English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Rabu, 08 Juni 2011

menghalalkan segala cara untuk bisa korrupsi



DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) melarang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja Al Amin Nasution, tersangka penerima suap dari Sekda Kabupaten Bintan, Azirwan. DPR menuding KPK sebagai lembaga yang terlalu super alias super body.
Lalu timbul bisik-bisik di kalangan DPR kemudian melontarkan wacana untuk merevisi UU 20/2002 tentang KPK. Bahkan secara mengejutkan terlontar usulan untuk membubarkan lembaga antikorupsi itu.
Ide yang dinilai gila itu dilontarkan oleh Ahmad Fauzi, politisi Partai Demokrat. Ia berkilah, usulan pembubaran KPK tidak ada kaitannya dengan kasus suap yang membelit Al Amin.
Menurut Fauzi, tugas pemberantasan korupsi sudah bisa dikembalikan kepada kepolisian dan kejaksaan yang katanya sudah mulai membaik. Sebaliknya ia menilai bahwa fungsi KPK juga tidak optimal. Dia menyebut 6.000 pengaduan kasus korupsi tahun 2006, namun hanya 7 kasus yang diproses KPK.
Penilaian Fauzi bahwa kepolisian dan kejaksaan sudah membaik dalam penanganan kasus korupsi juga sangat bisa diperdebatkan. DPR mengabaikan fakta bahwa belakangan ini ada banyak kasus di mana polisi dan jaksa malah menjadi pelaku korupsi. Di antaranya Jaksa Urip Tri Gunawan yang menerima suap terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus illegal logging dan penyelundupan yang melibatkan oknum polisi di Kalimantan dan Sumatra.
Tak hanya Fauzi yang menunjukkan sikap tak suka kepada KPK. Rapat pimpinan DPR, Kamis (24/4/2008),




mendukung kebijakan Ketua DPR Agung Laksono untuk melarang penyidik KPK menggeledah 7 ruang di DPR, termasuk ruang Komisi IV (Komisi Kehutanan).
DPR menilai penggeledahan itu tidak sesuai prosedur dan etika. Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Irsyad Sudiro dan Wakil Ketua BK DPR Gayus Lumbuun, serta sejumlah fraksi juga bersikap menolak penggeledahan tersebut. Mereka meminta surat izin penggeledahan dari pengadilan. Padahal penggeledahan itu untuk menyelidiki kasus suap yang membelit Al Amin dan telah sesuai dengan amanat undang-undang.
Sikap DPR itu justru menunjukkan bahwa mereka lah sesungguhnya lembaga super body itu. Upaya mempersulit upaya KPK mengungkap korupsi di tubuh DPR, menunjukkan bahwa DPR seolah merasa memiliki kekebalan hukum.
Terlihat ada upaya DPR melindungi anggotanya yang terlibat kasus korupsi. Apalagi yang bersangkutan telah berstatus tersangka. Ini Semakin memperkuat dugaan bahwa bukan hanya Al Amin saja yang terlibat kasus korupsi, tetapi mungkin saja dilakukan secara berjamaah bersama anggota DPR lainnya.
Seperti dikutip dari detikcom, pengamat hukum UGM Zaenal Arifin Mochtar menilai permintaan DPR untuk membubarkan KPK kian menunjukkan anggota DPR kolot dan naif. Dia menduga virus korupsi sudah


Al Amin

menyerang para anggota DPR, sehingga langsung kebakaran jenggot ketika ada anggotanya diperiksa KPK.
Permintaan pembubaran KPK oleh DPR menjadi bukti bahwa anggota DPR tidak berpikir tentang negara ini dan pemberantasan korupsi. Apabila kinerja KPK dinilai belum optimal, maka yang seharusnya dilakukan adalah optimalisasi dan bukannya dirobohkan. Bahkan Zaenal mengusulkan pembentukan KPK di daerah bila memang banyak kasus belum ditangani. Bukannya malah dibubarkan.
Sikap DPR justru membuat masyarakat semakin yakin bahwa DPR adalah lembaga paling korup. Ibaratnya, buruk rupa cermin dibelah.

Pemimpin yang Amanah



Dalam al-Quran Rasulullah SAW diperintahkan untuk menyampaikan, “inni lakum rasuulun amiiri “. Artinya, sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang tepercaya bagimu. Redaksi yang sama terulang 6 kali di dalam al-Quran, diantaranya 5 kali dalam surat Asy-Syu’araa’ dan satu kali di dalam surat Ad-Dukhan.
Al Amin adalah orang yang amanah, terpercaya, dan bertanggung jawab. Allah SWT memerintahkan setiap hambanya untuk berlaku amanah, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya…” (QS. An-Nisa’ [4]: 58).
Siapapun yang menjadi pemimpin hendaklah bertanya, “Apakah saya dipercaya atau tidak oleh orang yang saya pimpin?” Jika setiap orang merasa ragu kepada kita, maka kesediaan mereka untuk mematuhi apalagi berkorban menjadi minimal. Semakin banyak keraguan semakin tidak efektif dalam memimpin.
Bagaimana agar orang percaya dan tidak ragu kepada kita?
Pertama, pemimpin yang amanah adalah orang yang menjadi kuburan bagi aib orang lain, bukan yang sering membeberkan kekurangan rekan dan karyawannya, apalagi membeberkan kekurangan anggotanya. Makin banyak membeberkan rahasia dan kekurangan orang lain, makin jatuh kredibilitasnya.
Berhati-hatilah terhadap orang yang sering menceritakan aib orang lain karena jika ia berani menceritakan aib-aib orang lain kepada kita, apa sulitnya dia menceritakan aib kita kepada orang lain.
Kedua, pemimpin yang amanah setiap kali mengucapkan janji berusaha sekuat tenaga memenuhinya. Nabi Muhammad SAW pernah tiga hari tiga malam datang ke sebuah tempat hanya karena ada janji dan orang yang berjanjinya lupa, tetapi Nabi tidak marah, karena keberuntungan bagi beliau adalah kemampuan memenuhi janji.
Seringkali orang mudah memberi janji dan melupakannya, tapi orang yang diberi janji biasanya tidak akan lupa. Pemimpin yang amanah bisa dilihat dari kehati-hatiannya berjanji, sedikit janjinya, tetapi selalu ditepati.
Berhati-hatilah terhadap calon pemimpin yang mudah mengobral janji. Seorang calon pemimpin yang banyak memberikan janji jangan langsung dipercaya. Jika akan memilih pemimpin, lebih baik pilihlah orang-orang yang sepanjang hayatnya memberikan bukti daripada yang hanya bisa memberikan janji.
Setiap amanah yang akan diberikan kepada kita harus benar-benar diperhitungkan terlebih dahulu apakah mampu mempertanggung-jawabkannya atau tidak. Setiap pejabat tentu mengucapkan sumpah sebelum mengawali tugasnya.
Menyebut sumpah itu sudah merupakan janji, apalagi menyebut ‘Demi Allah’. Orang yang mempunyai jabatan, pangkat, kedudukan, jika dia tidak mampu mempertanggung-jawabkannya, maka semuanya itu justru menjadi jalan kehinaan bagi dirinya. Terlebih lagi masyarakat kita sekarang sudah semakin kritis.
Semakin tinggi jabatan, jika terjatuh (karena tidak amanah), maka benturannya akan semakin meremukkan. Oleh karenanya jangan tamak dengan kekuasaan dan jabatan, tapi bersungguh-sungguhlah menunaikan tanggung-jawab.
Ketiga, pemimpin yang amanah akan bertanggung jawab terhadap setiap perkara sekecil apapun. Setiap berkata benar-benar tidak ada keraguan, tidak meremehkan waktu walau sedetikpun, karena detik juga berharga (telat sedetik, semenit, sejam, semuanya sama saja yaitu telat), jika jual beli pantang mengambil hak orang lain.
Membangun kepemimpinan diawali dengan amanah terhadap hal-hal kecil terlebih dahulu. Pemimpin yang baik tidak hanya sukses di kantor, tapi juga harus sukses di rumah. Tidak sedikit para pemimpin yang mampu mengatur sistem, kantor, atau perusahaan dengan baik, tetapi tidak berhasil membangun keluarganya dengan baik.
Tidak sedikit pej abat yang terjatuh akibat istrinya tidak dibina dengan baik. Oleh karena itu didiklah keluarga, istri, dan anak-anak kita. Jika tidak, maka kita bisa jatuh oleh istri dan anak-anak kita sendiri.
Firman Allah dalan Al-Quran, “Hai orang-orangyang beriman, sesungguh-
nya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka, dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.
” (QS. At Taghaabun[64]: 14)

Tokyo mengakui kesalahan pemutar balikan fakta sejarah dalam buku pelajaran sekolah

Tokyo mengakui kesalahan pemutar balikan fakta sejarah dalam buku pelajaran sekolah



