English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Jumat, 04 November 2011

naluriku tidak mau lagi asal meng- “ya”kan

Semula aku tidak pernah percaya apa yang diberitakan tentang Petinggi Republik ini oleh “WikiLeaks”, setelah tertangkapnya Nazaruddin dan dia membuka semua belang dari para petinggi Republik Indonesia terutama dari kalangannya sendiri, maka keraguanku berpaling untuk lebih jauh mengetahui Siapa sebenarnya mereka-mereka yang mengatas namakan Rakyat ini???
Lembaran-lembaran media saya bolakbalik yang dahulunya saya tandai dan membuat catatan kata FITNAH, kali ini naluriku tidak mau lagi asal meng- “ya”kan, hasilnya sbb:


Yudhoyono 'abused power',

SELAIN di halaman utama dengan judul Yudhoyono 'abused power', The Age juga menampilkan ulasan yang bersumber dari bocoran WikiLeaks pada rubrik Focus di halaman 17 dengan judul Bambang thank-you ma'am. Berikut terjemahan asli berita yang panjangnya hampir satu halaman koran itu.

SBY Berterima Kasih pada Ibu Negara
Penyuapan, korupsi dan memperkaya diri sendiri: kawat rahasia Amerika Serikat mengungkap tuduhan serius atas penyalahgunaan wewenang oleh Presiden SBY dan istrinya Kristiani Herawati, laporan oleh Phillip Dorling.

Ketika SBY secara mengejutkan memenangkan Pemilu 2004, Amerika Serikat menyambutnya dengan menyatakannya sebagai "kemenangan yang mengagumkan dari seorang figur yang populer dan artikulatif atas rivalnya (incumbent presiden Megawati) yang memiliki kekuatan lebih besar dan dukungan dana melimpah serta jaringan yang luas."

Bahkan tiga tahun kemudian, diplomat AS di Jakarta membanggakan pemerintahan SBY atas komitmennya untuk memberantas terorisme.

Sesungguhnyalah, mantan jenderal angkatan darat dan menteri pertahanan ini berhasil menadapatkan dukungan internasional atas upayanya untuk memperkokoh tata kelola pemerintahan, melaksanakan reformasi ekonomi, dan memberantas kelompok miltan islam yang tergabung dalam Jamaah Islamiyah.

Namun, prestasi SBY tersebut nampaknya akan ditinjau ulang setelah kawat rahasia AS, yang bocor ke Wikileaks dan diserahkan ke The Age, mengungkap adanya penyalahgunaan wewenang yang mengiringi jalan menuju istana.

Menurut kawat diplomatik tersebut, SBY secara pribadi mempengaruhi jaksa dan hakim untuk melindungi tokoh-tokoh politik yang korup dan menjadikannya alat penekan. Dia juga dilaporkan menggunakan tenaga intelijen untuk memata-matai lawan-lawan politiknya dan, paling tidak sekali, menteri senior di dalam kabinetnya sendiri.

Mantan wakil SBY dilaporkan mengeluarkan jutaan dolar untuk mengontrol partai politik terbesar di Indonesia, sedangkan istri SBY dan keluarganya dituduh memperkaya diri sendiri melalui koneksi politiknya.

Namun demikian, laporan politik kedubes yang sebagian besar bersifat 'Rahasia/NoForn' --yang berarti hanya untuk mata Amerika-- menjelaskan meluasnya pengaruh politik uang di sekitar SBY, meskipun presiden sudah berkomitmen untuk memberantas korupsi.

Kawat Kedubes AS mengungkapkan bahwa salah satu langkah awal SBY adalah mengintervensi secara pribadi kasus Taufik Kiemas, suami dari mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Taufik dilaporkan menggunakan pengaruh atas PDIP untuk melindungi dari dakwaan yang disebut diplomat AS sebagai ''korupsi besar-besaran selama pemerintahan istrinya''.

Taufik dituduh, meskipun tidak pernah diadili, atas dugaan korupsi pada proyek infrastruktur besar yang dikerjakan tidak sesuai aturan. Dia dipercaya diuntungkan dari kesepakatan-kesepakatan proyek JORR senilai US$2,3 miliar, proyek rel ganda merak-banyuwangi senilai US$2,4 miliar, proyek trans Kalimantan senilai US$2,3 miliar, dan trans Papua senilai US$1,7 miliar.

Pada Desember 2004, Kedubes AS di Jakarta melaporkan bahwa salah seorang informan politik pentingnya, penasehat senior presiden TB Silalahi, telah menginformasikan bahwa Asisten Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang memimpin komisi antikorupsi yang baru dibentuk pemerintah, telah mengumpulkan 'bukti-bukti korupsi yang cukup untuk menangkap Taufik Kiemas'. Namun Silalahi, salah seorang rekan politik terdekat SBY, mengatakan bahwa Presiden ''secara pribadi telah menginstruksikan Hendarman untuk tidak melanjutkan kasus Taufik tersebut.''

Tidak ada tindakan hukum yang dikenakan pada Taufik, tokoh politik berpengaruh yang sekarang menjabat sebagai Ketua MPR, lembaga negara yang anggotanya termasuk anggota DPR.

Sementara SBY melindungi Taufik dari kejaksaan, wakilnya, Jusuf Kalla, dituduh mengeluarkan apa yg disebut Kedubes AS sebagai 'penyuapan besar-besaran' untuk memenangkan kursi Ketua Umum Partai Golkar, partai politik terbesar di Indonesia, pada kongres tahun 2004, dalam hal ini diplomat AS menyaksikannya langsung.

