“Hatta… Kau benar,”katanya
dalam bahasa Belanda. Hatta tidak merespon kata-kata itu. Ia hanya
tepekur. Sedih. Dan tentunya itu bukan sebuah kepura-puraan.Waktu
kemudian menjadi saksi, pertemuan dua sahabat yang mengantarkan
kelahiran bayi bernama Indonesia itu, adalah pertemuan terakhir kalinya.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 21 Juni 1970 Soekarno pun pergi untuk
selamanya.
Saat mendengar Soekarno meninggal, konon
Hatta terdiam lama. Saya yakin, itu adalah sebentuk rasa kesedihan yang
luar biasa bagi laki-laki sederhana tersebut. Ya, Hatta tak mungkin
melenyapkan Soekarno dari benaknya. Sejak 1932, mereka berdua telah
berteman dan bahu membahu berjuang mendirikan Indonesia sekaligus
merawatnya.
1 Desember 1956.Wakil
Presiden Mohammad Hatta, resmi melepaskan jabatannya. Surat pengunduran
diri Hatta sebenarnya sudah dikirim jauh-jauh hari sebelum itu yaitu
pada 20 Juli 1954. Dwi tunggal Soekarno-Hatta, mulai hari itu juga,
resmi tanggal. Berpisah jalan.
Meski telah mengundurkan diri, namun
banyak pihak yang menginginkan agar Hatta bisa kembali aktif di
pemerintahan. Beberapa agenda dan pertemuan digelar untuk menjajaki
kemungkinkan ke arah itu.
Pada bulan September 1957, atas prakarsa
Perdana Menteri Ir Djuanda, digelar Musyawarah Nasional yang membahas
kemungkinan rekonsiliasi antara Soekarno-Hatta. Beberapa anggota DPR
juga mengajukan mosi mengenai pemulihan kerja sama antara
Soekarno-Hatta. DPR sendiri kemudian menerima mosi tersebut dan
menyepakati dibentuknya panitia Ad Hoc untuk mencari dan merumuskan
bentuk kerja sama yang baru antara Soekarno-Hatta. Panitia tersebut
resmi dibentuk pada 29 September 1957 dan dikenal sebagai Panitia
Sembilan.
Hingga pembubaran resmi panitia Sembilan
itu pada Maret 1958, tak ada keputusan konkrit yang dihasilkan. Publik
yang berharap Soekarno-Hatta bisa bekerjasama harus menelan
mentah-mentah harapannya. Dwi tunggal, yang sudah nyaris menjadi mitos
dan legenda itu, dipastikan pecah kongsi selamanya.
Ketika Soekarno membubarkan konstituante
yang dipilih rakyat dan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli1959, Hatta
melihat Demokrasi sampai pada tahap yang membahayakan. Konstituante di
bubarkan Soekarno sebelum tugasnya menyusun Undang-Undang Dasar
rampung.Dekrit Presiden itu akan memberlakukan kembali UUD 1945. Hatta
melihat hal itu dengan prihatin dan menganggap telah terjadi krisis
Demokrasi. Bung Hatta kemudian menulis buku Demokrasi kita
tahun 1960 dan dimuat di majalah Panji Masyarakat yang dipimpin
Hamka.Soekarno marah karena isi buku tersebut dianggap menentang
kebijakannya. Selain dilarang terbit, majalah Panji Masyarakat juga
dilarang untuk dibaca,dilarang untuk disimpan, dan dilarang keras untuk
menyiarkan buku tersebut. Dan barang siapa yang tidak mengindahkan
larangan itu diancam hukuman berat. Padahal “Demokrasi Kita” merupakan
hasil pikiran brilian salah seorang Proklamator kemerdekaan Indonesia
pada 17 Agustus 1945.
*****
Pangkalan militer AS di kawasan Pasifik
sudah lama ada di Pearl Harbour, Pilipina (Subic dan Clark), Guam dan
setelah PD-2 bertambah dengan pangkalan baru di Okinawa, Taiwan, Korea
Selatan dan Vietnam Selatan. Sedangkan kekuatan militer Inggris berkuasa
di Singapura. Dengan sederetan pangkalan itu jalur ekonomi Selat Malaka
dan Laut Cina Selatan dikuasai. Kekuatan militer itu sudah berada dalam
suatu komando yaitu Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO). Kekuasaan
ekonomi juga kokoh karena hampir seluruh perdagangan Asia Timur
danTenggara adalah dengan Blok Barat.
Lautan memang dikuasai tapi di daratan
banyak masalah. Rakyat Vietnam bangkit melawan Perancis dan mereka
menang setelah benteng Dien Bien Phu berhasil digempur (1954). Dari
pemain di belakang layar AS mulai turun sendiri ke gelanggang. Di
Indonesia, Pemilu-55 menghasilkan empat besar (PNI, Masyumi, NU dan
PKI). Yang lebih mengkhawatirkan AS adalah hasil Pemilu Daerah 1957. Di
P. Jawa yang memilih PKI meningkat pesat, dari 19,8% dalam Pemilu-55
menjadi 30,5% dalam Pemilu Daerah-1957.