Walaupun agak terlambat, pemerintah Jepang akhirnya mengakui telah melakukan pemutar balikan fakta sejarah tentang pembunuhan massal di Okinawa menjelang berakhirnya perang Pasifik. Korea menyambut baik keputusan pemerintah Tokyo tersebut. Dengan menghindari beberapa ungkapan keras, seperti “kekerasan militer”, pemerintah Tokyo menghubungkan pembunuhan massal tersebut dengan “campur tangan militer”, dengan mengatakan pendidikan militer pada saat perang telah mengarah pada tindakan tragis tersebut. Gubernur Okinawa, Nakaima Hirokaz pernah memimpin protes menentang pemutar balikan fakta sejarah yang dilakukan pemerintah pusat. Pada masa pertempuran Okinawa di akhir perang dunia kedua, tentara Jepang memaksa penduduk Okinawa untuk melakukan tindakan “mati secara terhormat”. Ribuan anggota masyarakat melakukan bunuh diri dan juga membunuh keluarga mereka, dengan granat tangan yang diberikan kepada mereka oleh tentara atau orang lain. Sejak dulu sudah diketahui dengan baik , bahwa tentara penjajah Jepang sangat bertanggung jawab atas tragedi kematian penduduk tidak berdosa tersebut. Akan tetapi mantan PM Jepang, Shinzo Abe menegaskan bahwa militer tidak terlibat dalam kejahatan keji tersebut dan memerintahkan para penerbit untuk membuang halaman yang memuat keterlibatan militer, sehingga menyebabkan perbedaan pendapat diantara beberapa ahli sejarah. Karena fakta sejarah telah diputar balikkan, sekitar 110.000 penduduk Okinawa mengadakan demonstrasi besar-besaran



pada akhir bulan Septerber. Jepang sangat di cela dalam lingkungan masyarakat global, karena membantah telah memobilisasi wanita penghibur bagi para tentaranya. Namun pemerintah Tokyo membela diri dengan mengatakan tidak ada bukti-bukti kuat yang mendukung tuduhan tersebut. Pelecehan seks pada masa perang tersebut telah menjadi isu keprihatinan global. Masyarakat internasional telah mengeluarkan serangkaian resolusi yang menuntut permitaan maaf secara resmi dari pemerintah Jepang. Belum lama ini Parlemen Eropa mengeluarkan sebuah resolusi baru yang berjudul “ Keadilan bagi Wanita Penghibur” Tindakan parlemen Eropa tersebut merupakan yang keempat setelah parlemen AS, Kanada, dan Belanda yang kemudian akan disusul oleh Australia dan Philipina. Resolusi yang dikeluarkan oleh parlemen Eropa menghimbau agar pemerintah Jepang meminta maaf secara resmi atas kejahatan pada masa perang Dunia II tersebut. Pada saat itu, penjajah Jepang secara paksa mengumpulkan lebih dari 200.000 wanita Asia yang dijadikan sebagai wanita penghibur bagi para serdadunya. Parlemen Eropa juga menuntut agar Jepang menjelaskan kebenaran dalam buku sejarah pelajaran sekolah, serta memberikan ganti rugi bagi para korban atas penderitaan mereka. Resolusi parlemen Eropa memiliki makna yang sangat penting karena memandang kejadian itu bukan sebagai masa lalu Asia, tetapi sebagai masalah hak azasi wanita saat ini dan masa depan. Pemerintah Jepang seharusnya tidak menutup telinga atas kenyataan yang ada.

Meluruskan Sejarah Serangan Oemoem 1 Maret 1949: Pencetusnya Sultan HB IX Bukan Soeharto



Masih ingat pada masa pemerintahan Soeharto saat berkuasa, setiap menjelang 1 Maret diputar film dokumenter: Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 melalui TVRI. Tujuannya selalu mengenang peristiwa bersejarah melalui SO 1 Maret yang dipimin Letkol Soeharto sebagai Komandan menunjukkan keberhasilan Tentara Republik Indonesia menguasai kembali kota Yogyakarta sebagai Ibukota Negara RI sementara dari tangan penjajah Belanda.



Waktu itu berulangkali komentator melalui TVRI menyebutkan bahwa SO 1 Maret 1949 adalah jasa dari Letkol Soeharto (almarhum-pangkat Jenderal Besar). Namun sejarah otentik tidak bisa ditipu berdasarkan keterangan beberapa saksi hidup menyatakan, bahwa penggagas utama timbulnya SO 1 Maret adalah Sultan Hamengkubuwono IX, bukannya Letkol Soeharto. Karena selama ini yang mengklaim gagasan tersebut adalah Soeharto, sehingga rakyat percaya. Tidak ada yang berani membantah termasuk para saksi hidup yang berperan ikut serta mencetuskan ide SO 1 Maret 1949.

Awal Mula




Beberapa minggu sebelum diluncurkan SO 1 Maret, tepatnya pada 14 Februari 1949 GBPH Prabuningrat (kakak Sri Sultan HB IX) mengantar Letkol Soeharto untuk menghadap Sri Sultan HB selaku Menteri Negara Keamanan RI dan Gubernur DIY. Pertemuan secara rahasia berlangsung di Pendopo Dalem Kraton Yogyakarta. Di situlah Sultan HB IX mencetuskan untuk segera membebaskan Kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda.
Gagasan ini kemudian dikenal dengan peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Sri Sultan memerintahkan kepada Letkol Soeharto untuk memimpin SO 1 Maret 1949 dengan kedudukan sebagai Komandan.
Namun demikian sudah jelas tanggal dan tempat pertemuan serta beberapa saksi, tapi mengapa Letkol Soeharto membantah dengan menyatakan bahwa dirinya tidak pernah mengadakan rapat atau pertemuan dengan Sri Sultan HB IX. Soeharto mengaku bertemu Sultan HB IX pada 1 Maret ketika dirinya menyatakan sebagai Komandan SO 1 Maret 1949, bukan pada 14 Februari 1949.



Di sini ada unsur kesengajaan dari Soeharto untuk memutarkan balikkan fakta sejarah. Padahal banyak saksi yang menjaga di luar sidang pertemuan tertutup, termasuk Marsudi dan Prabuningrat serta abdi dalem kraton.
Dari sumber lain yang saya peroleh bahwa gagasan dari Sri SultanHBIX untuk melancarkan SO 1 Maret 1949 untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, bahwa Republik Indonesia dengan Pemerintahan di bawah pimpinan Presiden Soekarno masih berdiri tegak dengan pemerintahan yang sudah dibentuk dengan beberapa menteri. Di samping itu, kepada dunia luar, terutama Dewan Keamanan PBB menunjukkan bahwa Yogyakarta sebagai Ibu Kota Negara RI masih berdiri tegak dan tidak pernah diperintah Belanda.
Tujuan lain menunjukkan bahwa Sri Sultan HB IX sebagai Pemimpin Rakyat Mataram dan Menteri Negara Keamanan RI dan tetap menjadi kepercayaan rakyatnya yang tetap setia. Dengan gagasan untuk melancarkan SO 1 Maret 1949, seluruh rakyat Yogyakarta bahwa sampai di luar kota mendukung kebijaksanaan Sultan untuk membebaskan KotaYogyakarta dari ancaman penjajah Belanda.
Karena Sultan HB IX tidak punya pasukan, maka dalam pertemuan di ndalem Kraton pada 14 Februari 1949 Sultan HB IX mengirim surat kepada Panglima Besar Jendral Soedirman mohon izin untuk melancarkan serangan 1 Maret 1949. Jendral Soedirman menyaraknan kepada Sri Sultan HB IX agar menghubungi Letkol Soeharto.



Dari situlah kemudian atas izin Panglima Besar Soedirman diangkat Letkol Soeharto sebagai Komandan SO 1 Maret 1949.
Dalam perkembangan selanjutnya setelah Soeharto menjadi Presiden RI ke dua, sekitar tahun 1980 menerbitkan buku karangannya dengan judul “ Pikiran, Ucapan dan Tindakan“. Sekali lagi dalam buku tersebut pak Harto telah memutarkan fakta dan sejarah dari gagasan SO 1 Maret 1949. Dalam buku tersebut Pak Harto masih saja bersikukuh menyebutkan bahwa bahwa pada 14 Februari 1949 dirinya tidak pernah bertemu Sultan HB IX apalagi mengadakan rapat tertutup.
Sementara itu Wakil Ketua DPR-RI Soetardjo Soerjoguritno pernah minta kepada Megawati (waktu itu Presiden RI) perlu menyikapi secara cermat tentang prakarsa dan sejarah terbentuknya SO 1 Maret 1949 yang selama ini diklaim oleh Soeharto. Hal ini sangat penting bagi generasi muda agar tidak terjebak dengan pemutar balikkan fakta sejarah yang sebenarnya.
Dalam kontek Budaya malu, alangkah baiknya kita berani mengatakan benar pada sejarah yang benar, dan malu kita mengada -ada atau memutar balikkan sejarah hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, karena Sejarah adalah amanah dari Tuhan bagi kita anak bangsa Indonesia