"Menurut beberapa sumber yang dekat dengan kandidat unggulan, tim sukses Kalla menawarkan pengurus cabang paling tidak Rp200juta untuk memilihnya", demikian laporan Kedubes AS.

"Pimpinan wilayah provinsi --yang memiliki hak suara yang sama tapi juga bisa mempengaruhi pengurus cabang di bawahnya-- menerima Rp500juta atau lebih. Menurut salah seorang kontak yang berpengalaman sebelumnya dalam hal seperti ini, delegasi menerima uang muka lebih dahulu…. dan akan menerima pembayaran penuh setelah kandidat berhasil memenangkan pemungutan suara dan dibayarkan tunai dalam hitungan jam setelah voting."

Diplomat AS melaporkan bahwa dengan memerlukan 243 suara untuk menang secara mayoritas, calon Ketua Umum Golkar harus menyediakan dana sebesar lebih dari US$6juta.

"Seorang sumber mengklaim bahwa (Ketua DPR Agung Laksono waktu itu) sendiri --tidak sekaya pendukung Kalla-- mengalokasikan (jika tidak dikeluarkan) Rp50 miliar (lebih dari US$5,5 juta) pada kongres tersebut".

Kawat Kedubes AS juga menuduh Sudi Silalahi, Seskab SBY, 'mengintimidasi' hakim pada kasus sengketa PKB tahun 2006, yang merupakan partai dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid. Menurut sumber Kedubes AS, kepada hakim tersebut, Sudi mengatakan "jika pengadilan membantu (Wahid), sama saja dengan membantu menyerang Pemerintah".

Intervensi dari tangan kanan SBY tersebut, dianggap gagal karena, menurut sumber-sumber Kedubes AS yang dekat dengan PKB dan pengacara yang terlibat pada kasus tersebut, pendukung Gus Dur membayar jaksa sebesar Rp3 miliar (sekitar US$322 ribu) untuk menyuap agar keputusan hakim memenangkan PKB Gus Dur. Di luar kegagalan tersebut, secara strategis tujuan SBY telah tercapai, karena berhasil menjadi tekanan eksternal pada posisi Gus Dur sehingga mampu memaksa PKB untuk mendukung pemerintahannya.

Laporan Kedubes AS lainnya mengindikasikan bahwa SBY menggunakan BIN untuk memata-matai baik kawan maupun lawan politiknya. SBY juga dilaporkan memakai jasa BIN untuk memata-matai bakal calon presiden lainnya.

Praktek tersebut dimulai sejak SBY bertugas sebagai Menko Polkam pada masa pemerintahan Presiden Megawati. Dia memerintahkan intelijen untuk melaporkan hal-hal berkenaan dengan Panglima TNI dan calon presiden dari Golkar yaitu Wiranto. Pada sebuah rapat kabinet, Ketua BIN Syamsir Siregar menyebut Wiranto sebagai 'dalang teroris'.

Berdasarkan informasi dari orang-orangnya sendiri, Wiranto mengetahui bahwa dia menjadi objek 'pelecehan' dalam laporan BIN, namun ketika dia mengeluhkannya, dia diberitahu oleh penasehat presiden, TB Silalahi, bahwa laporan tersebut tidak ada.

Kawat Kedubes AS yang bocor tersebut tidak memperlihatkan secara jelas
keterlibatan SBY dalam kasus korupsi. Tetapi, diplomat AS melaporkan bahwa pada tahun 2006, ketika bertemu Ketum Partai Demokrat, SBY "hingga saat itu menyesali kegagalannya membangun bisnis untuk dirinya sendiri", dan nampaknya merasa "dia perlu mengejarnya"…..(dan) "menginginkan warisan yang cukup untuk anak-anaknya".

Diplomat AS mencatat adanya dugaan hubungan antara SBY dan Tomy Winata, yang diduga menjadi anggota sindikat judi terkemuka yaitu 'geng 9' atau 'sembilan naga'.

Pada 2006, Agung Laksono, yang sekarang menjabat Menko Kesra, mengatakan pada pegawai Kedubes AS bahwa TB Silalahi "berfungsi sebagai perantara, yang membawa dana dari Tomy Winata ke SBY, agar presiden tidak berhubungan langsung dengan Tomy Winata."

Tomy Winata juga dilaporkan menggunakan jasa Mohamad Lutfi sebagai saluran dana ke SBY. SBY menunjuk Luthfi sebagai Kepala BKPM. Senior intel Yahya Asagaf juga memberitahu Kedubes AS bahwa Tomy Winata mencoba membangun pengaruhnya dengan memanfaatkan ajudan presiden untuk mendekati Ibu Negara Kristiani Herawati.

Kristiani Herawati dan keluarganya juga menjadi topik menarik dalam laporan tersebut, Diplomat AS menekankan upaya keluarga presiden "khususnya Ibu Negara Kristiani Herawati…. untuk mendapatkan keuntungan finansial dari posisi politiknya."

Pada Juni 2006, salah seorang staf presiden memberitahu staf Kedubes AS bahwa anggota keluarga Kristiani "sangat menginginkan keuntungan finansial dari badan-badan usaha milik negara". Keinginan ini dilaksanakan dengan sangat rapi, "dimana pelaksana utamanya adalah staf-staf terdekat (seperti Sudi Silalahi), sementara SBY tetap menjaga jarak hingga tidak terkena akibatnya".

Kedubes AS menggambarkan pengaruh Kristiani di balik layar ini sebagai 'kabinet nomor satu' dan 'penasehat utama Presiden yang tidak bisa dibantah'.

