English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 02 Januari 2012

Perebutan Pulau dan Laut Timur Nusantara oleh: PORTUGIS, BELANDA DAN PRIBUMI.



Pendahuluan

Perkembangan dinamika politik dan ekonomi di Nusantara sejak abad ke-16 Masehi diwarnai oleh penetrasi bangsa Barat, akibat kedatangan bangsa Portugis pada awal abad ke-16, kemudian disusul oleh kedatangan armada Belanda dan Inggris yang datang pada akhir abad ke-16. Kedatangan armada dagang bangsa Barat ini telah membuat perubahan peta politik dan
ekonomi di Nusantara, ketika dengan alasan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, mereka merebut pelabuhan-pelabuhan penting di Nusantara sebagai batu loncatan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Penguasaan Bandar Malaka oleh Portugis tahun 1511, kemudian menyusul Ambon, sementara armada dagang Belanda yang kemudian mendirikan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) atau Perhimpunan
Dagang Hindia Timur pada tahun 1602, mulai merebut Ambon dari tangan Portugis tahun 1605, merebut Bandar Jayakarta di muara Sungai Ciliwung pada tahun 1619 dan mendirikan kota Batavia di atas reruntuhan kota Jayakarta.


Proses perebutan hegemoni ini tidak berhenti bahkan sampai abad ke-19, sebagai dampak dari perebutan hegemoni politik dan ekonomi yang dilakukan oleh bangsa Barat tersebut berakibat munculnya resistensi atau perlawanan dari penguasa-penguasa pribumi yang ada di Nusantara.
Kekuatan kerajaan Mataram Islam di Jawa Tengah, Kesultanan Gowa di Makassar, Kesultanan Ternate, Tidore, kekuatan lokal di Bali, juga Aceh tidak berhenti melakukan upaya perlawanan terhadap dominasi politik, militer dan ekonomi bangsa Eropa. Namun tentu saja kita dapat melihat bahwa kadangkala penguasa pribumi dapat mengalahkan kekuatan Eropa untuk
sementara waktu, namun pada akhirnya kekuatan pribumi menghadapi kekalahan melawan kekuatan Eropa terutama dengan Belanda. Perang Makasar (1660-1667) yang begitu dahsyat antara armada maritim Kesultanan Gowa dengan armada VOC merupakan gambaran perang memperebutkan sumber-sumber ekonomi perdagangan rempah-rempah. Gambaran yang menarik diulas A.B. Lapian tentang perang dagang tersebut dalam tulisannya, “Perebutan Samudera: Laut Sulawesi pada Abad XVI dan XVII”.

Awal Kehadiran Armada Portugis dan Belanda di Kawasan Laut Sawu

Setelah menaklukkan Bandar Malaka, tahun 1511, kapal-kapal dagang Portugis berlayar menuju kepulauan Maluku dan Banda untuk mencari rempah-rempah. Sebagian kapal-kapal Portugis itu kadangkala bergerak tajam ke arah selatan ketika melewati Laut Flores atau Laut Banda. Mereka singgah di pulau-pulau yang menghasilkan kayu cendana putih yang tumbuh subur di sana. Jenis kayu ini sudah sejak lama menjadi barang dagangan yang dicari oleh pedagang-pedagang asal Cina dan dipakai sebagai bahan pembuatan dupa (joss-sticks), minyak wangi, dan peti mati yang berbau wangi. Harga kayu cendana ini di pelabuhan Kanton, bisa mencapai tiga kali harga di Pulau Timor.

Pada awal tahun 1515, kapal-kapal dagang Portugis secara rutin mengunjungi Pulau Timor untuk membeli kayu cendana. Penduduk Timor sangat antusias dengan para pedagang asing, terutama yang berasal dari daerah di Nusantara dan Asia. Mereka terdiri dari pedagang yang berasal dari Pulau Jawa, Melayu, dan Cina, kemudian disusul kapal-kapal dari Portugis
dan Belanda. Namun para raja setempat (liurai) di Timor tidak mengijinkan para pedagang ini mendirikan pemukiman yang tetap di pantai-pantai Pulau Timor, mereka hanya boleh berlabuh di tempat-tempat yang sudah ditentukan untuk menukarkan barang-barang yang mereka bawa dengan kayu cendana. Akibat ramainya perdagangan kayu cendana, para liurai, pemimpin dari kerajaan-kerajaan lokal di Timor itu, kemudian mengambil alih kontrol atas perdagangan kayu cendana di pelabuhan-pelabuhan tempat pertukaran.