Exploitation de l’home par l’homme dgn Budaya Santun

Budaya Santun adalah budaya ketimuran yang sangat melekat pada diri setiap anak bangsa Indonesia terutama bagi anak bangsa yang mau menghayati budaya suku bangsanya. Namun bukanlah berarti kita akan santun dan lebih santun kepada orang atau kerabat yang jelas bersalah dan pernah menyakitkan hati orang lain. Apalagi kalau kita sebagai seorang panutan atau pemimpin yang dapat membedakan baik buruk salah dan benar. Bagi pemimpin yang tidak mampu melawan hati nuraninya yang berbisik “itu kerabatmu”,”itu adikmu sekandung”, Dia anakmu”, tapi mereka-mereka itu jelas dan nyata bersalah atau menyakitkan hati orang banyak, maka pemimpin itu, tidak layak menjadi panutan atau pemimpin karena beliau hanya pemimpin yang mampu mencari dalih dan alasan menutupi kelemahannya, namun sangat menyakitkan orang-orang yang dipimpinnya.
Apakah layak bangsa Indonesia yang populasinya lebih 200 juta memiliki pemimpin yang peragu dan berkesan tidak tegas?, Bagaimana dan dibawa kemana bangsa ini. Apakah anak bangsa ini ingin diciptakan menjadi manusia-manusia bermental tempe (Bung karno), atau manusia dan anak bangsa yang tidak bermoral dan menjadi budak bangsa lain. Apakah Pemimpin Indonesia yang bertype santun ini akan membiarkan bangsa lain menginjak-injak martabat bangsa Indonesia yang dulu sangat dihargai dan disegani !.
Exploitation de l’home par l’homme terhadap anak bangsa dibiarkan saja dinegeri orang tanpa ada jaminan dari pemimpin yang meragu, Pemimpin tersebut melihatnya dengan cukup mengelus dada demi persaudaraan serumpun.



Bung Karno pendiri Republik ini tidak akan tega melihat hal itu terjadi terhadap rakyatnya Dia akan mengatakan “Mana dadamu Ini dadaku,! Dialah pemimpin yang layak bagi Bangsa ini. Meskipun jumlah penduduk Indonesia pada saat itu tidak sebesar populasi sekarang namun Bung karno tidak pernah gentar menghadapi Malaysia yang dibelakangnya ada Inggeris dan australia bahkan negara-negara barat mendukung Malaysia ketika itu.

Oleh karenanya bila ada yang mengatakan tidak sama era Bung karno dengan sekarang justru karena itu, citra Indonesia sebagai negara Demokratis akan membuat lebih tegar menghadapi musuh-musuh yang melanggar ham dan teritorial.
Hanya yang liar berkorupsi saja yang tidak ingin terjadi peperangan dengan pelanggar kedaulatan Republik. dan hanya yang kemaruk kekuasaan dan kedudukan saja yang takut berperang dengan bangsa lain yang menindas anak bangsanya.



Ini sebagai Gambaran kekecewaan rakyat terhadap Pemimpin Yang peragu dan tidak tegas. maka Kini yang berkembang adalah budaya tebal muka seperti Budaya Korupsi, budaya tawuran, budaya demo, budaya arogan, budaya fitnah atau memutar balikkan fakta, budaya malas, dan banyak lagi semuanya dekat dengan pelanggaran hukum dan sangat memprihatikan . Bagai mana kelanjutan Bangsa ini?

Senin, 06 Juni 2011

Perjalanan Budaya korupsi Indonesia

Korupsi di Indonesia sudah 'membudaya' sejak dulu, sebelum dan sesudah kemerdekaan, di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih jauh panggang dari api.

Sejarawan di Indonesia umumnya kurang tertarik memfokuskan kajiannya pada sejarah ekonomi, khususnya seputar korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan yang dilakukan oleh para bangsawan kerajaan, kesultanan, pegawai Belanda (Amtenaren dan Binenland Bestuur) maupun pemerintah Hindia Belanda sendiri. Sejarawan lebih tertarik pada pengkajian sejarah politik dan sosial, padahal dampak yang ditimbulkan dari aspek sejarah ekonomi itu, khususnya dalam "budaya korupsi" yang sudah mendarah daging mampu mempengaruhi bahkan merubah peta perpolitikan, baik dalam skala lokal yaitu lingkup kerajaan yang bersangkutan maupun skala besar yaitu sistem dan pola pemerintahan di Nusantara ini. Sistem dan pola itu dengan kuat mengajarkan "perilaku curang, culas, uncivilian, amoral, oportunis dan lain-lain" dan banyak menimbulkan tragedi yang teramat dahsyat.

Era Sebelum Indonesia Merdeka

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh "budaya-tradisi korupsi" yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat menyirnak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit (pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso), perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadfnya beberapa kali peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan di Indonesia.

Umumnya para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif ekonomi - memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan - belum nampak di permukaan "Wajah Sejarah Indonesia".

Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi taringnya oleh Belanda.

Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman.

Benar bahwa penyebab pecah dan lemahnya Mataram lebih dikenal karena faktor intervensi dari luar, yaitu campur tangan VOC di lingkungan Kerajaan Mataram. Namun apakah sudah adayang meneliti bahwa penyebab utama mudahnya bangsa asing (Belanda) mampu menjajah Indonesia sekitar 350 tahun (versi Sejarah Nasional?), lebih karena perilaku elit bangsawan yang korup, lebih suka memperkaya pribadi dan keluarga, kurang mengutamakan aspek pendidikan moral, kurang memperhatikan "character building", mengabaikan hukum apalagi demokrasi Terlebih lagi sebagian besar penduduk di Nusantara tergolong miskin, mudah dihasut provokasi atau mudah termakan isu dan yang lebih parah mudah diadu domba.

Belanda memahami betul akar "budaya korup" yang tumbuh subur pada bangsa Indonesia, maka melalui politik "Devide et Impera" mereka dengan mudah menaklukkan Nusantara! Namun, bagaimanapun juga Sejarah Nusantara dengan adanya intervensi dan penetrasi Barat, rupanya tidak jauh lebih parah dan penuh tindak kecurangan, perebutan kekuasaan yang tiada berakhir, serta "berintegrasi' seperti sekarang. Gelaja korupsi dan penyimpangan kekusaan pada waktu itu masih didominasi oleh kalangan bangsawan, sultan dan raja, sedangkan rakyat kecil nyaris "belum mengenal" atau belum memahaminya.

Perilaku "korup" bukan hanya didominasi oleh masyarakat Nusantara saja, rupanya orang-orang Portugis, Spanyol dan Belanda pun gemar "mengkorup" harta-harta Korpsnya, institusi atau pemerintahannya. Kita pun tahu kalau penyebab hancur dan runtuhnya VOC juga karena korupsi. Lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan ke negeri Belanda. Lebih dari ratusan bahkan kalau diperkirakan termasuk yang belum diketahui oleh pimpinan Belanda hampir mencapai ribuan orang Belanda juga gemar korup.

Dalam buku History of Java karya Thomas Stanford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), terbit pertama tahun 1816 mendapat sambutan yang "luar biasa" baik di
kalangan bangsawan lokal atau pribumi Jawa maupun bangsa Barat. Buku tersebut sangat luas memaparkan aspek budaya meliputi situasi geografi, nama-nama daerah, pelabuhan, gunung, sungai, danau, iklim, kandungan mineral, flora dan fauna, karakter dan komposisi penduduk, pengaruh budaya asing dan lain-lain.

Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat "nrimo" atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui.

Hal rnenarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis. Dalam kalangan elit kerajaan, raja lebih suka disanjung, dihorrnati, dihargai dan tidak suka menerima kritik dan saran. Kritik dan saran yang disarnpaikan di muka umum lebih dipandang sebagai tantangan atau perlawanan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu budaya kekuasaan di Nusantara (khususnya Jawa) cenderung otoriter. Daiam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya "dibiarkan" miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak "penguasa".

Budaya yang sangat tertutup dan penuh "keculasan" itu turut menyuburkan "budaya korupsi" di Nusantara. Tidak jarang abdi dalem juga melakukan "korup" dalam mengambil "upeti" (pajak) dari rakyat yang akan diserahkan kepada Demang (Lurah) selanjutnya oleh Demang akan diserahkan kepada Turnenggung. Abdidalem di Katemenggungan setingkat kabupaten atau propinsi juga mengkorup (walaupun sedikit) harta yang akan diserahkan kepada Raja atau Sultan.

Alasan mereka dapat mengkorup, karena satuan hitung belum ada yang standar, di samping rincian barang-barang yang pantas dikenai pajak juga masih kabur. Sebagai contoh, upeti dikenakan untuk hasil-hasil pertanian seperti Kelapa, Padi, dn Kopi. Namun ukuran dan standar upeti di beberapa daerah juga berbeda-beda baik satuan barang, volume dan beratnya, apalagi harganya. Beberapa alasan itulah yang mendorong atau menye-babkan para pengumpul pajak cenderung berperilaku "memaksa" rakyat kecil, di pihak lain menambah "beban" kewajiban rakyat terhadap jenis atau volume komoditi yang harus diserahkan.