Kedubes juga melaporkan: "penasehat presiden TB Silalahi mengatakan pada (staf kedubes AS) bahwa staf presiden mulai merasa terpinggirkan dan tidak punya kekuatan untuk memberikan konsultasi pada Presiden". Anggota BIN Yahya Asagaf secara pribadi mengatakan pendapat ibu negara "menjadi satu-satunya hal penting".

Sejalan dengan itu, diplomat AS juga mengindikasikan peran utama Kristiani yang mendorong SBY mengambil keputusan untuk tidak menjadikan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai pasangannya dalam Pemilu 2009.

Bersama Gubernur Bank Indonesia Boediono, SBY meraih kemenangan sebagai presiden periode 2009-2014. SBY berhasil meraup 60% suara, mengalahkan mantan Presiden Megawati yang berpasangan dengan Prabowo Subianto, dan Wapres Jusuf Kalla yang berpasangan dengan Wiranto.

Pada Januari 2010, Kedubes AS mengamati: "Sepuluh tahun reformasi politik dan ekonomi telah menjadikan Indonesia demokratis, stabil, dan semakin percaya diri sebagai pemimpin negara-negara Asia Tenggara dan dunia Islam. Indonesia telah menjalankan pemilu dengan sukses, bebas, dan adil; mengatasi krisis keuangan global; dan menangani ancaman keamanan internal."

Akan tetapi, diplomat AS mencatat, serangkaian skandal politik yang terjadi sejak akhir 2009 hingga 2010, sangat merusak posisi politik SBY.

Pertentangan antara Kepolisian RI dan KPK telah merusak citra pemberantasan korupsi di Indonesia, ditambah lagi dengan pertanyaan DPR seputar kasus Bank Century yang mengaitkannya dengan kinerja Wapres Boediono yang waktu itu menjabat sebagai Gubernur BI.

Salah satu LSM antikorupsi yang cukup berpengaruh, kepada Kedubes AS mengatakan, bahwa berdasarkan sumber yang bisa dipercaya, dana dari Bank Century telah digunakan untuk membiayai kampanye Pemilu SBY.

Mantan Wapres Jusuf Kalla, sangat tidak setuju dengan bailout tersebut dan menuding Bank Indonesia yang saat itu dipimpin Boediono, telah gagal melakukan fungsi pengawasan terhadap Bank Century.

Menurut Kalla, Bank Century seharusnya ditutup karena dianggap gagal mengelola dananya. Kegagalan tersebut diakibatkan oleh kecurangan pemegang saham besar.

Latar belakang ini, yang menurut Kedubes AS, menjadikan SBY semakin 'lumpuh', dimana popularitas politiknya menurun drastis.

"SBY dianggap memperlambat proses reformasi karena enggan untuk mengambil risiko berseberangan dengan DPR, media, birokrasi, dan masyarakat sipil. Dia juga enggan untuk menerobos peraturan-peraturan…… sebelum dia merasa posisinya kuat, SBY tidak akan melepas modal politiknya untuk menjalankan agenda reformasi".

Selama tiga belas tahun terakhir demokrasi di Indonesia semakin kokoh. Kediktatoran Suharto telah digantikan oleh sistem politik yang kompetitif yang tercermin dari perdebatan yang sengit dan kebebasan pers.

Akan tetapi, menurut laporan tersebut, di balik kesuksesan pemerintahan SBY, sebagian kebiasaan buruk dan korup era Suharto masih mewarnai politik kepresidenan di Indonesia.

Selasa, 01 November 2011

Pendekar Amanah Rakyat Indonesia


Cermin Lopa buat Pejabat Republik

SUNGGUH mulia Tuhan memperlakukan Prof. Dr. Haji Baharuddin Lopa. Ia dipanggil sang Pencipta pada Rabu dini hari pekan lalu, tak berapa lama setelah menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci Mekah. Kepercayaan Islam meyakini, begitu seseorang selesai menjalankan ibadah itu, ia putih bersih dari dosa, sebersih bayi yang baru lahir.

Jumat pekan lalu, ketika prosesi pemakaman berlangsung di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, kemuliaan yang lain didapatnya: ia diberi Bintang Mahaputra oleh Presiden Abdurrahman Wahid-penghargaan tertinggi untuk jasanya kepada Republik. Orang akan mengenang makamnya sebagai sebuah monumen tentang pergulatan negeri ini membebaskan dirinya dari belitan korupsi. Penegak hukum tanpa kompromi yang luar biasa bersih itu terbaring di liang nomor 100. Di sebelahnya ada Ibnu Sutowo, bekas Direktur Utama Pertamina, tokoh yang mengingatkan rakyat akan megakorupsi di perusahaan minyak negara yang nyaris menenggelamkan RI.

Kematiannya diratapi banyak orang. Bendera-bendera diturunkan setengah tiang. Skala liputan media tentangnya hanya bisa ditandingi peristiwa meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Tien Soeharto. Rabu dini hari pekan lalu-sehari setelah penyumbatan jantung merenggut jiwanya di Rumah Sakit Al-Hamadi, Riyadh, Arab Saudi. Riuh lelang ikan di Paotere, Makassar, digantikan cerita duka para nelayan tentang kepergiannya.

