English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 03 September 2012

Operasi Militer era Dwikora


 B ila Anda melewati kompleks Dwikora perumahan dinas TNI AU di Lanud Halim Perdankusuma, Jakarta, anda akan menemukan nama-nama asing seperti Kolatu, Kolada, Stradaga, Straudga dan lainnya. Ternyata nama-nama itu mengartikan nama operasi militer yang disingkat semasa Dwikora tahun 1962-1964.
    Kolatu adalah singtan dari Komando Mandala Satu, Kolada adalah Komando Mandala Dua, Stradaga adalah Strategi Darat Siaga, Straudga adalah Strategi Udara Siaga, dan Stralaga adalah Strategi Laut Siaga. Semua itu merupakan bagian operasi Dwikora (Dwi Komando rakyat) ketika Indonesia berkonfrontasi denagn Malaysia.
    Waktu itu, Indonesia menentang dibentuknya negara federasi Malaysia yang merupakan gabungam Malaya dan Singapura di bagian barat, serta Sabah, Serawak dan Brunei di Kalimantan Utara. Negara federasi bentukan Inggris ini oleh Presiden pertama RI Soekarno, di beri nama 'Negara Boneka" Malaysia.
    Melalui negara federasi Malaysia itulah Inggris masih akan berpengaruh, sementara Indonesia melihatnya sebagai bentuk kolonialisme baru dan merupakan ancaman bagi kedaulatan RI.
    Penentangan Indonesia ini direalisasikan dalam bentuk Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dicanangkan Bung Karno. Intinya menggagalkan 'Negara Boneka' Malaysia dan untuk itu rakyat di minta bersedia menjadi sukarelawan. Tercatat, sekitar 21 Juta rakyat Indonesia mendaftar sebagai sukarelawan untuk di kirim ke Kalimantan Utara.
 ✈ Terbesar di Asia Tenggara

    Kekuatan udara merupakan sarana penentu dalam suatu operasi militer dan menjadi andalan utama dalam Operasi Dwikora guna melawan kekuatan udara gabungan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura.
    Kala itu Kekuatan udara TNI AU masih menjadi kekuatan yang terbesar di Asia Tenggara setelah pengembangan kekuatan saat membebaskan Irian Barat untuk kembali ke dalam wilayah RI tahun 1962.
    Pesawat pengebom intai jarak jauh dan tercanggih saat itu, TU-16KS, B-25 Mitchell, B-26 Invader, pesawat tempur pemburu P-51 Mustang, MiG 17, MiG 19 dan MiG 21, pesawat angkut C-130 Hercules, C-47 Dakota, Helikopter Mi-4 dan Mi-6, dikerahkan dan diarahkan ke Utara, Malaysia.
    Sementara itu kekuatan personil selain 21 juta sukarelawan, pasukan TNI yang dilibatkan adalah Pasukan Gerak Tjepat (PGT), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Marinir / Korps Komando (KKO) dan Brimob Pelopor Polri.
 ✈ Berbagai Nama Operasi Militer

    Selama lebih dua tahun konfrontasi, 1962-1964, operasi Dwikora telah melaksanakan berbagai operasi seperti:
    Operasi Terang Bulan, penerbangan pesawat TU-16KS dan pesawat angkut C-130 Hercules di wilayah udara Singapura, Malaysia dan Kalimantan Utara untuk show of force.
    Operasi Kelelawar, operasi untuk pengintaian dan pemotretan udara untuk memantau bila ada pergerakan kekuatan militer di wilayah Kepulauan Cocos dan Pulau Christmas, Australia di Samudera Indonesia.
    Berbagai nama sandi operasi militer disesuaikan misi tugas seperti Operasi Rembes, untuk penyebaran pamflet, Operasi Nantung, untuk menguji kesiapan sendiri dan siaga atas kesiapan lawan. Operasi Tanggul Baja, operasi dengan menempatkan pesawat-pesawat tempur di daerah yang lebih dekat dengan mandala operasi.
    Untuk operasi penerjunan pasukan linud, diberi nama operasi sandi Antasari. Operasi Antasari I berhasil menerjunkan satu batalyon pasukan tempur ke Kalimantan Utara dengan menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules AURI.
    Operasi linud Antasari telah dilakukan sampai yang ke empat menggunakan pesawat C-130 Hercules dan pesawat C-47 Dakota.
 ✈ Tragis Hercules T-1307