Kebiasaan mengambil "upeti" dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825 -1830), Imam Bonjol (1821 - 1837), Aceh (1873 - 1904) dan lain-lain. Namun, yang lebih menyedihkan lagi yaitu penindasan atas penduduk pribumi (rakyat Indonesia yang terjajah) juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Sebut saja misalnya kasus penyelewengan pada pelaksanaan Sistem "Cuituur Stelsel (CS)" yang secara harfiah berarti Sistem Pembudayaan. Walaupun tujuan utama sistem itu adalah membudayakan tanaman produktif di masyarakat agar hasilnya mampu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memberi kontribusi ke kas Belanda, namun kenyataannya justru sangat memprihatinkan.

Isi peraturan (teori atau bunyi hukumnya) dalam CS sebenarnya sangat "manusiawi" dan sangat "beradab", namun pelaksanaan atau praktiknyalah yang sangat tidak manusiawi, mirip Dwang Stelsel (DS), yang artinya "Sistem Pemaksaan". Itu sebabnya mengapa sebagian besar pengajar, guru atau dosen sejarah di Indonesia mengganti sebutan CS menjadi DS. mengganti ungkapan "Sistem Pembudayaan" menjadi "Tanam Paksa".

Seperti apakah bentuk-bentuk pelang-garan CS tersebut? Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Penduduk diwajibkan menanam 1/5 dari tanah miliknya dengan tanaman yang laku dijual di pasar internasional (Kopi, Tembakau, Cengkeh, Kina, Tebu dan boleh juga Padi, bukan seperti sebelumnya yang lebih suka ditanam penduduk yaitu pete, jengkol, sayur-sayuran, padi dan lain-lain). Namun praktiknya ada yang dipaksa oleh "Belanda Item" (orang Indonesia yang bekerja untuk Belanda) menjdi 2/5, 4/5 dan ada yang seluruh lahan ditanami dengan tanaman kesukaan Belanda.
2. Tanah yang ditanami tersebut (1/5) tidak dipungut pajak, namun dalam praktiknya penduduk tetap diwajibkan membayar (meskipun yang sering meng-korup belum tentu Belanda)
3. Penduduk yang tidak rnempunyai tanah diwajibkan bekerja di perkebunan atau perusahaan Belanda selama umur padi (3,5 bulan). Namun, praktiknya ada yang sampai 1 tahun, 5 tahun, 10 tahun dan bahkan ada yang sampai mati. Jika ada yang tertangkap karena berani melarikan diri maka akan mendapat hukuman cambuk (poenali sanksi).
4. Jika panen gagal akibat bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi) maka segala kerugian akan ditanggung pemerintah. Namun praktik di lapangan, penduduk tetap menanggung beban itu yang diperhitungkan pada tahun berikutnya.
5. Jika terjadi kelebihan hasil produksi (over product) dan melebihi kuota, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada penduduk. Namun praktiknya dimakan oleh "Belanda Item" atau para pengumpul.
6. Pelaksanaan CS akan diawasi langsung oleh Belanda. Namun pelaksanaannya justru lebih banyak dilakukan oleh "Belanda Item" yang karakternya kadang-kadang jauh lebih kejam, bengis dan tidak
mengenal kornpromi.

Era Pasca Kemerdekaan

Bagaimana sejarah "budaya korupsi" khususnya bisa dijelaskan? Sebenarnya "Budaya korupsi" yang sudah mendarah daging sejak awal sejarah Indonesia dimulai seperti telah diuraikan di muka, rupanya kambuh lagi di Era Pasca Kemerdekaan Indonesia, baik di Era Orde Lama maupun di Era Orde Baru.

Titik tekan dalam persoalan korupsi sebenarnya adalah masyarakat masih belum melihat kesungguhan pemerintah dalam upaya memberantas korupsi. Ibarat penyakit, sebenarnya sudah ditemukan penyebabnya, namun obat mujarab untuk penyembuhan belum bisa ditemukan.

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan Pemberantasan Korupsi
- Paran dan Operasi Budhi - namun ternyata pemerintah pada waktu itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan - istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di balik Presiden. Di sisi lain, karena pergolakan di daerah-daerah sedang memanas sehingga tugas Paran akhirnya diserahkan kembali kepada pemerintah (Kabinet Juanda).

Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.

Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah "Operasi Budhi". Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya, untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, "prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain".

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya "macan ompong" karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya "korupsi" lebih banyak dilakukan oleh kalangan elit pemerintahan,
maka pada Era Reformasi hampir seluruh elemen penyelenggara negara sudah terjangkit "Virus Korupsi" yang sangat ganas. Di era pemerintahan Orde Baru, korupsi sudah membudaya sekali, kebenarannya tidak terbantahkan. Orde Baru yang bertujuan meluruskan dan melakukan koreksi total terhadap ORLA serta melaksanakan Pancasila dan DUD 1945 secara murni dan konsekwen, namun yang terjadi justru Orde Baru lama-lama rnenjadi Orde Lama juga dan Pancasila maupun UUD 1945 belum pernah diamalkan secara murni, kecuali secara "konkesuen" alias "kelamaan".

Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN berikut pembentukan berbagai komisi atau badan
baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya. pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi dihentikan dengan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata
wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era Reformasi.

Pelajaran apa yang bisa ditarik dari uraian ini? Ternyata upaya untuk memberantas korupsi tidak semudah memba-likkan tangan. Korupsi bukan hanya menghambat proses pembangunan negara ke arah yang lebih baik, yaitu peningkatan kesejahteraan serta pengentasan kemiskinan rakyat. Ketidakberdayaan hukum di hadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elit pemerintahan rnenjadi faktor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia. Semua itu karena hukum tidak sama dengan keadilan, hukum datang dari otak manusia penguasa, sedangkan keadilan datang dari hati sanubari rakyat. (amanahonline)

KORUPSI MAKIN MARAK di ERA REFORMASI

Sudah delapan tahun lamanya kita meninggalkan masa Orde Baru dan memilih untuk melakukan reformasi di semua bidang, termasuk dalam hal pemberantasan praktek korupsi kolusi dan nepotisme. Seberapa banyak korupsi di Indonesia sekarang dibandingkan masa Orde Baru menurut kacamata masyarakat?. Praktek pemberantasannya sudah sungguh-sungguh?

Kamis 14 Desember 2006, Litbang Media Group kembali melakukan pengumpulan pendapat umum melalui telepon kepada masyarakat di enam kota besar di Indonesia, yaitu Makassar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Medan. Survei ini mencakup 477 responden dewasa yang dipilih secara acak dari buku petunjuk telepon residensial di kota-kota tersebut. Hasil survei ini tidak dimaksudkan mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia, namun hanya masyarakat pemilik telepon residensial di kota-kota tersebut. Margin of error survei ini plus minus 4,6% pada tingkat kepercayaan 95%.

Bagaimana praktek korupsi di Indonesia sekarang dibandingkan satu tahun yang lalu, semakin banyak atau semakin sedikit? (%)
Sumber:Survei Litbang Media Group, 14 Des 2006


GRAFIK 1: Pertama-tama, survei menanyakan pendapat masyarakat, bagaimana praktek korupsi di Indonesia sekarang dibandingkan satu tahun yang lalu, apakah semakin banyak atau semakin sedikit?. Hasilnya, ternyata mayoritas menjawab semakin banyak 57%. Yang menjawab semakin sedikit yaitu 23%.

Bagaimana praktek korupsi di Indonesia sekarang dibandingkan masa Orde Baru delapan tahun yang lalu, semakin banyak atau semakin sedikit? (%)
Sumber:Survei Litbang Media Group, 14 Des 2006


GRAFIK 2: Selanjutnya, survei menanyakan penilaian responden, bagaimana praktek korupsi di Indonesia sekarang dibandingkan masa Orde Baru delapan tahun yang lalu, apakah semakin banyak atau semakin sedikit?. Hasilnya, ternyata terbesar menjawab semakin banyak sekitar separuh 46%. Yang menjawab sebaliknya, semakin sedikit ada 31%.

Setuju atau tidak setuju bahwa pemberantasan korupsi sekarang tebang pilih? (%)
Sumber:Survei Litbang Media Group, 14 Des 2006



GRAFIK 3 : Survei Litbang Media Group ini juga menanyakan pendapat responden, apakah setuju pemberantasan korupsi di Indonesia sekarang cenderung tebang pilih. Beberapa orang diseret ke pengadilan. Sementara beberapa lainnya bisa lepas dari jeratan hukum karena mendapat perlindungan politik dari pihak tertentu. Hasil survei menunjukkan, mayoritas 72% menjawab setuju pemberantasan korupsi sekarang tebang pilih. Hanya 21% yang menjawab tidak setuju.

KESIMPULAN.