Baru dilantik 1 Juni kemarin sebagai Jaksa Agung, putra Mandar kelahiran Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935 ini menjadi tumpuan harapan banyak kalangan untuk menegakkan hukum yang lama terkulai. Keraguan sementara orang bahwa pengangkatannya cuma didasari kepentingan politik Presiden Abdurrahman dijawabnya dengan kerja keras. Langsung tancap gas, ia memacu dirinya kelewat keras di usianya yang sudah 66 tahun. Tiap hari, ia masuk kantor pukul 08.00 dan pulang ke rumah pukul 16.00. Tapi ini cuma untuk tidur sore. Katanya, supaya malam hari ia bisa melek bekerja lagi. Pukul 19.30, ia kembali ke kantornya sampai larut malam. Kadang sampai pukul dua dini hari.

Pribadinya yang sederhana mewakili kerinduan banyak orang akan kehadiran pejabat bersih, yang makin langka di negeri keempat paling korup di dunia ini.

Tak seperti para petinggi Republik yang tiba-tiba saja kebanjiran “hibah” semasa menjabat, Lopa mesti menabung sen demi sen gajinya untuk merenovasi rumah sederhananya di pinggiran Kota Makassar, di Jalan Merdeka 4. Salah satu tabungannya adalah sebuah celengan berisi uang receh. Abraham Samad, pengacara Ketua Komite Antikorupsi Sulawesi Selatan, bercerita pernah melihat Lopa membuka sejumlah celengannya. Ternyata uang itu belum cukup untuk membeli balok kayu dan batu. “Terpaksa pembangunan rumahnya ditunda dulu,” tuturnya mengenang. Padahal, ketika itu Lopa telah menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Lapas).

Selain dari gaji, ia punya mata pencaharian lain. Bukan menjadi konsultan atau komisaris perusahaan konglomerat, melainkan membuka wartel dengan lima bilik telepon dan penyewaan playstation di samping rumahnya di Pondokbambu, Jakarta. Ia juga rajin menulis kolom di berbagai majalah dan harian. Ia terang-terangan mengakui, itu caranya menambah penghasilan dari keringat sendiri.

Tiga minggu lalu, ia menelepon redaksi majalah ini, menanyakan kolom yang ia kirim tapi belum dimuat TEMPO. Redaksi memang nyaris menolak kolom itu. Alasan kami, kolom itu aneh, Lopa tiba-tiba menulis soal narkoba. Isinya juga biasa saja. Kami bisa saja menolaknya, tapi kami tahu persis Lopa sering perlu uang untuk bertahan dengan kejujurannya. Akhirnya, redaksi sepakat menugasi redaktur kolom mewawancarai Lopa dan menambah “kedalaman” kolom itu. Jumat siang, 15 Juni, justru ia yang menelepon kami. “Apa yang mau kau tanyakan?” katanya. Lalu, wawancara berlangsung setengah jam dengan redaktur kolom Diah Purnomowati. “Nah, kau tambah-tambah sendirilah,” katanya waktu itu. Kolom narkoba itu kami muat di edisi 17, akhir Juni lalu. Ketika reporter TEMPO Setiyardi mendatanginya untuk wawancara setelah kejadian itu, Lopa punya penjelasan menarik mengapa ia mendadak menulis narkoba: “Biar orang tahu Jaksa Agung juga paham soal-soal anak muda.” Ternyata, itulah kolom terakhirnya.

Honor ratusan ribu dari menulis kolom inilah yang sering diandalkannya untuk memperbaiki ini dan itu di rumahnya. Di tempat tinggalnya itu, listrik sering anjlok dan padam kalau setrika, TV, dan kulkas dinyalakan bersama-sama.

Reporter Setiyardi punya pengalaman unik. Tepat sehari setelah Lopa dilantik sebagai Menteri Kehakiman, Koran Tempo membuat karikatur dirinya di rubrik Portal-karikatur di pojok kiri bawah Koran Tempo. Dalam karikatur itu digambarkan Lopa bagai gladiator yang siap menusuk lawannya, cuma pedangnya bengkok dan mengerut. Sebuah sindiran yang “kena” untuk melukiskan kekhawatiran orang bahwa ia “dipasang” Presiden Abdurrahman sebagai alat politik kekuasaan. Karikatur itu mengadopsi gaya (dan busana Romawi) aktor Russel Crowe dalam film Gladiator. Nah, begitu Setiyardi datang ke rumah Lopa, sang tuan rumah bertanya dengan wajah kencang, “Siapa yang gambar saya begini?” Setiyardi agak gugup, ia khawatir Lopa marah dan wawancara gagal. Maka, ia menjawab, “Wah, itu teman-teman di koran, Pak.” Ternyata, Lopa malah bilang, “Ini bagus sekali. Tolong kau bikin besar buat saya, baru kau boleh wawancara.” Desainer Koran Tempo akhirnya mencetak karikatur itu dalam ukuran besar dan membingkainya. Sampai sekarang, karikatur Koran Tempo Edisi 4 April 2001 itu terpajang di ruang tengah rumahnya.