Sulitnya mendapat tempat berpijak di Timor, dan pentingnya memiliki daerah yang bisa dijadikan basis perdagangan untuk mendapatkan produkproduk dari Pulau Timor dan sekitarnya, membuat Portugis membangun basis di Pulau Flores. Dari tempat itu ke Timor membutuhkan waktu dua hari pelayaran. Di pulau Flores mereka membangun dua pemukiman di tepi pantai yang sangat strategis dan ideal sebagai pusat perdagangan, pertama, di Teluk Ende, di selatan Flores. Di sana Portugis membangun benteng pertahanan di karang-karang kecil dekat pantai. Tempat yang kedua adalah di Lapulau kecil. Pulau kecil yang langsung berhadapan dengan Larantuka adalah Pulau Adonara yang terletak hanya tiga kilometer di seberang laut dan sepuluh kilometer di selatan terletak Pulau Solor. Pelabuhan Larantuka adalah pelabuhan alam yang bagus karena terlindungi dari amukan badai. Daerah sekitar pantainya cukup subur, sehingga tanaman jagung yang ditanam oleh orang-orang Portugis tumbuh dengan baik di sana. Di lihat dari sisi pertahanan Larantuka juga sangat baik, karena meskipun ada blokade laut, penduduk dapat melintasi pedalaman dan menuju daerah pantai yang lain. Di pelabuhan inilah para pedagang membangun desa yang aman, dengan rumah-rumah yang tinggi dan kebun yang luas. Keadaan ini tidak berlangsung lama karena muncul para bajak laut dari Jawa dan Sulawesi yang menjarah desa-desa di tepi pantai. Musuh yang lain dari Portugis di sana adalah kapalkapal Belanda yang mulai berdatangan sekitar tahun 1600 untuk mencari rempah-rempah dan juga pergi ke selatan Laut Flores untuk mencari kayu
cendana.

Selain Larantuka, Pelabuhan Solor juga sudah dikenal oleh para pelaut Portugis sejak 1515, mereka singgah di Solor terutama untuk beristirahat sambil menunggu lewatnya badai. Laporan pendeta Jesuit Balthasar Dias yang mengunjungi Solor pada tahun 1559 melaporkan adanya 200 pedagang dan pelaut Portugis yang beristirahat selama bulan Desember dan Januari untuk menghindari badai yang ganas. Kaum misionaris Dominikan datang ke Solor pada tahun 1561 mendirikan pemukiman dan gereja Katholik di sana, namun untuk keamanan mereka kemudian membangun benteng.


Pada tahun 1613, armada VOC menyerang benteng di Solor dan berhasil menghancurkan kekuatan Portugis di sana. Belanda mengirimkanrantuka, dengan teluknya yang tenang karena dilindungi oleh dua buah dua kapal perang ‘der Veer’ dan kapal ‘de Halve Maen’, dibantu sejumlah kapal kora-kora dari Ternate. Orang-orang Portugis dan sebagian penduduk pribumi yang beragama Katholik mengungsi ke Larantuka. Dengan segera VOC membangun kekuatannya di Solor, namun terjadi hal yang menarik ketika komandan garnisun Belanda di sana membelot ke Larantuka dan menganut agama Katholik. Selain itu karena pulau Solor yang gersang dan beratnya persaingan dagang dengan pedagang Portugis yang secara teratur
mengirim kapal dagangnya untuk mengangkut kayu cendana, membuat pemerintahan pusat VOC di Batavia memerintahkan pengosongan benteng di Pulau Solor pada tahun 1629. Pada tahun 1646 perhatian VOC terhadap Pulau ini muncul kembali dan menyerang benteng di Solor yang sudah dibangun lagi oleh orang-orang dari biarawan Dominikan. Kemudian VOC
membangun benteng Fort Hendricus di Solor. Benteng ini terletak di pantai Lohayong, bangunannya berbentuk trapesium dengan tinggi dinding 5 ½ meter, panjang 60 meter dan lebar 27 meter. Pelabuhan Solor ini dipakai oleh VOC untuk menyaingi Portugis dalam perdagangan produk-produk lokal dari Nusa Tenggara bagian timur. Selain itu pelabuhan Solor diharapkan oleh Belanda sebagai persinggahan yang penting bagi kapal-kapal VOC yang
berlayar dari dan ke Maluku untuk membeli rempah-rempah dan juga sebagai pelabuhan yang dapat dijadikan pusat perdagangan kayu cendana.