Sementara itu ketegangan antara pusat dan
daerah mulai meningkat, baik di kalangan sipil maupun militer. Hubungan
antara pimpinan militer pusat, Nasution dan stafnya, dengan para
kolonel di Sumatra dan Sulawesi sudah tegang. Penyelundupan kopra dan
karet menjadi sumber pendapatan para kolonel daerah. Dengan sumber dana
sendiri, mereka mau lebih otonom, mau lebih bebas dari kontrol pusat.
Nasution didukung sepenuhnya oleh Sukarno untuk menegakkan kontrol
pusat. Lalu dia memindahkan para panglima daerah itu. Warouw, panglima
Indonesia Timur, diberi tugas baru sebagai atase militer di Peking.
Tetapi beberapa kolonel Sumatera yang tidak setuju dengan rencana
Nasution kemudian mendirikan Dewan Banteng dipimpin oleh kolonel Ahmad
Husein, panglima Sumatra Barat. Tgl 20 Desember 56, Husein mengambil
kekuasaan sipil di Bukit Tinggi atas nama Dewan Banteng. Simbolon,
panglima Sumatra Utara coba merebut kekuasaan sipil di Medan, tetapi
gagal. Kolonel Barlian, Panglima Sumatra Selatan meresmikan berdirinya
Dewan Garuda yang tidak mengambil alih kekuasaansipil di Palembang
tetapi bertindak sebagai ‘penasehat’.
Pada 24 November 1956, reuni eks Divisi
Banteng (yang kemudian menjadi Dewan Banteng) di Padang, Sumatra Tengah
(kini Sumatra Barat), memberi perhatian serius terhadap otonomi luas
dan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Pokok-pokok
Perjuangan Dewan Banteng yang diumumkan seusai reuni, antara lain,
menuntut: “… pemberian serta pengisian otonomi luas bagi daerah-daerah
dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta
pemberian perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang wajar,
layak, dan adil.”
Reuni eks Divisi Banteng juga: “Menuntut
serta memperjuangkan diadakannya suatu Dewan Perwakilan Daerah-daerah
(Senat) di samping DPR (Parlemen) yang akan dapat menjamin langsung
kepentingan daerah-daerah dalam wilayah Republik Indonesia.”
Kolonel Sumual, panglima Indonesia Timur
yang baru saja menggantikan Warouw, memproklamirkan keadaan darurat di
wilayahnya dan mengambil alih kekuasaan sipil di Makasar. Tanggal 2
Maret 1957 dibacakan “Piagam Perjuangan Semesta Alam” (Permesta) yang
menuntut: otonomi daerah yang lebih besar, kontrol terhadap pendapatan
daerah, desentralisasi dan kembalinya dwitunggal Sukarno-Hatta.
Menyusul proklamasi Permesta, kolonel Barlian di Sumatra Selatan juga
mendirikan pemerintahan militer dan menyingkirkan gubernur sipil.
Para panglima daerah mendapat dukungan
juga dari tokoh-tokoh sipil. Bantuan terbesar diperoleh dari profesor
Sumitro. Bekas menteri keuangan itu oleh militer dituduh korupsi, lalu
dia diperiksa. “In March, the army had summoned Sumitro for
questioning because of his association with a Chinese businessman who
had been arrested on charges of fraud, bribery and subversion. After two
interrogations regarding his financial ties with the businessman,
Sumitro refused to comply with a third summons on May 8, 1957, and
instead fled Jakarta” (K&K, 70-71). Sumitro kabur ke Sumatra
dan bergabung dengan para kolonel. Bersama Simbolon, Sumitro menjadi
jurubicara para kolonel di luar negeri. Di Singapura Sumitro menghubungi
agen CIA yang sudah dikenalnya di Jakarta (K&K, 71). Tanggal 7-8
September, Sumitro bertemu dengan para kolonel pembakang di Palembang.
Pertemuan itu mencetuskan “Piagam Palembang” yang mengajukan lima
tuntutan ke pusat: (1) Pemulihan Dwitunggal Soekarno-Hatta, (2) Penggantian pimpinan Angkatan Darat, (3) Pembentukan Senat di samping Dewan Perwakilan Rakyat untuk mewakili daerah-daerah, (4) Melaksanakan otonomi daerah, dan (5)
Melarang komunisme di Indonesia. Sayangnya, tuntutan daerah itu
tidak digubris oleh pemerintah pusat. Dengan berbagai fragmen yang
mendahuluinya, pada 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan mengumumkan
Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara.