Kisah pengusaha Jusuf Kalla memperlihatkan Lopa bukan tipe pejabat yang doyan meminta upeti, apalagi “memeras” kiri-kanan. Suatu hari, pengusaha pemegang agen tunggal Toyota di kawasan timur Indonesia ini di- telepon Lopa. Ia mau membeli mobil. Di benak Jusuf, sebagai Dirjen Lapas, Lopa pasti mau sedan kelas satu. Toyota Crown ia tawarkan. Tapi Lopa malah setengah menjerit mendengar harganya, yang sekitar Rp 100 juta itu. “Mahal sekali. Ada yang murah?” kata Lopa. Cressida seharga Rp 60 juta pun masih dianggap mahal. Akhirnya, Jusuf menyodorkan Corona senilai Rp 30 juta. Harganya tak ia sebutkan, karena ia berniat memberikannya untuk Lopa. “Begini saja. Tidak usah bicara harga. Bapak kan perlu mobil. Dan jangan khawatir, saya tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya kirim mobil itu besok ke Jakarta,” kata Jusuf. Lopa kontan menolak. Yang lucu, malah Jusuf si penjual yang sampai menawar harga. “Begini saja. Saya kan pemilik mobil, jadi terserah saya mau jual berapa. Saya mau jual mobil itu Rp 5 juta saja.” Lopa masih menolak, “Jangan begitu. Kau harus jual dengan harga sama seperti ke orang lain. Tapi kasih diskon, nanti saya cicil. Tapi jangan kau tagih.” Akhirnya, tawar-menawar aneh itu mencapai kata sepakat juga. Lopa akan membelinya Rp 25 juta. Uang muka sebesar Rp 5 juta langsung dibayar Lopa, diantar dalam bungkusan koran bekas. Selebihnya, betul-betul dicicil sampai lunas selama tiga tahun empat bulan. “Kadang-kadang dibayar Rp 500 ribu, kadang-kadang sejuta,” tutur Jusuf Kalla, mengenang.

Lopa juga seorang yang selalu ingat teman di kala susah. Ada cerita tatkala Lopa menjabat Dirjen Lembaga Pemasyarakatan (1988-1995). Ketika wartawan Kompas di Jakarta, Abun Sanda, diberitakan kecurian di rumahnya, Lopa segera meneleponnya. “Wah, saya baca kau kecurian. Saya sedih dan susah juga dengar itu.” Beberapa hari kemudian, Abun bertemu lagi dengan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan itu untuk sebuah wawancara. “Abun, sudah tiga hari saya siapkan ini. Saya pikir ini bisa meringankan sedikit kesusahanmu. Ini pemberian dari orang tua kepada anaknya. Tak ada hubungannya dengan dunia kewartawananmu. Kau sedang di rantau, saya juga orang rantau.” Abun Sanda berpikir keras, apa yang mau diberikan Lopa kepadanya. Ternyata, “Ini ada enam gelas untuk minum. Saya beli sendiri di supermarket,” kata Lopa. Abun akhirnya menerima bingkisan itu karena tak mungkin menolak pemberian setulus itu. Ia amat meyakini, pemberian Lopa itu tentu tanpa pamrih dan benar-benar bagian dari kesederhanaan hidupnya yang terlalu sulit dijalankan oleh siapa pun.
Ia memang figur yang apa adanya. Ia pun selalu berpenampilan seadanya. Selepas magrib, di kantornya ia cuma bersandal jepit, mengenakan kain sarung, baju koko, dan songkok hitam yang selalu miring ke kanan-ala imam masjid di kampung-kampung suku Mandar.

Dalam sebuah wawancara khusus dengan mingguan ini, ia bahkan cuma mengenakan singlet putih. Menu makannya juga bukan buffet di hotel berbintang lima seperti pejabat kebanyakan. Suatu waktu, majalah ini tengah menunggunya untuk sebuah wawancara. Lopa masih ikut rapat di dalam. Hari sudah larut malam, TEMPO pun pamit sebentar untuk makan malam dulu. Lopa langsung menukas, “Oh, kau belum makan? Bagaimana kalau makan malamku kita bagi dua,” katanya serius, sambil menunjuk piring berisi nasi bungkus dengan lauk ikan laut goreng.

Pernah sekali waktu, ketika menjadi Dirjen Lapas, Lopa berkunjung ke Makassar. Sebelum salat Jumat, ia menitipkan tasnya. Tak banyak isinya, tapi ada sebuah tonjolan. “Ini pasti pistol,” pikir yang dititipi tas. Usai sembahyang, Lopa membuka tasnya. Ternyata itu cuma bekal kesukaannya: pisang rebus.

Yang juga melegenda adalah sikapnya yang sangat keras dalam urusan penggunaan fasilitas dinas. Jangankan tiba-tiba jadi pengusaha dengan segala fasilitas dan katebelece sang ayah, tujuh anak Lopa, bahkan juga istrinya, Indrawulan, ia larang menggunakan mobil dinasnya. Di Makassar, semasa menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, warga terbiasa melihat mereka berangkat ke pasar dan kampus dengan pete-pete (angkutan kota).

Sikap keras itu juga yang ia berlakukan untuk dirinya sendiri. Pada suatu Minggu di tahun 1983, Lopa sang Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel diundang menjadi saksi pernikahan. Tuan rumah, Riri Amin Daud, yang juga kerabatnya, dan pagar ayu telah menunggu kedatangan tamu amat terhormat ini. Lama ditunggu, mobil dinas berpelat DD-3 tak kunjung muncul. Tahu-tahu suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah. Rupanya, ia bersama istrinya datang dengan pete-pete. “Ini hari Minggu, ini juga bukan acara dinas. Jadi, saya tak boleh datang dengan mobil kantor,” ia menjelaskan.

Bahkan telepon dinas di rumahnya selalu ia kunci. Lopa melarang istri ataupun anak-anaknya menggunakannya. Semasa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, ia sampai memasang telepon koin di rumah jabatannya untuk memilah tagihan.