    Pada saat melaksanakan operasi Antasari tanggal 2 September 1964, tiga pesawat angkut C-130 Hercules membawa satu kompi pasukan PGT yang dipimpin oleh Kapten Udara Suroso.
    Dalam pesawat Hercules dengan nomor ekor T-1307 yang diterbangkan Pilot Mayor Pnb Djalaluddin Tantu, ikut serta seorang perwira menengah pimpinan PGT Letkol Udara Sugiri Sukani, yang ikut sekalian untuk memberi semangat kepada pasukannya.
    Hercules Tipe B tersebut diterbangkan oleh Mayor Pnb Djalaluddin Tantu berserta ko-pilot Kapten Pnb Alboin Hutabarat membawa delapan awak pesawat dan 47 personil PGT yang dipimpin Kapten Udara Suroso, untuk diterjunkan  di daerah operasi Kalimantan Utara. Namun dari tiga pesawat Hercules, hanya dua pesawat yang kembali ke Halim Perdanakusuma. Satu akhirnya dinyatakan hilang bersama 55 orang yang ada didalamnya, yaitu T-1307 C-130B Hercules.
    Selama operasi Dwikora, pasukan PGT merupakan pasukan payung yang telah di terjunkan ke wilayah konfrontasi dengan kehilangan 83 orang anggotanya. Nama Sugiri Sukani akhirnya dinyatakan hilang dalam tugas dan di abadikan sebagai nama Pangkalan Udara di Jatiwangi, Cirebon dan Suroso menjadi nama lapangan bola di kompleks Dwikora, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Pemberontakan PRRI



Sejumlah tokoh PRRI yang berunding di Sumatra Barat: Mr. Burhanuddin Harahap, Dahlan Djambek, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Kolonel Maludin Simbolon, Mr. Assat.


Sejumlah tokoh PRRI yang berunding di Sumatra Barat: Kol. Dahlan Djambek, Letkol Ahmad Husein, Mr. Burhanuddin Harahap, Kolonel Maludin Simbolon, Syafei, dll.



Tokoh-tokoh PRRI yang mengadakan pertemuan di Sungai Dareh pada bulan Januari 1958:
Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maludin Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Letkol Ahmad Husein.

Pelantikan Kabinet PRRI tanggal 15 Februari 1958:
Kolonel Dahlan Djambek, Mr. Burhanuddin Harahap, Letkol. Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Kolonel Maludin Simbolon.



PRRI, pemberontak atau pahlawan

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pada tahun 1958-1962. Sejumlah panglima divisi Banteng dan staf-stafnya yang meliputi Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Tapanuli, Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti M. Natsir, Sumitro Djayahadikusumo, M. Hatta, dan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Maksud dari PRRI ini adalah untuk memperingatkan Yang Mulia Presiden Soekarno yang sudah bertindak sewenang-wenang.
Kecemburuan pusat-daerah turut pula memperkeruh suasana. Kondisi pada tahun 1950-an mirip dengan kondisi sekarang.

Soekarno membangun Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan membangun proyek-proyek mercu suar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan dan sejumlah patung.
Sementara daerah dibiarkan miskin dan melarat.

Soekarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Hal ini tidak disukai oleh panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno menggunakan sentimen etnis dan ideologi. Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan. Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sumitro Djojohadikusumo, dan tokoh Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), Vence Sumual.

Soekarno tak suka ekonomi. Ia lebih suka membangun ideologi revolusioner. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi pada masa itu mandek. Indonesia memang kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara dan Asia (setelah Cina). AS tak suka pada Soekarno.