Hasil survei melalui telepon ini menunjukkan, meski kita sudah di alam reformasi, justeru praktek korupsi dinilai makin menjadi-jadi. Dibandingkan tahun lalu maupun dibandingkan masa Orde Baru delapan tahun lalu. Selain itu, masyarakat menilai pemberantasan korupsi sekarang ini masih belum serius karena masih cenderung tebang pilih

Pemimpin menikmati kekuasaannya —(2)

Tabel Pemasukan Keluarga Suharto:


Kekayaan anak-anak suharto; yang dinikmati selama kekuasaan Presiden Suharto:


Tutut (50 tahun)

Anak perempuan tertua Soeharto ini berumur 50 tahun. Bidang usahanya berada dalam satu group usaha “Citra Lamtoro Gung” dengan lebih dari 90 perusahaan, dengan beragam jenis usaha mulai dari telekomunikasi sampai infrastruktur. Termasuk didalamnya jalan tol di Indonesia dan Filipina.
Kekayaan yang lain adalah rumah dengan 12 kamar tidur seharga $ 1 juta dengan kelengkapan lapangan tenis dan kolam renang air hangat berlokasi dekat kota Boston. Ada juga rumah di kota London berlokasi dekat dengan kawasan elit Hyde Park.
Tutut terakhir terlihat di depan publik pada waktu meminta kenaikan tarif jalan tol kepada DPR.
Gaya hidup: Mempunyai ambisi politik. Pada kabinet terakhir Suharto, dia terpilih sebagai menteri sosial. Memulai bisnis pada usia 25 tahun, ketika “paman” Liem Sioe Liong memberinya 14% saham bank BCA (Bank swasta terbesar). Tutut mengadopsi anak dari Ari Sigit (keponakannya) diluar perkawinan.. Seorang kawan keluarga yang bepergian ke San Francisco bercerita dengan antusias : “Dia memberi saya tiket untuk pulang ke Jakarta. Saya masih ingat bau kulit dari tempat duduknya dan parfum mahal Armani di kamar mandinya”!

Bambang Tri (45 tahun)

Menguasai 38% kepemilikan saham dari Bimantara Citra, salah satu perusahaan konglomerat terbesar dengan 27 anak perusahaan dan kepemilikan di semua jenis usaha mulai dari minyak dan gas sampai hotel, telekomunikasi, dan makanan hewan.
Kekayaan yang lain adalah apartemen seharga $ 8,2 juta, perumahan di Los Angeles seharga $ 12 juta. Seorang pengunjung bercerita bahwa perumahan tersebut terdiri dari: dua buah rumah, dua buah kolam renang, lapangan tenis dan lapangan basket. Desain interior di rumah peristirahatan tersebut sangat memamerkan kekayaan (mewah), lebih buruk lagi sofanya dilapis dengan kain ala kulit macan.
Bambang terakhir terlihat di suatu tempat dekat Los Angeles.
Gaya hidup: Ia men-transfer uang kas ke luar negri dan membeli saham-saham di pasar modal international selama beberapa tahun. Tahun 1997, ia mengadakan kunjungan ke suatu pulau, Curaao (daerah dibawah kontrol negeri Belanda) untuk menyimpan uang di suatu cabang bank internasional. Seorang kawan bercerita, Bambang memperhatikan orang-orang yang memerlukan bantuan, tetapi sesuatu terjadi dalam perjalanan menuju ke Bank tersebut. “Saya rasa semua orang disekitarnya menjadi kaya dan dia merasa tertinggal”.

Tommy (36 tahun)

Memiliki 60% kepemilikan Humpuss Group yang memiliki lebih dari 60 anak perusahaan dalam industri yang beragam mulai dari konstruksi sampai perusahaan farmasi.
Kekayaan lain adalah kebun di Selandia Baru, lapangan golf 18 lubang yang sebagian dia miliki di Ascot, Inggeris. Bermain golf di tempat itu 2 kali setahun dan bangga sekali dengan handikap 12-nya.
Tommy terakhir terlihat di pengadilan negeri Jakarta, dimana dia adalah satu-satunya anak Suharto yang diadili.
Gaya hidup: Tommy mengkoleksi mobil balap (suatu kali disponsori oleh Marlboro). Seperti kakaknya Sigit, Tommy suka berjudi, tidak berpikir apa-apa walau kalah $1 juta dalam sekali permainan. Seorang teman berjudi bercerita bahwa Tommy pernah pergi berjudi ke kasino-kasino di Eropa menggunakan jet pribadinya dengan membawa uang jutaan dolar. Dalam perjalanan pulang ia mampir di Singapura guna menyimpan (deposit) sisa uangnya.. Tommy mencintai uang dan selalu menginginkannya melebihi segalanya. Seorang teman keluarga bercerita bahwa ia mirip ayahnya, dia sangat sopan dan kalem.
Sigit (48 tahun)


Memiliki 40% saham di perusahaan adiknya (Humpuss Group) dan partner tidur (tanpa setor modal) di ratusan perusahaan.
Kekayaan lainnya adalah 2 buah rumah di London seharga masing-masing $ 12 juta. Selain itu ada juga rumah di dekat Jenewa (Swiss) dan di Los Angeles.
Terakhir terlihat pada saat acara keluarga di daerah Menteng.
Gaya hidup: Sigit adalah penjudi yang serius. Seringkali berjudi rolet dan bakarat di kasino-kasino favoritnya, yaitu The Ritz London, Atlantic City dan Perth. Seorang partner bisnis bercerita, ia mengadu untung sebanyak $ 3 juta semalam. Dalam karirnya ia pernah kalah sebanyak $ 150 juta. Setelah Sigit mengalami kekalahan yang hebat di Las Vegas pada akhir tahun 1980-an ayahnya melarangnya untuk berjudi di luar negeri. Bandar judi di Jakarta kemudian mengorganisir judi bakarat melalui TV kabel. Dalam permainan ini, menurut seorang kawan, Sigit mengalami kekalahan sampai $ 20 juta, “Mereka hanya menciptakan kekalahan untuk Sigit”.

Mamiek (34 tahun)

Kepemilikan di perusahaan saudara-saudaranya ditambah dengan usaha di bidang buah-buahan, transportasi dan telekomunikasi.
Pada tahun 1995, Perusahaan miliknya Manggala Krida Yudha, ditunjuk untuk melaksanakan proyek bernilai $ 500 juta untuk reklamasi pantai di Jakarta Utara. Kemudian dia men-subkontrak proyek tersebut kepada perusahaan Hyundai (Korea) senilai $100 juta. Tapi proyek tersebut di batalkan pemerintah dalam usaha memberantas korupsi.
Kekayaan lainnya adalah, 264 hektar kebun buah di Jawa Barat.
Terakhir terlihat : di kediamannya.
Gaya hidup: Mamiek adalah seorang yang low profile, perokok berat. Terjun ke dunia bisnis cukup terlambat untuk dapat mengumpulkan banyak uang. Ia dikenal secara luas sebagai pemilik kebun buah “Mekar Sari” yang berlokasi di dekat Bogor, dibuat pada tahun 1995 guna mempromosikan riset mengenai botani.
Seorang kawan bercerita, suatu ketika ia menawarkan bisnis kepada Mamiek untuk bekerja sama. Seminggu kemudian Mamiek kembali kepada kawannya dan berkata bahwa ia (Mamiek) tidak bisa mengerjakan bisnis tersebut karena ayahnya (Soeharto) telah memberikan bisnis tersebut kepada kakaknya Tommy.

Titiek (40 tahun)

Kepemilikannya diantaranya pada perusahaan jasa keuangan, pembangkit listrik, bank dan properti.
Kekayaan lainnya adalah rumah di salah satu kawasan paling elit, Grosvenor Square.
Terakhir terlihat di Boston, dimana anak lelakinya bersekolah (SMA). Suaminya Letnan Jendral Prabowo Subianto sekarang berada di Jordan memimpin bisnis milik Hashim di negara tersebut, di mana Prabowo adalah juga teman dekat dari Raja Jordan yang baru (King Abdullah).
Gaya hidup: Titiek adalah seorang perokok berat, membenci anjing. Di Jakarta dia tidur lain kamar dengan suaminya (suaminya ditemani oleh anjing alsatian-nya). Kesukaan lain dari Titiek adalah mengkoleksi barang-barang bermerek “Harry Winston”, “Bulgari” dan “Cartier”. Seseorang yang menemaninya dalam perjalanan ke Swiss dan Inggeris bercerita bahwa Titiek adalah seorang yang gemar akan berlian.
Sebagai bekas komisaris dari Yayasan Seni Indonesia (Indonesian Fine Arts Foundation), Titiek memiliki benda seni pribadi senilai lebih dari $ 5 juta. Pada tahun 1994, pada pesta pembukaan restoran dan kafe “Planet Hollywood”, Titiek berkesempatan berdansa semalaman dengan Steven Seagal”.