Butir (3) piagam tersebut berbunyi sebagai berikut: “Memberantas
korupsi dan birokrasi disebabkan oleh sentralisme yang telah melewati
batas, yang menjadi penghalang bagi pembangunan yang adil dan merata
antara daerah-daerah Indonesia, serta perkembangan bakat potensi dan
tanggung jawabnya, baik di lapangan ekonomi, keuangan, dan
ketatanegaraan.”
Ketegangan pusat-daerah memuncak dengan
rangkaian peristiwa tadi. Mulai dengan didirikannya Dewan Banteng,
proklamasi Permesta, berdirinya Dewan Garuda dan dicetuskannya Piagam
Palembang. Pemerintah pusat lalu mengundang seluruh pimpinan sipil dan
militer daerah dalam Musyawarah Nasional (Munas) pada tanggal 10-12
September 57. Setelah Munas, Hatta mengadakan perjalanan keliling
Sumatra untuk meredakan suasana. Tapi baik Munas maupun usaha keras dari
Hatta itu tidak berhasil meredakan ketegangan.
Bulan
Januari 1958 kolonel Barlian, panglima Sumatra Selatan, mengusulkan
pertemuan para kolonel di Sungai Dareh (9-10 Januari). Dalam pertemuan
itu kemudian ikut serta tiga orang tokoh Partai Masyumi: Burhanuddin
Harahap, Natsir (keduanya bekas Perdana Menteri) dan Sjafruddin
Prawiranegara (beliau yang pernah memimpin pemerintahan RI dalam
pengasingan setelah Sukarno-Hatta ditawan dalam Agresi-2). Dalam
pertemuan Sungai Dareh itu, ketiga pemimpin Masyumi terperangkap dalam
persekongkolan dengan AS yang sudah digarap oleh Sumitro, Simbolon dan
Sumual. “They discovered that the colonels already had
well-developed contacts and sources of funding and supply abroad,
especially with the CIA, and had been promised more, including air
cover.” (K&K, 128). Menurut Sjafruddin, mereka tidak tahu sebelumnya tentang kontak-kontak kolonel Husein dengan CIA, dan “We
were left completely in the dark with respect to his daily telegraphic
contact with Singapore, the CIA’s major headquarters for covert U.S.,
operations in the area.”
Para tokoh Masjumi berusaha agar para
kolonel tidak membentuk pemerintahan yang terpisah dari RI. Menurut
James Bell, wartawan majalah Time yang meliput pertemuan Sungai Dareh
itu,
tokoh-tokoh Masyumi berpikir, “Civil war must be prevented and nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda with Hatta.” (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis. Pertemuan Sungai Dareh membentuk “Dewan Perjuangan” dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di Sungai Dareh itu terbatas, “The three Masyumi leaders realized that by participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to Jakarta” (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno. Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah.
tokoh-tokoh Masyumi berpikir, “Civil war must be prevented and nothing rush should be done untill all possible steps have been taken to replace Juanda with Hatta.” (K&K, 129). Tapi mereka terdesak oleh para kolonel yang hadir, yaitu Simbolon, Husein, Sumual, Barlian, Dahlan Jambek dan Zulkifli Lubis. Pertemuan Sungai Dareh membentuk “Dewan Perjuangan” dengan Hussein sebagai komandannya dan Padang sebagai markas besarnya. Dewan itu yang mengkoordinir Dewan Banteng, Dewan Garuda dan Permesta di Sulawesi. Meskipun peran mereka di Sungai Dareh itu terbatas, “The three Masyumi leaders realized that by participating in the conference they had crossed a Rubicon and that it would not be possible to return to Jakarta” (K&K, 129). Pimpinan Masyumi terjebak dalam persekongkolan para kolonel dan AS. Setelah PRRI/Permesta kalah maka Masyumi kemudian dibubarkan oleh Bung Karno. Padahal Masyumi adalah partai nomor dua terkuat di seluruh Indonesia, 50% di Jawa dan 50% di luar Jawa, sehingga Masyumi yang sebenarnya bisa mewakili aspirasi pusat maupun daerah.
Para kolonel terus menjalin hubungan
dengan AS dan Inggris. Piagam Palembang membuktikan para kolonel itu
anti komunis. Sumitro memberi banyak nasehat pada para kolonel daerah
untuk sering-sering menyanyikan lagu anti-komunis ini. “By the time
of the February ultimatum to Jakarta anticommunism dominated the
interviews given by most rebel leaders to visiting Western journalists.” Menurut salah satu pimpinan PRRI, kolonel Dahlan Jambek, “We must win American support by emphasizing the communist danger,” dan “it
was important to stress the anti- communist danger in the argument ‘so
as to interest the Americans’. Naturally our appeal must be made to fit
our audience. For the Western powers we stress the very realdanger of
communism” (K&K, 147).
