hindhustan atau India. Sejak kedatangan bangsa Saka itulah, menurut para ahli sejarah kuno, Nusantara mulai mengenal pola kekuasaan raja sebagai titisan Dewa. DR Franz Magnis Suseno SJ, dalam sebuah bukunya menyebut berdasarkan sumber data dari China, sebelum kedatangan para pengembara dari Hindhustan, Nusantara baru mengenal pemimpin lokal yang mengatur soal irigasi.
Kaum brahmana memperkenalkan konsep kerajawian Hindhu dengan berbagai pola hidupnya. Demikian pula dengan sistem perhitungan hari atau kalendernya. Karena itu, sistem penanggalan yang kini sering disebut kalender Jawa, dulu disebut Saka karena berasal dari bangsa Saka di Hindhustan. Pada sekitar abad VI dan VII, mulai dikenal sejumlah kerajaan besar seperti Sriwijaya di Sumatra, dan Mataram Hindhu di Jawa Tengah. Saat itu, Nusantara dikenal dengan sebutan Swarna Dwipa untuk kepulauan Sumatra, dan Jawa Dwipa untuk kepulauan Jawa. Istilah Nusantara baru dikenal kemudian pada zaman Majapahit.
Ketika itu, raja terkenal berasal dari dinasti Syailendra dan Sanjaya. Sampai pada sekitar abad X, peradaban jaya Swarna Dwipa dan Jawa Dwipa berubah total oleh letusan Gunung Merapi. Seluruh peradaban di Jawa Tengah luluh lantak, dan memaksa para raja memindahkan pusat kerajaannya ke Jawa Timur. DR Franz Magnis Suseno, SJ menyebut peristiwa itu terjadi pada tahun 1000 Masehi. Empu Sendok, dikatakannya sebagai raja pertama di Jawa Timur.
Pada sekitar abad itu, mulai muncul raja Hindhu lain dari dinasti Warmadewa, yang berkuasa di Bali. Seperti halnya di Indhia, penganut Hindhu yang terdiri dari beberapa aliran kepercayaan yang dianut oleh orang Bali Mula atau penduduk asli Bali di Tampurhyang-Batur-Kintamani dan Bali Aga atau penganut Hindhu dari Jawa, saling bertikai. Seorang raja yang berhasil mempersatukan beberapa aliran kepercayaan itu adalah Udayana Warmadewa dan permaisurinya, Gunapriya Darmapatni (988-1011 Masehi). Dari raja besar itu kemudian lahir Prabu Erlangga, yang kelak di kemudian hari menurunkan Jayabhaya dan Jayasabha.
Pecahnya Daha
Gunapriya Darmapatni, ibunda Erlangga adalah putri Sri Dharmawangsa Teguh Anantha Wikrama Tungga Dewa, raja Daha di Jawa Timur. Daha sering pula disebut Kahuripan. Ketika raja Daha di Jawa Timur tersebut wafat, kakak Gunapriya Darmapatni bernama Kameswara menjadi raja di Daha. Bertahun-tahun kemudian, Erlangga menggantikannya menjadi raja di Daha pada 1019-1085 Masehi, bergelar Sri Maharaja Rake Halu Sri Lokeswara Darmawangsa Erlangga Ananta Wikrama Tungga Dewa. Gelar ini menjadi penyebab terputusnya Erlangga dari garis wangsa Warmadewa, dan berujung pada pecahnya Daha menjadi dua, Jenggala dan Kediri.
Dikisahkan, Prabu Erlangga memiliki dua putra. Sri Jayabhaya dan Sri Jayasabha. Khawatir terjadi perang saudara di antara kedua putranya, Erlangga mengutus Empu Baradah menemui ayahandanya di Bali, dan meminta tahta untuk salah seorang putranya. Permintaan itu ditolak, karena Erlangga dianggap telah melepaskan haknya di kerajaan Bali, dengan menjadi raja di Daha. Terpaksa Prabu Erlangga memecah kerajaannya menjadi dua, Daha atau Kediri dan Panjalu atau Jenggala, untuk dibagikan kepada dua putranya.