Pemimpin menikmati kekuasaannya —(1)

Para Kata:
Sekedar Introfeksi bangsa saya mencoba mengingatkan kembali tingkah laku para pemimpin bangsa ini.
Saya selalu bertanya didalam hati kenapa begitu parahnya dan rakusnya para penguasa bangsa ini,apakah karena pengaruh para isterinya yang serakah atau ingin menikmati kalau menjadi Raja, atau tidak tahan menghadapi godaan kemilaunya harta karun republik ini, sehingga membuatnya kemaruk dengan kekuasaan. saya mencoba memulai dari masa kepemimpinan Suharto, karena masa kepemimpimam Sukarno hampir boleh dikatan perhatiannya terhadap republik dan bangsa Indonesia tidak diragukan, masa kepemimpinan beliau hingga akhir hayatnya beliau hampir boleh dikatakan tidak punya apa-apa, selain Isteri dan anak-anaknya dengan kehidupan seadanya.

SUHARTO INC. : KERAJAAN KELUARGA

LAPORAN MAJALAH TIME – 24 MEI 1999 ; MENGENAI HARTA JARAHAN KELUARGA SUHARTO

Penyelidikan TIME ke dalam kekayaan keluarga Suharto dan anak-anaknya menemukan harta jarahan sebesar $ 15 milyar dalam bentuk uang tunai, properti, barang-barang seni, perhiasan dan pesawat-pesawat jet pribadi
Oleh: JOHN COLMEY dan DAVID LIEBHOLD Jakarta

PERUSAHAAN KELUARGA
Ketika tiba masa akhir Suharto, presiden Indonesia terlama, ia hanya nampak pasif. Sementara para mahasiwa dan massa rakyat yang marah turun ke jalan-jalan, dan disambut dengan tembakan dan gas air mata; jendral berbintang lima itu mundur ke belakang sambil mencoba menata segala sesuatunya dengan baik. Ketika ia akhirnya turun tahun lalu, ia hanya berdiri menyingkir ke sebelah, sementara B.J Habibie mulai diambil sumpahnya. Setelah itu Suharto jarang kedengaran lagi.
Tetapi nyatanya Suharto jauh lebih sibuk dari yang disadari oleh banyak orang. Sesaat setelah Soeharto jatuh dari kekuasaan, telah tercium adanya usaha-usaha untuk menyelamatkan harta pribadinya. Di bulan JulI 1998, serangkaian laporan mengindikasikan bahwa uang dalam jumlah luar biasa yang berhubungan dengan Indonesia telah dipindahkan dari sebuah Bank di Switzerland ke Bank lain di Austria, yang dipertimbangkan sebagai tempat berlindung yang lebih aman untuk deposito-deposito rahasia. Pemindahan tersebut memperoleh perhatian dari kementerian keuangan Amerika, yang mengikutinya secara seksama, dan menggerakkan penyelidikan-penyelidikan diplomatik di Wina. Sekarang, sebagai bagian dari penelitian empat bulan yang meliputi 11 negara, TIME telah menemukan bahwa $ 9 milyar dari uang Soeharto dipindahkan dari Switzerland ke sebuah account Bank di Austria. Nilai yang tidak jelek untuk seseorang yang gaji kepresidenannya sebesar $ 1.764 per bulan.
Jumlah milyaran ini hanyalah sebagian dari kekayaan Soeharto. Meski pun krisis keuangan Asia telah memotong kerajaan keluarga secara signifikan, bekas presiden ini dan anak-anaknya masih menguasai kekayaan luar biasa. Kerajaan ini dibangun dalam waktu lebih dari tiga dekade yang mencakup perusahaan-perusahaan dari skala kecil hingga besar. Menurut data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan majalah properti Indonesia, keluarga Soeharto baik yang dimiliki sendiri maupun melalui perusahaan-perusahaannya, mengontrol 3,6 juta hektar real estate di Indonesia, sebuah area yang lebih besar dari Belgia. Luas ini mencakup 100.000 meter persegi ruangan kantor di Jakarta dan hampir 40 persen dari luas seluruh propinsi Timor Timur.
Di Indonesia, enam anak Soeharto memiliki saham dalam jumlah signifikan sekurang-kurangnya di 564 perusahaan, dan kekayaan luar negeri mereka mencakup ratusan perusahaan-perusahaan lainnya, tersebar dari Amerika ke Uzbekistan, Belanda, Nigeria dan Vanuatu. Keluarga Soeharto juga memiliki sejumlah besar hiasan-hiasan berharga. Selain itu, sebuah ranch untuk berburu seharga $ 4 juta di Selandia Baru and memiliki setengah dari kapal pesiar (yatch) seharga $ 4 juta yang ditambatkan di luar Darwin, Australia. Hutomo Mandala Putra (nama kecilnya Tommy) putra terkecil, mempunyai 75 persen saham di sebuah lapangan golf 18 lubang dengan 22 apartemen mewahnya di Ascot, Inggris. Bambang Trihatmojo, putra kedua Soeharto, memiliki sebuah penthouse seharga $ 8 juta di Singapura dan sebuah rumah besar seharga $ 12 juta di sebuah lingkungan esklusif di Los Angeles, letaknya dua rumah dari rumah bintang rock Rod Steward dan hanya beda satu jalan dari rumah saudaranya Sigit Harjoyudanto yang bernilai $ 9 juta. Putri tertua, Siti hardiyanti Rukmana, mungkin telah menjual Boeing 747-200 jumbo jetnya, tetapi armada kapal terbang keluarga Soeharto masih mencakup, sekurang-kurangnya sampai saat ini, sebuah DC-10, sebuah Boeing 737 biru dan merah, sebuah Canadian Challenger 601 dan sebuah BAC-111. Yang terakhir pernah dipunyai oleh the Royal Squadron of Britain’s Queen Elizabeth II, menurut Dudi Sudibyo, managing editor dari Angkasa, majalah terbitan Indonesia.
Setelah melakukan ratusan wawancara dengan teman-teman Soeharto, baik yang dahulu mau pun sekarang, pegawai pemerintah, kalangan bisnis, ahli-ahli hukum, akuntan-akuntan, bankir-bankir dan keluarga mereka, serta meneliti berlusin-lusin dokumen (termasuk catatan-catatan Bank tentang pinjaman luar negeri terbesar), para koresponden TIME menemukan indikasi bahwa sekurang-kurangnya $ 73 milyar melewati tangan-tangan keluarga Soeharto antara tahun 1996 hingga tahun lalu. Sebagian besar berasal dari pertambangan, perkayuan, komoditi-komoditi dan industri-industri perminyakan. Investasi-investasi buruk dan krisis keuangan di Indonesia telah menurunkan jumlah kekayaan tersebut. Tetapi bukti mengindikasikan bahwa Soeharto dan enam anaknya tetap memiliki kekayaan $ 15 milyar tunai, saham.saham, modal-modal perusahaan, real estate, perhiasan dan benda-benda seni -termasuk karya-karya Affandi dan Basoeki Abdullah dalam koleksi Siti Hediati Hariyadi, putri tengah yang dikenal sebagai “Titiek”.
Soeharto membuat fondasi untuk kekayaan keluarganya dengan menciptakan sistem patron yang berskala nasional yang mempertahankannya dalam kekuasaan selama 32 tahun. Anak-anaknya, pada gilirannya, memfungsikan kedekatan dengan Presiden kedalam peranan calo (perantara) untuk pembelian dan penjualan dari produk-produk minyak, plastik, senjata, bagian-bagian pesawat terbang dan petrokimia yang dimiliki pemerintah. Mereka memegang monopoli pada distribusi dan import komoditi-komoditi utama. Mereka mendapatkan pinjaman dengan bunga rendah melalui kerjasama dengan bankir-bankir, yang seringkali takut untuk menanyakan pembayaran kembali. Subarjo Joyosumarto, managing director Bank Indonesia menyatakan bahwa selama pemerintahan Soeharto, “ada sebuah situasi yang membuat sukar bagi Bank-Bank negara untuk menolak mereka.”
Sekarang, dengan setengah penduduk dibawah garis kemiskinan sebagai hasil dari krisis keuangan, tidak ada keraguan bahwa keluarga Soeharto menumbuhkan kekayaan diatas penderitaan rakyat. Seorang bekas kolega bisnis anak-anak Soeharto memperkirakan bahwa mereka tidak membayar pajak antara $ 2,5 milyar dan $ 10 milyar pada komisi saja. “Sangat mungkin tidak ada perusahaan-perusahaan Soeharto telah membayar 10 persen dari kewajiban pajak yang sebenarnya”, kata Teten Masduki, seorang anggota eksekutif Indonesian Corruption Watch, sebuah NGOs. “Dapatkah dibayangkan berapa besar pendapatan yang telah hilang?”