Ketegangan hubungan antara Pusat dengan
Daerah (Medan, Padang, Palembang dan Makasar) pada akhir tahun 50-an
memang dimonitor betul oleh pemerintahan Eisenhower. Ketika John Allison
diangkat sebagai dubes baru AS untuk Indonesia (21 Februari 1957),
pesan pemerintah Eisenhower tegas sekali, “Don’t let Sukarno get
tied up with the communists. Don’t let him use force against the Dutch.
Don’t encourage his extremism…Above all, do what you can to make sure
that Sumatra (the oil production island) doesn’t fall to the communists,”
(K&K, 84). Bulan Mei 1957, Dewan Keamanan Nasional AS (NSC)
menugaskan seorang staf ahlinya, Gordon Mein, untuk menjajaki “the
possible break-up of Indonesia” (K&K, 85). Dari studinya Mein
menulis memorandum panjang yang al menyatakan bahwa, “It would be
advantageous to have the sources of such commodities (rubber, oil,
petroleum, tin) under more reliable political control… Sumatra, with the
Malay peninsula, dominates the Staits of Malacca, and is of great
strategic importance.” Sebagai kesimpulan, Mein menyatakan pecahnya
Indonesia, “Could succeed only with substansial material assistance from
the United States,” (K&K, 88-89).
Para
pejabat tinggi State Department (Departemen Luar Negeri) AS memutuskan
bahwa AS perlu melakukan operasi intelijen dan memberikan bantuan
militer ke pihak pemberontak di Sumatra (PRRI) dan Sulawesi (Permesta)
melawan pemerintah pusat RI di Jakarta. Pertimbangan utama politiknya
saat itu disebabkan oleh kecenderungan berkembangnya PKI dan sikap Bung
Karno yang tidak bisa diharapkan lagi untuk menjaga kepentingan
ideologis AS di Asia, khususnya Indonesia. Di tengah-tengah suasana
Perang Dingin, faktor pertarungan ideologi memang mendominasi
pengambilan keputusan semacam itu.
Maka, sekumpulan “James Bond” dari kalangan CIA kemudian ditugasi melakukan operasi dengan code-name
Haik, pelesetan dari kode awalan HA dalam sistem CIA. Mulailah mereka
menyelenggarakan serangkaian pertemuan, operasi intelijen, dan kiriman
bantuan militer kepada PRRI dan Permesta. Potongan kisah-kisah pribadi
dan kolektif operasi AS di Indonesia itulah yang dituangkan ke dalam
buku Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia
karya Conboy dan Morrison ini. Suatu buku yang mungkin bisa memberikan
inspirasi baru bagi kisah-kisah fiksi Ian Flemming (kalau saja ia belum
meninggal) atau film semidokumenter seperti karya John Hughes, The Indonesian Upheaval, untuk tahun 1965.
Dalam pergolakan daerah di Indonesia ini tiga unsur menyatu, yaitu partner lokal, ideologi anti-komunis dan intervensi militer.
Sejak bulan Oktober 1957 CIA sudah mulai menyalurkan dana kepada
kolonel Simbolon, eks panglima Sumatra Utara, yang dianggap pimpinan
para kolonel. Tabir anti komunis itu dipakai efektif sekali oleh para
kolonel. Menurut petugas CIA, Simbolon dkk itu, “Played up the anti-communist act because they knew we were interested in that.”
Dengan ideologi anti-komunis ini para pemberontak segera mendapat
senjata untuk 8000 orang yang diselundupkan sebagai perlengkapan
perusahaan minyak Caltex, dan sebagian lagi dikirim melalui pesawat
udara dan juga melalui kapal selam yang muncul di pelabuhan Painan, 20
mil selatannya Padang. Kapal selam juga mengangkut pasukan Simbolon
untuk berlatih di fasilitas militer AS di Okinawa, Saipan dan Guam.
Persiapan militer untuk pemberontakan itu terus berlangsung selama akhir
tahun 1957 (K&K, 120-121).
Pada tanggal 15 Februari 1958 PRRI
memproklamirkan diri. Untuk membuktikan anti-komunisnya PRRI menangkap
dan memenjarakan sekitar 650 orang PKI. “The anti-communist theme
had by this time assumed major importance in the rebel propaganda,
particularly to their overseas backers.” (K&K, 147). Dukungan kepada para pemberontak PRRI diwujudkan dengan intervensi militer AS. “It
was now evident that not merely were U.S. arms being channeled to the
rebels via Taiwan and the Philippines but that military personnel form
both the United States and the government of Chiang Kai-shek were
directly supporting the rebels and that Philippine government personnel
were alsogiving them significant assistance” (K&K, 168).