Garis perbatasan antara dua kerajaan itu lalu dibuat oleh Empu Barada, dengan bangunan dinding batu. Siapa pun yang berani melanggar akan terkena kutukan para dewa. Kutukan Empu Barada. Namun, beberapa tahun setelah Prabu Erlangga wafat, perang saudara tetap berkobar. Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Jayasabha akhirnya runtuh, dan Jayabhaya menjadi raja tunggal di Jawa Timur. Kerajaan Daha dan Jenggala kembali menyatu dan berpusat di Kediri.
Jayabhaya menjadi raja besar dan paling terkenal pasca Prabu Erlangga. Keadaan negara aman-tenteram, dan berbagai karya sastra lahir pada zamannya. Kehadiran karya sastra merupakan pertanda kemakmuran negara. Prabu Jayabhaya yang bergelar Sang Mapanji Jayabhaya Sri Dharmaishwara Madus Sudana Wartanindhita memerintah sejak 1135-1157 Masehi, berpusat di Mamenang. Saat itu, dua orang empu yang terkenal adalah Empu Sedah dan Empu Panuluh.
Kedua Empu tersebut diperintah oleh Prabu Jayabhaya untuk menyadur Kitab Baratayuda yang berbahasa Indhia ke dalam bahasa sehari-hari pada masa itu, Kakawin. Kehebatan kedua Empu tersebut adalah mampu menyalin setiap peristiwa dalam Kitab Baratayuda seolah-olah peristiwanya terjadi di tanah Jawa. Baratayuda menggambarkan perang saudara antara putra Prabu Erlangga. Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh itu diberi surya sengkala: Sangka Kuda Sudda Candrama (1079 Saka atau 1157 Masehi). Selain berarti angka tahun, sengkalan tersebut juga berarti beliau yang berkuda putih mempunyai hati bersih seperti bulan. Tak lain yang dimaksud beliau adalah Prabu Jayabhaya.
Pada zaman Kerajaan Surakarta, Kitab Baratayuda gubahan Empu Sedah dan Empu Panuluh disadur lagi oleh Pujangga Keraton Surakarta, Ki Yosodipuro I (kakek RNg. Ronggowarsito) ke dalam bentuk tembang. Menurut Kitab Negara Kertagama, Baratayuda dalam bahasa Kakawin memang merupakan ungkapan sejarah perang saudara antara Kediri dan Jenggala. Bahkan, kitab tersebut dianggap sebagai apologi atau pembelaan Prabu Jayabhaya atas perbuatannya yang telah membunuh Prabu Hemabupati atau Jayasabha, yang tak lain adalah adiknya sendiri.
Membunuh saudara sendiri membuat Jayabhaya merasa berdosa. Apa lagi jika mengingat pesan Prabu Erlangga dan Empu Barada. Maka, karya sastra hasil gubahan Empu Sedah dan Panuluh merupakan ruwatan atas perbuatan Sang Prabu Jayabhaya. Sejak itu, Jayabhaya mulai menggiatkan kegiatan susastra, sehingga muncul berbagai ramalan ramalan yang terkenal seperti Jongko Joyoboyo dan lainnya. KOKO T.
PRABU JAYABAYA
Sesuai dengan janji saya kepada seorang teman, Madelyncute, saya berusaha membuat posting tentang Prabu Jayabaya. Niat saya hanya satu: menawarkan kekayaan ilmu Allah yang terserak dimanapun itu. Akurat tidaknya informasi tentang Prabu Jayabaya ini jangan membuat kita mayang mentoleh (ragu, bahasa Jawa) terhadap niatan kita untuk mengambil hikmah sejarah apapun yang melintasi hidup kita. Semoga bermanfaat.
Tidak banyak sumber yang bercerita tentang raja yang satu ini. Ramalan Jayabaya lebih terkenal daripada sang pemilik nama itu sendiri.