Kebanyakan orang Indonesia juga menyalahkan Suharto karena menciptakan iklim korupsi yang mempengaruhi seluruh perekonomian Indonesia. Bank Dunia memperkirakan bahwa sampai sebanyak 30% anggaran pembangunan di Indonesia selama dua dekade telah menguap karena korupsi yang meluas di lingkungan pegawai negeri dari atas sampai ke bawah. “Kalau anda tidak membayar suap, orang akan menganggap anda aneh”, kata Edwin Soeryadjaya, Direktur perusahaan patungan telekomunikasi Indonesia-Amerika. “Sungguh sedih. Saya sampai tidak bisa bilang bahwa saya bangga menjadi orang Indonesia. Ini adalah satu dari negara paling korup di dunia”.
HARAPAN YANG BESAR
Bagaimana perusahaan keluarga Suharto mendapatkan kekayaan dan kekuatannya; dan memperpanjang impian jutaan orang Indonesia lainnya? Ketika Suharto menjadi Presiden pada tahun 1967, gabungan yang unik antara kekuatan dan kepintaran politik orang Jawa telah terwujud. Penyingkiran kehidupan presiden Sukarno, nasionalis pendiri negara, terlaksana selama dua tahun dengan disertai pembersihan anti-komunis yang memakan korban sebanyak lebih dari 500.000 orang. Namun Suharto, seorang jenderal yang tidak dikenal dari sebuah desa di pelosok Jawa Tengah, mengawalinya dari sebuah kehidupan yang tampaknya sederhana. Ia dan istrinya Siti Hartinah (Ibu Tien) pada awalnya hidup di rumah peristirahatan yang sederhana di daerah Menteng, Jakarta dan biasa mengendarai Ford Galaxy. Hal inilah yang menandai perbedaan yang kontras antara dia dengan Sukarno, yang dengan gaya hidup bak seorang raja, dengan istana megah kepresidenannya dan istri ketiganya yang glamour Dewi, yang sebelumnya sebagai penyanyi Jepang di night club Cobacabana di Tokyo. Akan tetapi di balik topengnya, sesungguhnya Suharto telah menunjukkan awal kesukaannya untuk menghasilkan uang.
Di tahun 1950an, ia diduga terlibat dengan sengaja dalam penyelundupan gula dan kegiatan extra-militer lainnya di Jawa Tengah, yang menyebabkannya kehilangan kedudukan sebagai panglima KODAM Diponegoro ketika terjadi gerakan anti korupsi di tahun 1959. Dalam otobiografinya, Suharto menegaskan bahwa ia menukar gula untuk mendapatkan beras, dalam upaya mengatasi kekurangan pangan lokal dan secara pribadi ia tidak mendapatkan keuntungan darinya. Pada akhirnya, pihak militer memindahkan Suharto ke posisi yang tidak memiliki pengaruh kuat yaitu di sekolah staf angkatan bersenjata di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1966, bisnis keluarga Suharto mulai terbentuk. Ketika menjadi pejabat Presiden, Suharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah no. 8 untuk merampas dua konglomerasi yang dikuasai Sukarno yang memiliki aset sebanyak $ 2 milyar. Konglomerasi tersebut kemudian menjadi PT Pilot Project Berdikari, di mana Suharto menempatkan pengelolaannya di bawah Achmad Tirtosudiro, seorang pensiunan jenderal yang pada saat ini mengetuai sebuah organisasi muslim yang kuat yang didirikan oleh Presiden Habibie. Perusahaan ini menjadi salah satu jantung utama kerajaan bisnis Suharto.
Keberuntungan presiden mulai melambung bersama-sama dengan beberapa teman dekatnya, yang paling terkenal adalah Liem Sioe Liong dan The Kian Seng, yang lebih dikenal sebagai Mohammad “Bob” Hasan. Di akhir tahun 1969, Suharto memberikan sebagian monopoli — yang pada akhirnya menjadi monopoli penuh — pada barang-barang impor, pabrik penggilingan dan distribusi gandum dan tepung pada PT Bogasari Flour Mills, yang dikuasai oleh Kelompok Salim milik Liem. Bertahun-tahun Liem dikenal sebagai Oom Liem pada keluarga Suharto dan Hasan menjadi orang terpercaya Suharto dari luar kalangan keluarga, yang pada akhirnya memperluas kerajaan bisnisnya sendiri dengan cepat.
Dasar keberuntungan Suharto adalah yayasan kepresidenan. Lusinan yayasan telah didirikan seolah-olah sebagai yayasan amal, dan yang membiayai sejumlah besar rumah sakit, sekolah, dan mesjid. Tetapi yayasan-yayasan tersebut juga merupakan dana raksasa yang tidak resmi untuk investasi proyek-proyek Suharto dan kroninya, maupun untuk mesin politik presiden, yaitu Golkar. Menurut George Aditjondro, pengajar Sosiologi di Universitas Newcastle, Australia, terdapat sekitar 79 yayasan yang dikuasai oleh Suharto, istrinya (meninggal tahun 1996), saudara-saudara istrinya dari desa, sepupunya dan saudara tirinya, enam anaknya, keluarga dan orang tua pasangan anak-anak tersebut, orang-orang militer yang dipercaya, dan teman-teman dekat lainnya seperti Habibie, Hasan dan Liem.
“Yayasan-yayasan tersebut membeli berbagai saham, mendirikan berbagai perusahaan, meminjamkan uang kepada para pengusaha,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara yang pada akhir tahun lalu mencoba membentuk komisi independen terhadap kekayaan Suharto. Yayasan menerima “sumbangan”, yang seringkali tidak dalam bentuk sukarela. Diawali di tahun 1978, seluruh Bank milik pemerintah diminta memberikan 2,5 persen keuntungannya untuk Yayasan Dharmais dan Yayasan Supersemar, demikian menurut Jaksa Agung terdahulu Soedjono Atmonegoro. Keppres no. 92 tahun 1996 memerintahkan bahwa setiap pembayar pajak dan perusahaan yang berpenghasilan $ 40.000 setahun, diharuskan menyumbang 2 % pendapatannya untuk Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, yang dibentuk untuk mendukung program pemberantasan kemiskinan (perintah ini kemudian ditiadakan pada bulan Juli 1998). Saat ini, pegawai negeri dan anggota militer menyumbang sebagian penghasilan mereka setiap bulannya kepada Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, yang digunakan Suharto untuk memenangkan dukungan bagi kalangan umat Islam. Sementara “sumbangan” tersebut menjadi bagian besar dari penghasilan yayasan, masih terdapat sumber-sumber keuangan lainnya. Di tahun 1978, Yayasan Suharto menguasai 60% saham Bank Duta — sebuah Bank swasta terkemuka, kata seorang bekas pejabat Bank Duta. Saham tersebut bertambah secara perlahan menjadi 87 %. Kemudian yayasan-yayasan tersebut menginvestasikannya ke dalam berbagai perusahaan swasta yang didirikan anggota keluarga Suharto dan kroninya. Setelahnya, dengan pertolongan menteri-menteri atau perusahaan milik negara, perusahaan-perusahaan tersebut akan mendapatkan sebuah kontrak atau sebuah monopoli.
Sejak jatuhnya Suharto, yayasan-yayasan tersebut telah menjadi target utama para penyelidik Indonesia. Segera setelah pengunduran Suharto, Jaksa Agung Soedjono menyelidiki pembukuan empat yayasan terbesarnya. Apa yang ditemukannya sungguh mengejutkan. “Yayasan-yayasan tersebut didirikan untuk menyalurkan layanan sosial”, ia mengatakan, “tetapi Suharto menyalurkan uangnya ke anak-anak dan teman-temannya.”. Soedjono menemukan bahwa salah satu yayasan yang terbesar, Supersemar, telah menyebarkan 84 % dananya pada sasaran yang tidak diketahui, termasuk pinjaman kepada perusahaan milik anak-anak dan teman-temannya. Suharto, sebagai pimpinan, harus menandatangani cek diatas $ 50.000. Sodjono menyampaikan laporan pendahuluan atas temuannya kepada Presiden Habibie Juni lalu. Ia dipecat lima jam kemudian. (Presiden berkata Soedjono dipecat karena ia melewati garis komando untuk masuk masalah yang lain.)