Persaingan ini berhenti ketika gempa besar melanda Solor tahun 1648, dan menyisakan puing-puing kehancuran di sana, dan untuk kedua kalinya orangorang Belanda akhirnya meninggalkan Pulau Solor. Sejak itu selama hampir 200 tahun Belanda tidak lagi kembali ke Solor, sedangkan kaum biarawan Dominikan untuk yang kedua kali kembali membangun pemukiman dan
gereja di Solor. Kehancuran akibat gempa yang melanda Solor tahun 1648,disaksikan oleh Major Willem van der Beek dan awak kapal “den Wolff” yang berlabuh aman di selat Solor. Dari atas geladak kapal mereka bisa melihat dinding benteng Fort Hendricus roboh rata dengan tanah. Dinding besar itu tercerabut ke luar dari atas tanah. Meriam-meriam terlempar dari dinding
bastionnya. Dalam gempa tersebut empat orang Belanda terbunuh termasuk anak dari komandan benteng Hendrik ter Horst dan sembilan lainnya terluka. Guncangan gempa berlangsung sampai beberapa hari sehingga usaha perbaikan yang dilakukan menjadi sia-sia. Gempa besar ini membuat VOC kemudian menarik diri dari Solor.

Keinginan Portugis untuk tetap mempertahankan benteng dan kegiatan perdagangannya di Solor memang tetap besar, meski ancaman dari Belanda datang terus-menerus. Laporan pedagang Portugis di Makau, Antonio Bocarno tahun 1635, menekankan pentingnya hubungan perdagangan dengan Solor yang menghasilkan kayu cendana. Portugis harus berbuat
banyak untuk menguasai jalur perdagangan kayu cendana dari tempat asalnya yaitu Timor, karena keuntungan yang diperoleh dari penjualan kayu cendana kepada pedagang-pedagang Cina di Makau dapat mencapai 100-150%. Hasil keuntungan ini dapat dinikmati oleh pemerintah Portugal di Makau yang dipakai untuk membangun perbentengan yang lebih kuat di
Makau. Namun pada tahun 1660 ketika armada VOC atau Belanda sedang melakukan penekanan militer terhadap Makasar, hanya ada sedikit kapal Portugis yang mengunjungi Timor.

Perebutan Hegemoni Politik dan Ekonomi

Setelah kepergian armada VOC meninggalkan Solor, Pelabuhan Larantuka berkembang makin pesat. Kapal-kapal dari Jawa dan Cina secara rutin menyinggahi pelabuhan tersebut. Terlebih lagi Larantuka menjadi tempat pengungsian orang-orang Portugis dari malaka yang direbut oleh VOC tahun 1641. Larantuka telah menjadi salah satu dari dua pusat kekuasaan Portugis di wilayah Timur Jauh, setelah Makao. Para imigran juga membangun dua pemukiman baru, pertama, mereka membangun tempat pemukiman di Pulau Adonara, yaitu di Wureh, kedua, pembukaan pemukiman baru dilakukan di Konga, sekitar 20 kilometer arah selatan Larantuka. Mereka kemudian membangun komunitas masyarakat baru dan menikah dengan wanita-wanita setempat. Mereka ini kemudian dikenal dengan orang Topas atau orang Belanda menyebutnya Zwarte Portugeesen atau Portugis hitam, yang memang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap. Namun orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga dan Wureh menyebut diri mereka dengan sebutan Larantuqueiros atau orang dari Larantuka. Orang Topas ini merupakan campuran antara penduduk setempat dengan para pendatang yang menggunakan bahasa Portugis, seperti para serdadu, budak dari India dan Afrika yang sudah dimerdekakan, bekas pegawai VOC yang melarikan diri.