Di lautan PRRI dibantu penuh. Komandan
Armada-7 AS membentuk “Task Force-75″ yang terdiri atas satu cruiser,
dua destroyer dan satu kapal induk (aircraft carrier) berisi 2 batalion
marinir untuk bergerak ke Singapura. Tujuan akhirnya adalah menduduki
lapangan minyak Minas dan Duri di Riau. Kalau lapangan minyak itu dibom
oleh RI maka Allen Dulles berpikir itulah alasan terbaik untuk
mengadakan intervensi militer langsung dengan alasan “Melindungi warga
AS di Caltex” (K&K, 149). Kolonel George Benson, atase militer AS di
Jakarta bilang, “The U.S was anxious to have pretext to send marines.” Dan dua batalion marinir itu sudah, “fully equipped and ready for battle were prepared to be helicoptered within twelve hours notice to the Sumatran oil fields” (K&K, 150).
Akhir dari pemberontakan PRRI kita semua
sudah tahu. TNI bertindak cepat dan sangat berani. Dengan 5 batalion
marinir dan dua kompi RPKAD lapangan minyak Caltex direbut sehingga
tidak ada lagi alasan AS untuk mendaratkan pasukannya di Sumatra. Task
Force-75 terpaksa kembali ke pangkalan Subic di Pilipina. Tanggal 17
April Padang direbut kembali.
Di Sulawesi ceritanya agak lain. Bantuan
AS membuat Permesta berjaya di udara. Selama bulan April-Mei 1958,
Angkatan Udara Permesta (AUREV) mengadakan pengeboman di Banjarmasin,
Balikpapan, Palu, Selat Makasar, Kendari, Makasar, Ambon, Ternate dan
Jailolo (di Halmahera) dan Morotai. Lapangan terbang yang mensuplai
pemberontakan PRRI/Permesta al: Bangkok, Singapura, Saigon, Subic dan
Clark dan Taiwan (K&K, peta halaman 171). Pilotnya berasal dari
Amerika, Pilipina dan Taiwan. Morotai adalah lapangan terbang yang
landasannya cukup panjang untuk mendaratnya pembom B-29. Dengan B-29
berpangkal di Morotai maka Permesta punya kemampuan untuk membom
Surabaya, Bandung dan Jakarta. Dengan menguasai udara, sekaligus berarti
juga menguasai lautan, pimpinan militer Permesta, kolonel Vence Sumual,
sudah merencanakan untuk menyerbu Jakarta setelah menguasai Balikpapan
dan Banjarmasin (K&K, 172). Tapi bulan Mei itu juga AURI mengadakan
serbuan besar-besaran ke lapangan terbang Menado, Morotai dan Jailolo,
yang dibarengi dengan serbuan darat. Tanggal 26 Juni Menado direbut.
Pada bulan Juni, tulang punggung pemberontakan Permesta sudah
dipatahkan. (Lihat Operation “HAIK” : Clandestine US Operations: Indonesia 1958, Operation “Haik”)
Intervensi militer AS selama pemerintahan
Eisenhower ini gagal total. Memang petualangan politik-militer ini
hampir tidak tercatat dalam sejarah dunia. Baru studi Audrey Kahin dan
George Kahin pada tahun 1995 ini yang membentangkan intervensi
politik-militer AS dengan detail. Petualangan AS di Indonesia jauh lebih
besar dari pada Peristiwa Teluk Babi dalam pemerintahan Kennedy (untuk
menjatuhkan Fidel Castro di Kuba pada tahun 1961). Di Indonesia operasi
rahasia AS ini tidak hanya dilakukan oleh CIA, tetapi juga melibatkan
Angkatan Laut (Armada-7), Angkatan Udara AS, dan berlangsung dalam waktu
yang jauh lebih lama dari pada Peristiwa Teluk Babi. Dibandingkan
dengan Peristiwa Teluk Babi, “The intervention in Indonesia was by
far the most destructive in human terms, had a heavier and more lasting
political impact, and with respect to the U.S. objectives, was the most
counterproductive” (K&K,3).
********
Dalam buku Conboy dan Morrison “Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958“,
keterlibatan CIA dalam pergolakan ini sangat jelas. Adalah Presiden AS
Eisenhower, John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri AS, dan Allan
Dulles, Direktur CIA, yang mengantar keterlibatan CIA dalam perjuangan
PRRI/Permesta. Kekecewaan terhadap kebijakan lunak Presiden Henry
Truman menghadapi komunisme pasca-Perang Dunia II lewat program bantuan
ekonomi Marshall Plan telah mendorong pembuat kebijakan AS bertindak
lebih agresif untuk membendung bahaya komunis di seluruh belahan dunia.
Ketika bibit komunisme mulai bersemai di Indonesia, yang diserap dalam
konsep Nasakom (nasionalis, agama, komunis), tak aneh jika Eisenhower
dan Dulles bersaudara menganggap sepak terjang kolonel pembangkang di
Indonesia sebagai elemen kunci strategi Amerika dalam upaya menjegal
penyebaran komunis di Asia Tenggara.