Aisyah, salah satu putrinya, juga punya pengalaman unik. Pada 1984, ia menjadi panitia sebuah seminar di kampusnya, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kekurangan kursi, Aisyah datang ke kantor ayahnya untuk meminjam kursi di aula Kejaksaan Tinggi Sul-Sel. Sebagai jawabannya, Lopa menarik salah satu kursi lipat dan memperlihatkan tulisan di baliknya. “Ini, baca. Barang inventaris Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, bukan inventaris Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan dan tidak bisa dipinjamkan,” kata Lopa.

Segala kesederhanaan itu jelas bukan karena Lopa hidup melarat. Ia mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp 1,9 miliar dan simpanan US$ 20 ribu. Ia juga terlahir dari keluarga terpandang. Di tubuhnya mengalir darah Mara’dia (bangsawan Mandar). Kakeknya, Mandawari, adalah Raja Balangnipa-kerajaan besar di Mandar-yang sangat dicintai rakyatnya dan juga hidup sederhana. Sudah sejak usia 25 tahun ia menjadi pejabat. Ketika itu, ia diminta Panglima Komando Distrik Militer XIV Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf, menjadi Bupati Majene. Ia dipilih karena dianggap sanggup melawan pemberontakan Andi Selle pada tahun 1960. Selain menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di empat provinsi-Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan Ternate-doktor lulusan Universitas Diponegoro ini juga tercatat sebagai guru besar hukum di Universitas Ha- sanuddin.

Pendiriannya itu, kata Lopa kepada TEMPO ketika itu, karena ia berpegang pada ajaran agama. Salah satunya dari sebuah hadis Nabi yang berbunyi, “Sekalipun anakku Fatimah, kalau ia mencuri, kupotong tangannya.” Juga dari sebuah peristiwa tragis di Mandar ketika ia masih kanak-kanak. Di pengujung tahun 1930, di Balangnipa terjadi sebuah pembunuhan oleh seorang pemuda. Menurut hukum adat, ia harus diganjar hukuman mati. Nyawanya cuma bisa diselamatkan jika semua pabbicara (pemuka adat) setuju memberi keringanan. Enam dari tujuh pabbicara setuju meringankan hukuman. Cuma ada seorang yang bersikukuh menjatuhkan hukuman mati. Dia adalah Ketua Dewan Adat. Maka, hukuman mati pun dijatuhkan. Sang pemuda meregang nyawa di atas pangkuan sang Ketua Dewan Adat. Tak lain, ia adalah ibu kandung si pemuda sendiri. Kisah ini begitu tertanam di benak Lopa. ”Saya amat terkesan dengan kisah itu, bahwa penegakan hukum tak boleh terhalangi sekalipun karena alasan hubungan darah,” kata Lopa di banyak kesempatan.

Bob Hasan adalah salah satu pesakitan yang merasakan tangan keras Lopa. Si Raja Hutan ini tanpa ampun langsung di-Nusakambangan-kan tak lama setelah Lopa dilantik menjadi Menteri Kehakiman pada 8 Februari lalu.

Semasa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel (1982-1986), “korbannya” adalah Tony Gozal, seorang pengusaha kaya dan salah satu “orang kuat Sul-Sel”. Tekanan dari segala penjuru tak digubrisnya. Tony ia jebloskan ke penjara dalam kasus penyelewengan tanah milik pemerintah daerah. Tengah gencar-gencarnya memeriksa Tony, Presiden Soeharto bersama Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bertemu di Makassar. Tempatnya tak lain di Hotel Makassar Golden, hotel termewah di Sul-Sel milik Tony. Lopa ikut menjemput Soeharto dan Lee di Bandara Hasanuddin. Tapi ia menolak mengantar sampai ke hotel dan tak mau datang ke jamuan makan malam yang dihadiri semua pejabat Sulawesi. “Tidak baik saya ke situ. Apa kata orang kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik,” kata Lopa. Tony divonis bersalah dan meringkuk di Penjara Gunungsari. Buntutnya, Lopa terpental. Pada 1986, ia dimutasi menjadi staf ahli Menteri Kehakiman.

Lopa adalah seorang muslim taat. Ia adalah Ketua Yayasan Masjid Al-Hidayah, masjid dekat rumahnya di Jakarta. Daniel Dawam, seorang pengurus masjid, berkisah suatu saat masjid ini akan direnovasi. Panitia kebingungan mencari dana. Mendengar itu, Lopa, ketika itu telah menjabat Dirjen Lapas, langsung turun tangan. Selepas salat isya, map formulir sumbangan langsung ia edarkan sendiri dari pintu ke pintu. “Dalam tiga bulan, Pak Lopa mengumpulkan Rp 250 juta untuk pembangunan masjid,” Dawam mengenang.

Tapi ada dua hal yang merisaukannya: terlihat tua dan merengut. Karena itulah, usai diwawancarai mingguan ini, ia ngotot mengajak wartawan TEMPO mampir dulu ke rumahnya untuk mengambil foto favoritnya. Ini foto saat ia dilantik sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Di situ Lopa memang terlihat lebih muda dengan senyum yang mengembang. “Saya ingin orang melihat saya sedang tersenyum,” kata Lopa. Ia tak begitu peduli soal kesehatannya. Rokok kesayangannya, Dunhill filter, tak lepas dari jarinya. Ketika ditanya TEMPO soal kesehatannya, ia cuma menyeringai sambil berkata, “Sudahlah, tak usah bicara soal kesehatan. Nyawa manusia sudah ada yang mengatur.” Dan Tuhan telah mengaturkan sebuah kematian yang amat mulia buatnya.

sekilas mengenak sang Pendekar:
Baharuddin Lopa, alias Barlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.

Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.