Prabu Jayabaya atau Ratu Jayabaya atau Sri Mapanji Jayabaya atau Sri Aji Jayabaya atau Sri Jayabhaya (buah cinta dari kisah romantis Raden Panji Inukertapati dan Dewi Galuh Chandra Kirana) memerintah Kerajaan Kediri di Jawa Timur dari tahun 1135 sampai 1157 Masehi. Raja Jawa yang satu ini disebut juga sebagai ahli nujum selain sebagai pemimpin yang mumpuni. Dia telah meramalkan keruntuhan kerajaannya sekaligus berjayanya kembali kerajaan tanah Jawa di masa depan. Disinyalir kedatangan Belanda dan Jepang telah ada di “penglihatan” sang raja.
Prabu Jayabaya mempersatukan kembali tanah Jawa yang sebelumnya terpecah belah sejak masa pasca mangkatnya Prabu Airlangga. Ratu Jayabaya terkenal karena keadilan dan kemakmuran Kerajaan Kediri dibawah pemerintahannya. Dia juga disinyalir sebagai perwujudan Batara Wishnu, dewa yang dipercayai sebagai pengatur alam semesta dalam kepercayaan Hindu. Dia dimasukkan dalam jajaran Ratu Adil yang dilahirkan dalam masa gelap pada tiap akhir perputaran jaman – Ratu Adil diidentikkan dengan tokoh yang tugasnya mengembalikan keadilan tatanan sosial negeri Jawa sekaligus harmonisasi seluruh alam semesta.
Pada jaman Ratu Jayabaya, sastra Jawa berkembang pesat didukung oleh situasi sosial, politik, dan ekonomi yang cukup kondusif. Mpu Sedah dan Mpu Panuluh merupakan dua mpu sastra tersohor yang hidup di jaman raja tersebut (julukan mpu diberikan pada para ilmuwan Jawa kuno tanpa memandang ilmu yang dikuasainya; bisa ilmu sastra, ilmu perang, ilmu pertanian, dll). Mereka menulis serat Kakawin Bharatayudha yang diadaptasi dari kisah dari India.
Jangka Jayabaya sendiri (sekarang lebih dikenal dengan Ramalan Jayabaya) merupakan sebuah karya yang dinisbatkan kepada sang raja oleh sebagian orang menilik bahwa beliau hidup di jaman yang “kaya sastra” atau bahkan lantaran dialah tokoh dibalik berkembangnya sastra Jawa saat itu. Golongan ini meyakini bahwa semua “ramalan” yang terdapat dalam jangka Jayabaya tersebut adalah ide dan vision sang raja yang didiktekan kepada para juru tulisnya kemudian dirangkum dalam sebuah serat yang diberi pengantar termasuk cuplikan tentang sebagian karakter dan kisah hidup sang raja.
Ada lagi yang berpendapat bahwa Ramalan Jayabaya itu sesungguhnya bukanlah karya sang maharaja melainkan karya orang lain yang kemudian dianggap sebagai karya Jayabaya. Dikisahkan dalam Jangka Jayabaya bahwa Raja Jayabaya pernah berguru kepada seorang ulama terkemuka dari jazirah Arab yang sedang mengembara ke Asia Tenggara. Ulama itu bernama Syech Ali Syamsu Zein, dalam ‘Jangka Jayabaya musabar’ disebut Ngali Samsujen dan adapula yang menyebutnya Maulana Ali Syamsu Zein. Jadi menurut golongan ini, Jangka Jayabaya “hanya” meminjam nama sang raja sebagai judul saja sekaligus mengisahkan sekelumit perjalanan sang saja.
Dipercaya bahwa Ratu Jayabaya tidak pernah meninggal melainkan moksa atau hilang jiwa dan raga dari dunia begitu saja tanpa melewati proses kematian normal sebagai manusia biasa. Analogikan dengan Nabi Isa yang diangkat ke langit. Moksa hanya dicapai oleh orang-orang pinilih (pilihan) menurut ajaran Hindu. Desa Menang Kec. Kab. Kediri Prov. Jawa Timur dipercaya sebagai tempat moksa Sri Aji Jayabaya (sekarang menjadi kunjungan wisata bernama Petilasan Sri Aji Joyoboyo).
Langganan:
Postingan (Atom)