Pilihannya tak hanya sekadar keterlibatan
secara terbuka ala Marshall Plan, tapi juga operasi tertutup yang
melibatkan jaringan CIA di seluruh dunia. “I think it’s time we held Sukarno’s feet to fire
(ini saatnya kita menyeret kaki Sukarno ke api),” ujar Frank Wisner,
kepala operasi klandestin CIA, seperti yang dikisahkan dalam buku karya
Conboy dan Morrison itu.
Meski pihak CIA dan para perwira
pembangkang mempunyai kepentingan bersama, situasi ini tak diketahui
secara persis oleh beberapa kolonel di Indonesia. Akibatnya, Ventje
Sumual, pemimpin Permesta, dan Letkol Sjoeib, tangan kanan Ahmad
Hussein di PRRI, pontang-panting berupaya membeli senjata.
PRRI/Permesta menggunakan uang hasil ekspor karet dan kopra. “Kita
harus punya senjata untuk menggertak Jakarta bahwa kita kuat,” ujar
Sjoeib seperti yang diutarakan kepada TEMPO.
Semua pergolakan perwira pembangkang itu
dimonitor markas CIA di Jakarta, yang memiliki jaringan dengan agen
lokal. Salah satu agen lokal CIA itu adalah Sutan Alamsjah Simawang.
Pengusaha Padang ini kabur ke Australia selama Perang Dunia (PD) II dan
sempat mendapat pendidikan latihan intelijen AS. Seusai PD II,
Simawang menjalin kontak dengan Kedutaan Besar AS di Jakarta. Dari
Simawang, CIA mengetahui bahwa Ketua Dewan Gadjah (Panglima Tentara
Teritorial Bukit Barisan) Kolonel M. Simbolon, yang terisolasi di
Padang, mulai merasakan tekanan. Sang Kolonel bergantung pada sumbangan
makanan dari Letkol Ahmad Hussein (Ketua Dewan Banteng) yang terbatas.
Dengan Hussein yang terjepit dan pasukan Simbolon mulai kelaparan,
tekanan pun mengganjal.
Adalah James M. Smith Jr., seorang
perwira CIA, yang kemudian menangani Simawang. Dia pernah ditempatkan
di Medan sehingga banyak mengenal perwira lokal TNI, termasuk Kolonel
Simbolon. Suatu hari pada 1957 di Jakarta, Smith kaget melihat dua
orang Sumatra sudah berada di depan pintu rumahnya untuk menyampaikan
pesan: Kolonel Simbolon sedang mencari kontak ke pemerintah Amerika.
“Mulanya saya pikir mereka provokator yang dikirim pemerintah pusat,”
kata Smith.
Washington segera menyetujui permintaan
Smith untuk bertemu dengan para pembangkang Sumatra. Ketika Smith
bertemu dengan Simbolon dan Hussein di Bukittinggi, mereka tak
membicarakan bantuan militer, melainkan hanya bantuan uang dan radio
komunikasi. Bantuan finansial itu segera dikirim lewat seorang perwira
CIA di Konsulat AS di Medan bernama Dean Almy, 30 tahun. Penugasan ini
membawa Almy ke balik setir jip untuk memulai perjalanan solo penuh
bahaya ke Bukittinggi. Di sebelahnya tergeletak tas berisi lembaran US$
50 ribu untuk pembelian beras bagi para pengikut Kolonel Simbolon.
Pertemuan Almy dengan Simbolon itu tak
menyinggung soal bantuan militer. Sebaliknya, Simbolon menegaskan
statusnya masih perwira TNI dengan komitmennya terhadap persatuan
bangsa, sekalipun menuntut otonomi regional yang lebih. Sejak saat itu,
AS semakin yakin dengan kawan kolonel Indonesianya tersebut. “Ia
(Simbolon) melihat ke dalam relung matamu dengan jabat tangan yang
kukuh,” ujar Almy, “Dia tak hanya tahu bahasa Inggris yang sempurna,
bahkan ia tahu bahasa prokem Amerika.”
Tapi PRRI masih berusaha mencari senjata
dengan cara membeli. Maka, Letkol Ahmad Hussein mengutus Letkol Sjoeib
ke Singapura dengan menumpang kapal Douglas. Kapal Norwegia ini disewa
PRRI untuk mengekspor karet ke Singapura. Saat karet dibongkar di
pelabuhan Johor, Malaysia, bak seorang pengusaha, Sjoeib turun dari
kapal dan dengan mobil meluncur ke Singapura. Dia mengontak seorang
pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang dekat dengan PRRI, bernama
A.P. Lim. Lim segera menyodorkan secarik kertas dengan nomor, nama
jalan, dan pesan yang samar, “Seseorang akan menemui Anda.”
Ketika Sjoeib sampai di alamat yang
dituju, ia bertemu dengan seorang pria jangkung berkulit putih yang
memperkenalkan diri sebagai George. Nama asli George sebenarnya adalah
Fravel “Jim” Brown, agen CIA yang juga pernah ditempatkan di Medan.