Pemimpin orang-orang Larantuka dipegang oleh dua keluarga yang terkenal di sana, pertama, keluarga da Costa yang berasal dari keturunan orang-orang Portugis dan bangsawan dari Timor, kedua, keluarga da Hornay, keturunan Hornay bekas komandan VOC di Solor yang membelot ke
Larantuka. Sampai tahun 1750 kedua keluarga ini bertarung untuk memperebutkan kekuasaannya di Flores dan sekitarnya. Mereka saling menyerang, merampok dan membunuh untuk mendapatkan kekuasaannya, sampai tahun 1750 ketika mereka sepakat untuk menjalankan sistem kekuasaan yang bergilir. Selain itu desa-desa kristen yang sudah
berkembang menjadi kekuatan lokal membentuk aliansi Lima Panti (lima pemukiman), yang terdiri atas Adonara, Lamahal dan Terong di Pulau Adonara dan Lawayong dan Lamakera di Pulau Solor. Mereka juga bekerjasama dengan penguasa Larantuka untuk menghadapi kekuatan orangorang Islam yang juga dianut oleh penduduk di daerah pedalaman. Penguasa Larantuka juga lambat laun mempengaruhi dan menguasai daerah-daerah lainnya di Flores, seperti Sikka, Lio dan Endeh. Mereka biasanya akan mengerahkan pasukan untuk menekan para penguasa lokal agar mau memeluk agama Katholik.

Meskipun pengaruh kebudayaan Portugis cukup kuat dalam masyarakat Larantuqueiros, namun mereka tidak merasa di kuasai oleh pemerintah Portugal. Sesungguhnya mereka adalah kekuatan yang merdeka dan berdiri sendiri. Selama abad ke17 dan 18, hanya ada dua kapal angkut Portugis yang berlayar dari Goa (India) ke Larantuka, dan tidak ada seorangpun wakil resmi kerajaan Portugal yang berkunjung ke Larantuka selama periode tersebut. Pada akhir abad ke-17, pemimpin Larantuka mulai melihat bahwa perdagangan kayu cendana asal Timor sangat menguntungkan sehingga mereka juga ingin terlibat dalam penguasaan perdagangan kayu cendana.

Dengan menggunakan kekuatan angkatan perangnya, pemimpin Larantuka ingin menguasai daerah perdagangan kayu cendana di tempat asalnya, Timor. Pada tahun 1640, dikirim satu patroli untuk menduduki wilayah Lifau, yang terletak di pantai utara Timor. Daerah Lifau dikenal dengan wilayah yang kaya dengan hutan kayu cendana. Dengan menggunakan perahu mereka menyusuri sungai menuju ke hutan kayu cendana. Lingkungan alam berupa
pegunungan yang tinggi melindungi mereka dari serangan suku-suku pedalaman Timor. Keluarga da Hornay dan da Costa menggunakan pasukan bersenjatanya untuk memaksa para Liurai (raja setempat) untuk bernegosiasi. Namun tak jarang serangan bersenjata yang mematikan dengan menggunakan musket (senapan) dilakukan oleh orang Topas untuk
menguasai perdagangan kayu cendana. Sekitar tahun 1675, Antonio da Hornay, anak dari Jan de Hornay, komandan benteng VOC di Solor yang membelot ke pihak Larantuka-Portugis menjadi pemimpin Larantuka, dia bahkan menobatkan dirinya sebagai raja tanpa mahkota dari Timor
(Uncrowed King of Timor), karena dia mempunyai kekuasaan untuk mengatur lalu-lintas perdagangan kayu cendana, berupa kekuatan untuk menaikkan harga dan bahkan melarang penjualan kayu cendana kepada para pedagang asing. Perluasan kekuatan Larantuka di Timor diperoleh dari perkawinan Antonia da Hornay dengan anak perempuan Raja Ambeno di Timor.

Perebutan kekuasaan di Nusa Tenggara bagian timur terus dilakukan oleh VOC, dengan menaklukkan Kupang di ujung selatan Pulau Timor tahun 1653. Setelah penaklukkan VOC membangun benteng (Fort) Concordia sebagai pusat basis pertahanan, politik dan ekonomi di Pulau Timor. Pemerintah Belanda (VOC) berupaya untuk memperluas wilayahnya di Timor,
pada tahun 1655, Jacob van der Hijden, komandan yang membawahi Solor dan Timor memimpin pasukannya dibantu oleh orang-orang Solor untuk

bersambung -----------

Tags

Entri Populer