Ekonomi Indonesia dari Masa ke Masa
Bangsa ini sudah diproklamasikan sejak 66 tahun lalu. Terlepas dari belenggu penjajahan, pelan-pelan negeri ini bangkit dari keterpurukan, keterbelakangan, dan ketertinggalan. Pembangunan, meski masih dalam bayang-bayang kolonialisme, mulai dilakukan.Silih berganti pemimpin dengan pola, sistem, dan karakter masing-masing, walaupun memang tak ada yang sempurna. Gading tak ada yang tak retak, para pemimpin bangsa ini pun tak ada yang tak berbalut kekeliruan. Dari masa ke masa, sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi bergulir, kepemimpinan menyisakan kenangan, kekaguman, kebanggaan, puja puji, caci maki, hujatan, dan ketidakpuasan.
Setiap era terdapat persamaan dan perbedaan hasil-hasil pembangunan yang bisa dinikmati oleh rakyat. Berikut ini merupakan sebuah telaah ekonomi Indonesia dari masa ke masa, mulai kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono saat ini.
PERSAMAAN
Dari masa ke masa, setiap era boleh dibilang masih menyisakan ketimpangan ekonomi. Kemiskinan dan ketidakadilan masih terjadi di mana-mana.
Ekonomi:
- Pasca-Indonesia merdeka: ketimpangan ekonomi tidak separah zaman penjajahan, tapi tetap saja kemiskinan dan ketidakadilan terjadi.
- Di masa Orde Baru (1971-1997), rasio pendapatan penduduk daerah terkaya dan penduduk daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8 (1983), lalu naik lagi menjadi 9,8 (1997).
- Di era Reformasi, ketimpangan distribusi pendapatan semakin tinggi dari 0,29 (2002) menjadi 0,35 (2006). Sehingga, dapat dikatakan bahwa yang kaya memperoleh manfaat terbesar dari pertumbuhan ekonomi yang dikatakan cukup tinggi, tapi pada kenyataannya tidak merata terhadap masyarakat.
KKN :
- Orde Lama: Walaupun kecil, korupsi sudah ada.
- Orde Baru: Hampir di semua jajaran pemerintah terjadi praktik-praktik KKN.
- Reformasi: Walaupun sudah dibongkar dan dipublikasi di media, banyak pihak tetap saja membantah melakukan korupsi. Akibatnya, krisis kepercayaan muncul di tengah masyarakat yang sulit disembuhkan akibat praktik-praktik pemerintahan yang manipulatif dan tidak terkontrol.
Kebijakan Pemerintah:
Sejak pemerintahan Orde Lama hingga Orde Reformasi, kewenangan menjalankan anggaran negara tetap ada pada presiden. Setiap masa melahirkan individu atau pemimpin yang sangat kuat di setiap periode pemerintahan hingga menjadikan mereka seolah 'manusia setengah dewa'. Setiap masa pemerintahan pun punya ciri kepemimpinan masing-masing dalam menjalankan arah kebijakan anggaran negara. Ini disesuaikan dengan kondisi stabilitas politik, tingkat ekonomi masyarakat, serta keamanan dan ketertiban.
Kebijakan anggaran negara yang diterapkan pemerintah selama ini selalu berorientasi pada ekonomi masyarakat. Padahal kenyataannya, kebijakan yang ada biasanya hanya untuk segelintir orang, bahkan lebih banyak menyengsarakan rakyat. Belum lagi, kebijakan-kebijakan yang tidak tepat sasaran yang hanya menambah beban APBN.
Bila menelisik lebih dalam, kebijakan-kebijakan sejak Orde Baru hingga sekarang hanya bersifat jangka pendek. Kebijakan yang ditempuh tidak untuk perencanaan ke masa yang akan datang, tapi cenderung untuk mengatur hal-hal yang dibutuhkan sesaat saja.
PERBEDAAN :
Orde Lama (Demokrasi Terpimpin)
Masa Pascakemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk. Penyebabnya antara lain:
- Inflasi yang sangat tinggi, akibat beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Ketika itu, untuk sementara waktu Pemerintah RI menyatakan ada tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI. Mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
- 6 Maret 1946, Panglima Allied Forces for Netherlands East Indies (AFNEI) atau pasukan sekutu mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu.
- Oktober 1946, Pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Banyaknya jumlah uang yang beredar sesuai dengan teori moneter ini terbukti memengaruhi kenaikan tingkat harga.
- Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
- Kas negara kosong.
- Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
Adapun usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi yang timbul, antara lain:
- Februari 1946: Konferensi ekonomi dengan tujuan memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, seperti produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
- Juli 1946: Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh Menteri Keuangan Ir Surachman dengan persetujuan BP-KNIP.
- Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India, mengadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatra dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- 19 Januari 1947: Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi).
- Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 dengan mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Kasimo Plan, yang intinya mengenai usaha swasembada pangan dengan beberapa petunjuk pelaksanaan yang praktis. Dengan swasembada pangan, diharapkan perekonomian akan membaik.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik dan sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Padahal, pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina. Pada akhirnya, sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka. Di masa ini, muncullah upaya-upaya untuk mengatasi masalah ekonomi, antara lain:
- 'Gunting Sjafruddin', yaitu pemotongan nilai uang (sanering) pada 20 Maret 1950. Istilah 'Gunting Sjafruddin' ini melekat pada era Sjafruddin Prawiranegara menjadi Menteri Keuangan pada kabinet Hatta II. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar agar tingkat harga turun.
- Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing. Impor barang tertentu dibatasi dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir pribumi. Pemberian kredit juga diberikan pada perusahaan-perusahaan pribumi agar mereka bisa berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Tapi, usaha ini gagal. Pengusaha pribumi memiliki sifat yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
- Nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia pada 15 Desember 1951, lewat UU No 24 Tahun 1951 dengan fungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
- Sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mendagri kala itu, Iskak Cokrohadisuryo. Langkah yang dilakukan adalah menggalang kerja sama antara pengusaha Cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha nonpribumi wajib memberikan latihan-latihan kepada pengusaha pribumi. Sementara itu, pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional. Program ini pun tidak berjalan dengan baik. Pengusaha pribumi kurang berpengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
- Pembatalan sepihak atas hasil-hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), termasuk pembubaran Uni Indonesia-Belanda. Akibatnya, banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha-pengusaha pribumi belum bisa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 membuat Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonominya menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan bermuara pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik, dan ekonomi. Tapi nyatanya, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah pada masa itu belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi Indonesia.
Hal-hal penting yang terjadi, antara lain:
- Devaluasi yang diumumkan pada 25 Agustus 1959 menurunkan nilai uang, seperti uang pecahan kertas Rp 500 menjadi Rp 50, uang kertas pecahan Rp 1.000 menjadi Rp 100, dan semua simpanan di bank yang melebihi 25.000 dibekukan.
- Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon) untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Kondisi ini dalam pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan pada 1961-1962, harga barang-baranga naik hingga 400 persen.
- Devaluasi yang dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1.000 menjadi Rp 1. Sehingga, uang rupiah baru mestinya dihargai 1.000 kali lipat uang rupiah lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka, tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini, banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat.
- Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa Orde Baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Pada masa itu, pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena itu, pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Ini dituangkan dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Selama 30 tahun lebih, langkah ini cukup berhasil karena pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu, laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro, tapi pada hal yang bersifat mikro ekonomi. Pemerintah pun selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde Baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri atas penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan, sedangkan pengeluaran terdiri atas pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan sesuai dengan masa panen petani sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa ini diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang. Yaitu, anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Perimbangan itu sebetulnya sangat tidak mungkin. Karena, pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Artinya, pinjaman-pinjaman luar negeri ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal, seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Karena itu, pada dasarnya APBN selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan ini kerap menuai kritik karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga, antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak sangat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun, prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah di masa Orde Baru untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena itu, pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi meski bersumber dari anggaran yang defisit. Kondisi seperti ini memang membuat pembangunan masih bisa terus berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan, di mana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat dibiayai seluruhnya oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya, kebijakan ini sangat bagus karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Namun, dalam APBN tiap tahunnya, pencantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Dalam keterangan pemerintah tentang RAPBN 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Di antaranya, akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Yang terjadi justru perbedaan penghasilan. Selain itu, pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan risiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Parahnya lagi, ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah dinamis. Artinya, peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini, pemerintah akan berupaya mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu deregulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Namun, kebijakan ini butuh waktu lama. Kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri sulit tercapai karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal, di saat yang bersamaan, persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Jelas sudah, APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri.
- Masa Reformasi (Demokrasi Liberal)
Tumbangnya rezim Orde Baru disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden BJ Habibie. Pada masa ini, tak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, tetapi juga kebijakan ekonomi. Penyesuaian besar-besaran dalam tatanan kenegaraan selama 32 tahun pun harus terjadi.
Habibie yang mengawali masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang ekonomi. Kebijakan-kebijakannya lebih kepada mengendalikan stabilitas politik. Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid pun hampir serupa. Belum ada tindakan yang cukup berarti untuk menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi yang diwariskan Orde Baru harus dihadapi, antara lain, masalah KKN, pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi, dan mempertahankan kurs rupiah.
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan, yaitu pemulihan ekonomi dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang dilakukan Megawati untuk mengatasi persoalan-persoalan ekonomi, antara lain:
- Meminta penundaan pembayaran utang pada pertemuan ke-3 Paris Club.
- Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 persen. Namun, kebijakan ini memicu banyak kontroversi karena BUMN yang diprivatisasi dijual ke perusahaan asing.
- Di masa ini juga direalisasikan berdirinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tapi, belum ada gebrakan konkret dalam pemberantasan korupsi. Padahal, keberadaan korupsi membuat banyak investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia dan mengganggu jalannya pembangunan nasional.
Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial, yaitu mengurangi subsidi BBM atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan, kesehatan, dan bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan per kapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi.
Sejarah APBN
Era Kolonial:
UU tahun 1925 tentang Perbendaharaan Negara (Thesauri Negara) diserahi tugas untuk menyusun anggaran belanja, pengeluaran, dan penerimaan berdasarkan atas sumbangan bahan-bahan yang dikirimkan oleh departemen-departemen pemerintahan umum.
Membiayai pemerintahan jajahan.
Bertujuan untuk melanggengkan penguasaan terhadap tanah jajahan.
Sangat biasa dengan konsentrasi birokrasi dan elite.
Sejak Kemerdekaan (1945 - 1957):
Terjadi proses restrukturisasi dan reorientasi, tetapi masih lebih fokus pada menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang baru.
1957:
Difokuskan terhadap enam sektor: umum, keamanan, kemakmuran, kebudayaan, sosial, dan luar negeri.
Orde Baru-2004:
Fungsi anggaran difokuskan pada sektor dan subsektor.
2005-sekarang:
Terbagi menjadi 11 fungsi dan 79 subfungsi. Ke 11 fungsi tersebut adalah:
Pelayanan pemerintahan umum
Pertahanan
Ketertiban, Keamanan, dan Hukum
Ekonomi
Perlindungan Lingkungan Hidup
Perumahan dan Permukiman
Kesehatan
Pariwisata dan Budaya
Agama
Pendidikan
Perlindungan Sosial.
Sumber : makalah Arif Budimanta.