Tapi saat itu George menawarkan secangkir kopi beserta isyarat untuk
pertemuan yang akan datang. Karena gagal memperoleh senjata saat itu,
Sjoeib kembali ke Padang. Tapi, dua pekan kemudian, sebuah pesan dari
kantor pusat CIA sampai di konsulat Medan: “Kirimlah buku yang lebih
banyak.” Ini adalah tanda bahwa CIA pusat menyetujui bantuan yang lebih
banyak untuk PRRI. Almy pun menyusun rencana pertemuan dengan PRRI di
Singapura.
Pada pertemuan kedua itu, Sjoeib bersama
Simbolon bertemu langsung dengan Kepala Markas CIA di Singapura, James
Foster Collins. Sebelum berdinas di CIA, Collins sudah mengenal
sejumlah perwira senior TNI, termasuk Simbolon. Dalam pertemuan yang
juga dihadiri oleh Almy dan Jim Brown itu, sebuah tas berisi “buku”
(alias uang US$ 43 ribu) berpindah ke tangan Simbolon dan Sjoeib. Bak
kisah film-film James Bond, daftar senjata pun disodorkan: senjata
anti-pesawat terbang, antitank, senapan, dan granat. “Simbolon sangat
senang,” tutur Almy seperti yang dikisahkan dalam buku karya Conboy dan
Morrison itu.
Pada Januari 1958, kapal selam Amerika
USS Bluegill mendapat perintah sangat rahasia untuk menyiapkan misi
pengawalan pengiriman senjata ke Sumatra. John Mason—agen CIA yang
berhasil menangani infiltrasi CIA ke Cina dan Tibet—ditunjuk memimpin
operasi dengan nama sandi “Haik”. Kapal selam Bluegill berangkat dari
pangkalan di Teluk Subic, Filipina, dan bergerak dalam keheningan
jurang kegelapan 2.000 meter di bawah permukaan laut Selat Mentawai.
Sebuah pesan dari Singapura sampai di
Padang: “Barang-barang sudah berada di laut lepas. Harap Tuan-Tuan
besok mengambilnya.” Dua hari setelah konferensi Sungai Dareh, kapal
perang AS USS Thomaston meluncur memasuki Selat Mentawai. Kegelapan
malam melindungi kapal ini ketika ia memuntahkan dua kapal kecil dari
lambungnya. Begitu kapal kecil yang penuh senjata itu menyentuh air
laut, Thomaston segera kabur.
“Our baby is about to be born
(bayi kita sudah akan lahir),” ujar Jim Brown, yang mengamati
pengiriman senjata itu di Padang. Pada saat yang sama, John Mason
mengintip semua ketegangan yang berlangsung selama operasi pengiriman
senjata itu dari balik kamera periskop USS Bluegill. Inilah paket
pertama bantuan senjata CIA, yang kemudian disusul droping senjata
melalui Bandara Tabing.
Ternyata bantuan senjata CIA terasa
mubazir bagi PRRI. Ketika pasukan Jakarta menyerbu Padang pada Maret
1958, tak ada perlawanan yang berarti. Pasukan PRRI segera bergerilya
di hutan. Di Medan, agen CIA Dean Almy berusaha menemui anak buah
Simbolon untuk memperingatkan kedatangan pasukan Jakarta, tapi upayanya
sia-sia belaka. Mereka sudah lari ke hutan. Ironisnya, Asisten Atase
Angkatan Darat di Kedutaan Besar AS di Jakarta, George Benson, ikut
memberikan andil penghancuran PRRI oleh TNI. George Benson, yang dekat
dengan Kolonel Ahmad Yani, selaku Wakil Kasad, memberikan peta Sumatra
Barat kepada Ahmad Yani, yang kemudian secara efektif digunakan untuk
membekuk perlawanan PRRI. “Saya baru tahu keterlibatan CIA setelah
Allan Pope tertembak,” kata George Benson kepada TEMPO, yang
menghubunginya melalui telepon internasional.
Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles
Hanya perlu enam hari setelah kejatuhan
Padang, Menteri Luar Negeri AS John Foster Dulles mengalihkan dukungan
AS ke pemerintah pusat Jakarta. Sebaliknya, Permesta, yang sempat
malang-melintang menguasai wilayah Indonesia Timur, pada awal
perjuangannya harus membeli senjata sendiri. “Kami terdesak tenggat
Proklamasi Permesta,” ujar Mayor Nun Pantouw. Berbekal uang hasil
ekspor kopra sebesar US$ 4 juta, Ketua Dewan Tertinggi Permesta Letkol
Ventje Sumual menugasi Pantouw (kini 76 tahun) mencari senjata lewat
seorang kontraktor minyak AS bernama Wally Zimmerman. Kontraktor yang
berkantor di Singapura ini memberikan informasi lengkap pasar senjata
di Italia dan Swiss. Upaya Pantouw gagal meski sudah mencari hingga ke
Italia, karena terbentur pengangkutan. Tapi tentu saja semua perjalanan
perwira Permesta ini dimonitor oleh CIA.