Wahai orang yang sdg duduk di kekuasaan, takar dirimu dengan Hugeng dan Lopa

Hugeng dimata Rosihan Anwar

AKHIR pekan lalu kami bertiga, Ny Herawati Diah, saya, dan istri, mengunjungi Hoegeng Iman Santoso yang dirawat di RSCM, Jakarta. Merry memberitahukan suaminya tentang kedatangan kami, tetapi Hoegeng tidur terus. Enam hari kemudian, tanggal 14 Juli 2004 pukul 00.30, mantan
Kepala Polri itu meninggal dunia akibat stroke. Hoegeng lahir 14 Oktober 1921 di Pekalongan. Ayahnya jaksa. Setelah sekolah di HIS dan MULO Pekalongan dia belajar di AMS A Yogya, bagian Klasik Barat. Ketika itulah saya kenal pertama kali dengan Hoegeng sebagai kakak kelas kami bertiga, yaitu Usmar Ismail (Bapak Perfilman Nasional), S Tasrif (Ketua Persatuan Advokat Indonesia), dan saya. Bila kelas kami bertanding bisbol dengan wasit guru olahraga Schiffers, saya bermain sebagai pitcher tim kelas dan Hoegeng sebagai pemain stop. Soedarpo Sastrosatomo (pengusaha perkapalan Samoedera Indonesia), yang ketika itu pelajar AMS B Yogya,
bercerita tentang sebuah rumah kos di Ngupasan. Di sana tinggal beberapa anak liar (wilde jongens), seperti Imam Pamoedjo dan Hoegeng. Mereka membentuk sebuah band Hawaian. Dengan musik Hawaian, Hoegeng bermain di Sositet, di Radio Mataram, di NIROM, untuk mendapat tambahan karena ayahnya hanya mengirimkan 7,50 gulden per bulan.


SETAMAT AMS A, Hoegeng menjadi mahasiswa Sekolah Hukum Tinggi (Rachts Hoge School/RHS) Batavia. Dalam perkumpulan mahasiswa USI (Unitas Studiorum Indonesiensis), dia berkenalan baik dengan sesama mahasiswa, Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Chaerul Saleh, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Subandrio. Karena perang pecah, studi Hoegeng terkapar. Di zaman pendudukan Jepang, dia masuk Sekolah Polisi Sukabumi dan setelah Republik Indonesia berdiri dia terus berkutat di dunia kepolisian. Bulan Februari 1947, sebagai Pemimpin Redaksi Siasat

saya diajak RS Soekanto, Kepala Kepolisian Negara, mengunjungi Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi (kelak berganti nama jadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di Mertoyudan dekat Magelang, dan di sana bertemu dengan
staf pengajarnya, antara lain Prof Dr Mr Soepomo, Prof Mr Soenario Kolopaking, Prof Mr Djoko Soetono, Prof Dr Priyono, juga dengan mahasiswanya, antara lain Hoegeng-kenalan lama dari AMS A Yogya.
Karier Hoegeng berkembang. Dikirim belajar ke Amerika Serikat, ditugaskan di Jawa Timur, tahun 1956 diangkat sebagai Kepala Reserse dan Kriminal Sumatera Utara di Medan yang “kesohor” sebagai tempat pedagang Tionghoa punya hobi menyuap pejabat-pejabat. Namun, Hoegeng tidak bisa disuap. Di tengah dunia judi, smokkel, korupsi, dan rayuan wanita cantik, dia kokoh sebagai polisi yang jujur dan lurus, an honest and straight cop.

PADA awal 1960 Hoegeng diangkat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Mabes Polisi, tetapi dibatalkan, lalu ditarik ke Mabak. Mengapa sampai begitu? Dalam buku Polisi: Idaman dan Kenyataan oleh Abrar Yusra dan Ramadhan KH (1993), Hoegeng bercerita pembatalan itu
karena ada yang melaporkan kepada Bung Karno (BK) bahwa Hoegeng anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Dia menemui BK di Istana untuk menjernihkan persoalan.
BK bilang, “Tapi kamu kan kenal Soedjatmoko, Soebadio Sastrosatomo, PSI toh?” “Lha, iya kenal, wong kita satu sekolah kok, AMS A Yogya dan RHS. Tapi saya tak masuk PSI kok, boleh periksa.” BK menatap saya, lalu ketawa.
“Beres, beres kalau begitu,” kata BK (halaman 248).
Hoegeng diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi dan dalam Kabinet Seratus Menteri sebagai Menteri Negara Urusan Iuran.

Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan
mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula.

Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M Panggabean. Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH diceritakan Hoegeng
masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng.

Ketika Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, Presiden Soeharto yang berbicara tanpa teks yang telah disiapkan mengatakan, ABRI harus memilih sebagai mitranya mereka yang membela Pancasila dan UUD 1945.
Tiga minggu kemudian pada HUT Kopassandha, beberapa orang sipil seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara berkumpul untuk menyusun sebuah petisi yang disampaikan kepada DPR, 13
Mei 1980. Lahirlah Petisi 50 yang mengkritik Soeharto karena menafsirkan Pancasila begitu sempit dan mempromosikan kerja sama ABRI dengan Golkar, sedangkan seharusnya ABRI ada di atas semua partai.
Petisi 50 menimbulkan amarah Soeharto. Orang yang dicap sebagai Petisi 50 menjadi non-person, dipencilkan dari arus pergaulan sosial.