Soekarno menganggap PRRI/Permesta sebagai kenakalan "anak-anak". Soekarno memang menganggap dirinya sebagai "Bapak" sedangkan para politisi dan perwira militer sebagai anak-anaknya. Soekarno adalah orang yang pandai bermain peran. Ia pandai menempatkan diri. Ketika menghadapi kelompok Islam ia pandai bermain peran sebagai muslim yangbaik.


 
B 26 siap terbang menumpas PRRI

Upaya Diplomasi

Pada awalnya Soekarno tidak ingin menghadapi PRRI dengan kekerasan. Soekarno mengutus Hasjim Ning, pengusaha, saudara Bung Hatta, untuk menghadap Kolonel Ahmad Husein di Padang. Kolonel Ahmad Husein mengajukan sejumlah tuntutan antara lain: retool kabinet, bung Hatta didudukkan kembali Wakil Presiden, dan keadilan pusat-daerah. Semua tuntutan ini ditolak oleh Soekarno. Ia menganggap Ahmad Husein sebagai "Anak Bandel" dan harus segera diberi pelajaran. Kolonel Ahmad Husein adalah bukan
orang sembarangan. Ia adalah panglima Divisi Banteng/Sumatra Timur yang berjasa mengusir tentara NICA dari Sumatra Timur. Dan tentara Divisi Banteng dikenal tangguh dalam berperang. Mereka berpengalaman menghadapi Belanda. Oleh karena itu Soekarno tidak boleh main-main. Ia harus menyiapkan tentara terbaik untuk menyerbu Padang.

Presiden Soekarno mengutus Jenderal Ahmad Yani untuk menyiapkan operasi tempur yang diberi nama "Operasi 17 Agustus". Jenderal Ahmad Yani menyiapkan sejumlah batalyon terutama dari Kodam IV Diponegoro dan Kodam II Siliwangi. Letjen Soeharto ditetapkan sebagai pelaksana lapangan. Serbuan pertama dilaksanakan dengan operasi pendarat Amphibi di pantai Padang. Sekitar lima jam, kapal-kapal ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan menghujani pantai Padang yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan PRRI. Jelas kekuatan ALRI bukanlah tandingan pasukan PRRI. Kekuatan ALRI adalah yang terkuat di Asia.

Selanjutnya diteruskan dengan operasi pendaratan pasukan Amphibi di pantai Padang berikut tank-tank dan artileri. Lalu dilanjutkan oleh penerjunan pasukan parasut (paratrooper) di kota Padang dan Bukittingi. Serbuan ini menimbulkan banyak korban jiwa baik tentara "Jawa" maupun tentara PRRI. Pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) membomi titik-titik penting pasukan PRRI. Pasukan "Jawa" akhirnya berhasil menguasai Padang. Serbuan ofensif lalu diteruskan hingga ke lembah Anai. Serbuan ini ditahan oleh pasukan PRRI dalam suatu pertempuran yang paling berdarah dalam sejarah PRRI.

Pasukan PRRI mundur ke hutan-hutan. Pasukan "Soekarno" mengadakan gerilya di daerah perkampungan dan perkotaan. Dalam proses itu, ratusan dan ribuan orang diciduk. Sebagian mati dalam tahanan.

Pasukan KODAM Siliwangi dikenal berperilaku lebih baik daripada pasukan dari KODAM Diponegoro. Selain berasal dari etnis Sunda, pasukan KODAM Siliwangi berperilaku lebih halus dan agamis. Sedangkan pasukan KODAM IV Diponegoro berperilaku kasar. Mereka menganggap diri sebagai pemenang perang dan mengulangi kisah sukses ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan Sumatra.

Atas bujuk rayu sejumlah tokoh, kolonel Ahmad Husein menyerahkan diri kepada Gubernur Bagindo Aziz Chan dan Letjen Supeno di sebuah lapangan di Solok. Ahmad Husein menyerah bukan karena kalah tapi demi keutuhan republik. Pasukan PRRI masih banyak tersebar di hutan-hutan. Ahmad Husein ditangkap dan dibawa menghadap Presiden Soekarno.

Tags

Entri Populer