Sebelum AS memberikan senjata gratis kepada Permesta, Pantouw berhasil membeli senjata bekas dari Taiwan lewat seorang broker,
Madame Chua. Senjata dan sebuah pesawat pengebom Beach Craft seharga
dua sampai tiga juta dolar itu memang akhirnya sampai ke Manado, tapi
ternyata sebagian di antaranya adalah senjata rongsokan. “Meski
rongsokan, masih bisa membunuh orang. Masa bodoh,” ujar Sumual kepada
TEMPO sembari tertawa.
Ketika bantuan senjata AS tiba, Sumual
merasa hanya membutuhkan dua batalion senjata anti-serangan udara.
Tapi, belakangan, ternyata kebutuhan Permesta meningkat dan CIA pun
sangat royal. Selain menempatkan agen CIA Cecil Cartwright, CIA
memberikan antiaircraft, dua pesawat pengebom B-26, dan 20
teknisi untuk pengoperasian pesawat tempur. Dengan bantuan sebanyak
itu, lahirlah rencana besar di benak Sumual. “Kapal terbang ada,
senjata lengkap. Kita merencanakan menduduki Jakarta,” ujar Sumual
bersemangat.
Sasaran pertama Sumual adalah Pulau
Morotai, yang memiliki landasan panjang untuk pesawat tempur B-26.
Tahap kedua, sasarannya Jakarta, dengan target antara bandara
Balikpapan dan kilang minyak di Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Sumual
yakin bahwa mereka mampu memperoleh dukungan pasukan Siliwangi untuk
mengatasi tentara yang berpihak pada PKI. “Dengan demikian, praktis
Jakarta bisa kami kuasai, pemerintahan Sukarno diganti, dan kami
kembali ke barak,” ujar Sumual mengungkap cita-citanya di masa lalu.
Aksi-aksi pengeboman oleh Angkatan Udara Revolusioner (Aurev)—AU
Permesta—di bawah komando Petit Muharto itu pun terus berlangsung. Salah
seorang pilot yang dikirim CIA adalah Allan Pope, kala itu berusia 30
tahun. Bak macan, di dalam kokpit B-26, dia mengarungi udara. “Dia
(Pope) mengira dirinya sendiri dapat memenangi peperangan,” ujar Connie
Seirgrist, teman Pope.
Suatu hari, bak seorang lone ranger,
Pope memacu B-26 menuju Ambon. Pada lintasan pertama di atas pelabuhan
Ambon, Pope menebar selebaran yang berisi peringatan bagi penduduk
sipil dan kapal dagang agar menjauh dari barak TNI dan Teluk Ambon.
Ketika kembali lagi, Pope melepas tali bom dekat pantai, yang meledak
di laut. Dia kembali lagi dan mengaktifkan mitraliur. Tapi tiba-tiba
sebuah ledakan meletup di mesin kanan. Lampu bahaya pun berkedap-kedip
di kokpit. Secara refleks, Pope membelok dengan tajam mengarah ke
Bandara Mapangat di Manado. Tapi terlambat!
Di Kota Ambon, pasukan garnisun memungut
kepingan mesin B-26 yang menghunjam ke tanah. Senjata anti-pesawat
terbang ternyata berhasil menghantam B-26 Pope hingga jatuh di perairan
Ambon. Sebuah berita melesat ke Jakarta. Sejak saat itu, Pope memang
tak pernah kembali lagi ke Mapangat. Dia tertangkap dan divonis hukuman
mati di Yogyakarta.
Tertangkapnya Pope merupakan akhir
keterlibatan CIA dalam PRRI/Permesta dan sirnanya mimpi besar Sumual
untuk menguasai Jakarta. “Kalau Allan Pope tidak jatuh, rencana besar
saya pasti akan berjalan lancar,” ujar Sumual masygul. Dan sejarah
memang berbalik arah, tak sesuai dengan mimpi Sumual dan kawan-kawan.
Tiba-tiba, semudah membalikkan telapak
tangan, AS mengalihkan dukungannya ke Kepala Staf AD Mayjen A.H.
Nasution dan Kolonel Ahmad Yani, yang ditunjuk memimpin operasi
penumpasan PRRI/Permesta. “Ibaratnya, kami adalah kuda yang tidak kuat,
lalu ditinggalkan,” ujar Sumual.
Agen CIA Cecil Cartwright terpaksa
memenuhi perintah Direktur CIA Allan Dulles untuk hengkang dari Manado
demi kepentingan yang lebih besar: Amerika Serikat.
“Saya harus pergi,” ujar Cartwright kepada Sumual.“Selamat jalan,” ucap Sumual.