MAS Hoegeng, yang tadinya ikut dalam band Hawaian Seniors yang biasa bermain di TVRI dan Radio Elshinta dan digemari publik, gara-gara menandatangani Petisi 50 harus menghentikan siaran. Ucapannya pada akhir siaran Aloha tidak terdengar lagi. Lagu-lagu yang didendangkan, seperti Hawaii Calls, On The Beach of Waikiki, I’m in The Mood for Love, menjadi sunyi senyap.

Ketika dia tinggal di Jalan Mohammad Yamin 8 dan saya lewat di depannya pagi-pagi sedang olahraga jalan kaki, Hoegeng duduk di sana, lalu kami bercakap-cakap, kadang-kadang mengutip beberapa strofe dari buku Ovidius berbahasa Latin karena kami di AMS A Yogya pernah menjadi latinist.

Setelah dia pindah rumah ke kawasan Depok, kontak kian berkurang. Masih bertemu juga jika ada pertemuan berkala anggota-anggota Arga Bagya, yaitu alumni AMS Yogya yang masih hidup. Namun, setelah kena stroke Hoegeng makin merosot kesehatannya. Dulu masih sering berjumpa waktu shalat Tarawih di bulan Ramadhan di Masjid Sunda Kelapa, kemudian itu pun terputus.

Akhirnya datanglah saat berpisah dengan Mas Hoegeng buat selama-lamanya. Dia tutup usia dan dikebumikan di Parung Raya, Bogor. Banyak handai tolan datang takziah di rumah duka. Berpisah secara fisik, tetapi tidak dalam batin. Hoegeng Iman Santoso akan dikenang terus sebagai putra Indonesia yang turut berjuang untuk Indonesia Merdeka, manusia yang jujur, adil, setia pada prinsip etik yang dianutnya. Semoga Tuhan menerima arwah Mas Hoegeng di sisi-Nya

Hanya Hugeng satu-satunya Kapolri Jujur dan Amanah

Belum Ada Kapolri Sehebat Hugeng (Jujur dan Amanah)


Hoegeng Iman Santoso adalah Kapolri di tahun 1968-1971. Ia juga pernah menjadi Kepala Imigrasi (1960), dan juga pernah menjabat ebagai menteri di jajaran kabinet era Soekarno. Kedisiplinan dan kejujuran selalu menjadi simbol Hoegeng dalam menjalankan tugasnya di manapun.salah satu bentuk kejujuran beliau antara lain:

Misalnya, ia pernah menolak hadiah rumah dan berbagai isinya saat menjalankan tugas sebagai Kepala Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara tahun 1956. Ketika itu, Hoegeng dan keluarganya lebih memilih tinggal di hotel dan hanya mau pindah ke rumah dinas, jika isinya hanya benar-benar barang inventaris kantor saja.

Semua barang-barang luks pemberian itu akhirnya ditaruh Hoegeng dan anak buahnya di pinggir jalan saja. ” Kami tak tahu dari siapa barang-barang itu, karena kami baru datang dan belum mengenal siapapun,” kata Merry Roeslani, istri Hoegeng.,

Saking jujurnya, Hoegeng baru memiliki rumah saat memasuki masa pensiun. Atas kebaikan Kapolri penggantinya, rumah dinas di kawasan Menteng Jakarta pusat pun menjadi milik keluarga Hoegeng. Tentu saja, mereka mengisi rumah itu, setelah seluruh perabot inventaris kantor ia kembalikan semuanya.,

Polisi Kelahiran Pekalongan tahun 1921 ini, sangat gigih dalam menjalankan tugas. Ia bahkan kadang menyamar dalam beberapa penyelidikan. Kasus-kasus besar yang pernah ia tangani antara lain, kasus pemerkosaan Sum tukang jamu gendong atau dikenal dengan kasus Sum Kuning, yang melibatkan anak pejabat. Ia juga pernah membongkar kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi, yang notabene dekat dengan keluarga Cendana. Kasus inilah yang kemudian santer diduga sebagai penyebab pencopotan Hoegeng oleh Soeharto.

Hoegeng dipensiunkan oleh Presiden Soeharto pada usia 49 tahun, di saat ia sedang melakukan pembersihan di jajaran kepolisian. Kabar pencopotan itu diterima Hoegeng secara mendadak. Kemudian Hoegeng ditawarkan Soeharto untuk menjadi duta besar di sebuah Negara di Eropa, namun ia menolak. Alasannya karena ia seorang polisi dan bukan politisi. Memasuki masa pensiun Hoegeng menghabiskan waktu dengan menekuni hobinya sejak remaja, yakni bermain musik Hawaiian dan melukis. Lukisan itu lah yang kemudian menjadi sumber Hoegeng untuk membiayai keluarga. Karena harus anda ketahui, pensiunan Hoegeng hingga tahun 2001 hanya sebesar Rp.10.000 saja, itu pun hanya diterima sebesar Rp.7500! sampai akirnya beliau wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, Rabu 14 Juli 2004 pukul 00.30.

Bagaimana dengan polisi sekarang…..banyak isu untuk naik pangkat harus nyogok, masuk polisi hatus nyogo….k. pecahkan msalah dapat sogokan….jadi becking….orang bilang polisi itu seperti sapu sebagai tukang kebersihan yaitu menegkkan hukum positif dinegeri ini tetapi…sapunya kotor jadi lantai kotor disapu dengan sapu kotor jadi ngak bersih-sersih…..kasus gayus, kasus anggodo……..sungguh memilukan bagi polri .Apa Hugeng menyesalai pernah menjadi Kapolri Repoblik Indonesia ?

Tags

Entri Populer