MINYAK DAN TANAH


Dalam dasawarsa pertama masa kekuasaannya, Suharto melalui Ibnu Sutowo menjadikan Pertamina seakan-akan milik pribadinya. Ketika Ibnu Sutowo dipecat di tahun 1976, tidaklah jelas apa sebabnya, apakah karena salah mengelola perusahaan atau karena memiliki ambisi politik yang kelewat besar. Saat ini, di usianya yang ke 84, Ibnu Sutowo menceritakan kepada TIME mengenai hal tersebut. Menurutnya, tahun 1976 Suharto menyuruhnya mendirikan perusahaan untuk mengangkut minyak mentah Indonesia ke Jepang. “Suharto bilang, saya ingin kamu menarik $ 10 sen untuk setiap barrel yang terjual oleh perusahaan baru itu.” Ibnu Sutowo ingat saat itu. “Ketika saya mengatakan tidak, ia kelihatannya kaget”.
Setelah Ibnu Sutowo dipecat, Pertamina melakukan ekspor dan impor minyak di pertengahan tahun 80-an melalui Perta Oil Marketing dan Permindo Oil Trading, dua perusahaan di mana Tommy dan Bambang memiki saham. Menurut seorang pejabat senior di pemerintahan Habibie, dua perusahaan tersebut menerima komisi sekitar $ 30-35 sen per barrel. Di tahun fiskal pertama tahun 1997-1998, kedua perusahaan itu menjual rata-rata 500.000 barrel per hari, dengan komisi lebih dari $ 50 juta per tahun. Menurut Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi: “Pertamina sebenarnya bisa mengekspor langsung. Dua perusahaan itu sebenarnya tidak dibutuhkan”.
Selanjutnya, seorang mantan mitra bisnis Tommy dan Bambang mengatakan bahwa ‘mark up’ tidak resmi dalam ekspor dan impor minyak telah memberikan dua perusahaan itu sekitar $ 200 juta per tahun selama tahun 1980-an ketika harga minyak bumi tinggi, dan sekitar separuhnya di tahun 1990an. Keluarga Suharto juga mendapatkan kontrak-kontrak Pertamina untuk asuransi, keamanan, suplai makanan dan jasa-jasa lainnya –170 kontrak secara keseluruhan. Tahun lalu, ketika Suharto jatuh, Pertamina membatalkan banyak kontrak-kontrak tersebut dan mengumumkan bahwa Pertamina berhasil menghemat $ 99 juta per tahun karenanya. Seorang mantan mitra bisnis keluarga Suharto mengatakan: “Mereka memerah Pertamina seperti layaknya sapi”.
Salah satu penghasil uang utama bagi Suharto adalah PT. Nusantara Ampera Bakti, atau Nusamba, didirikan tahun 1981 oleh tiga yayasan Suharto dengan modal $ 1,5 juta bersama Bob Hasan dan Sigit Suharto (masing-masing memperoleh saham 10%). Perusahaan ini menjadi jaringan besar dengan lebih dari 30 anak perusahaan di bidang keuangan, energi, pulp dan kertas, baja dan otomotif. Jantung Nusamba adalah saham sebesar 4,7 % pada Freeport Indonesia, sebuah perusahaan AS yang merupakan penambang emas terbesar di dunia dengan kegiatan di Papua Barat. Tahun 1992 tiga yayasan itu memindahkan 80% sahamnya ke Bob Hasan, meskipun tidak jelas berapa banyak yang ia bayar untuk itu. Sampai kini, penyelidik dari pemerintah tidak pernah memeriksa keuangan Nusamba. OC Kaligis, ketua penasehat hukum Suharto mengatakan: “Bila ingin tahu tentang Nusamba, tanya Bob Hasan. Dalam penyelidikan Suharto, Jaksa Agung tidak pernah bertanya soal Nusamba”.
Keluarga Suharto mendapatkan uang tidak saja melalui kontrak-kontrak pemerintah, tetapi juga dari menyusahkan kehidupan orang Indonesia. Ketika Suharto ingin membangun peternakan sapi di Jawa Barat, ia merampas tanah lebih dari 751 ha yang dihuni oleh 5 desa. Menurut pemerintah, ia membayar ganti rugi sebesar $ 5.243. Beberapa penduduk mengatakan, mereka tidak memperoleh ganti rugi apapun. Muhammad Hasanuddin, yang saat itu masih anak-anak, ingat ketika keluarganya kehilangan tanah mereka seluas dua hektar. “Kami melihat sapi gemuk-gemuk dijaga oleh serombongan penjaga berkuda, menginjak-injak ladang kami yang sudah hancur. Seluruh keluarga hanya bisa menangis”. Ayah Hasanuddin akhirnya menjadi tukang becak di Jakarta.
Banyak cerita sama. Di tahun 1996 sebuah perusahaan milik Tommy merampas tanah penduduk desa di Bali seluas 650 hektar untuk resort. Perusahaan itu sebenarnya hanya memperoleh ijin untuk 130 ha, yang kemudian diperluas secara ilegal, demikian menurut Sonny Qodri, ketua LBH Bali. Penduduk yang menolak untuk menandatangani perjanjian menjual tanah, diintimidasi, dipukuli dan sering direndam dalam air sebatas leher. Dua dari mereka dibawa ke pengadilan dan dipenjara 6 bulan. Sekarang tak ada yang tertinggal dari proyek itu: resesi datang ketika buldozer akan bekerja.
Hasan Basri Durin, Ketua BPN dan Menteri Agraria, mengatakan bahwa keluarga Suharto bisa dikatakan tidak membayar untuk tanah-tanah yang mereka inginkan –nilai yang dibayar hanya 6% dari nilai pasar sebenarnya, dan pemilik tanah biasanya berubah pikiran dan bersedia menjual tanah setelah kedatangan tentara. “Kadang-kadang mereka tidak membayar satu sen pun”, kata Hasan. “Namun semuanya legal karena mereka (keluarga Suharto) memiliki dokumen”. Hanya separuh petani Indonesia yang memiliki sertifikat tanah, sehingga sulit bagi mereka untuk membuktikan kepemilikannya — dan lebih sulit lagi untuk membuktikan terjadinya intimidasi. Hasilnya, hanya sedikit yang mengajukan gugatan.


ANAK-ANAK KEBERUNTUNGAN


Selama bertahun-tahun, korupsi di Indonesia adalah semacam bentuk pemberian komisi dari pembelian, yang umum dijumpai di negara-negara berkembang. Ada dua faktor yang menyebabkan Indonesia agak berbeda dari yang lainnya. Pertama, posisi Indonesia sebagai bintang panggung baru dalam keajaiban ekonomi Asia, yang membawa aliran dana yang mengalir ke sektor bisnis dan real estate. Bank Dunia memperkirakan bahwa antara tahun 1988 sampai tahun 1996, Indonesia telah menerima lebih dari $ 130 milyar dari investasi asing. Ini semua hanya mungkin di bawah pengaruh Barat, yang telah mendukung Suharto selama 30 tahun, kata Carel Mohn, juru bicara Transparansi Internasional, sebuah Organisasi non-pemerintah (Ornop) yang berbasis di Berlin.
Faktor kedua, adalah anak-anak Suharto. Ke-enam anak-anak tersebut masuk ke dalam bisnis, panggilan hati yang telah ada semenjak usia dini mereka. Saya ingat ketika kami masih remaja, saya dan Bambang dan teman-temannya datang kerumah Oom Liem, kata seorang teman kecil anak Suharto yang kedua. Oom Liem akan selalu memberi kami sepaket uang yang dibungkus kertaskoran. Paket itu, katanya, berisi cek senilai sekitar $ 1.000 atau lebih. Wati Abdulgani, seorang pengusaha perempuan yang juga berhubungan dengan perusahaan keluarga Suharto di tahun 1980an mengatakan: “Anak-anak ini mengamati apa saja yang diberikan oleh Oom-nya tersebut, dan kemudian mereka berpikir, Bagaimana dengan kami nanti bila kami sudah besar, apakah bisa seperti dia?”
Sigit, anak yang tertua, secara jelas dipaksa oleh ibunya untuk masuk ke bisnis. Peran ibunya sebagai orang di belakang layar membuatnya terkenal dengan sebutan “Madam Tien Percent”. Seorang teman bu Tien pernah berbicara dengannya pada saat pemerintah sedang membangun bandara internasional Soekarno-Hatta. “Ia bilang pada saya, saya ingin Sigit belajar tentang Bisnis”, katanya. Saya katakan sebaiknya Sigit menyelesaikan dulu universitas-nya. Jawab ibunya, “Jangan, jangan, Sigit tidak bisa berpikir jelas”. Dua narasumber yang bekerja untuk proyek Bandara tersebut berkata bahwa ketika kedua terminal bandara telah selesai di tahun 1984, sebanyak $ 78,2 juta harus diserahkan ke Sigit dalam bentuk mark-up yang kelihatannya akan seperti biaya berjalan. Sigit kemudian beranjak ke bisnis yang lebih besar lagi. Di tahun 1988, Departemen Sosial menetapkan adanya karcis SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), yang dipegang oleh perusahaannya. SDSB tersebut dapat terus beroperasi sampai kemudian terpaksa harus dihapus karena protes anti-judi dari kalangan Islam di tahun 1993. Pola judi tersebut membuat Sigit dan perusahaannya mendapat jutaan dollar setiap minggunya, kata Christianto Wibisono dari PDBI (Pusat Data Bisnis Indonesia), yang telah mengumpulkan berbagai informasi diseputar bisnis dan perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Suharto semenjak tahun 1980.
Anak keduanya, Bambang, mendirikan Group Bimantara di tahun 1981 bersama dengan dua teman bekas anggota kelompok band rock-nya. Mereka dibimbing masuk ke bisnis oleh Oom Liem. Dari tahun 1967 sampai tahun 1998, BULOG (Badan Urusan Logistik) mengimpor dan mendistribusikan bahan-bahan pokok, seperti terigu, gula, kacang, dan beras melalui perusahaan-perusahaan yang terkait dengan Suharto, termasuk enam diantaranya milik Liem. Sesuai permintaan Bambang, Liem memberikan sebagian bisnis kepadanya. Dari perdagangan gula saja, Bambang mendapat keuntungan sebesar $ 70 juta setahunnya, hanya untuk menstempel dokumen. Sistem itu berjalan dengan begitu baiknya, sehingga setiap anak yang mau masuk ke bisnis diberi sebagian-sebagian dari bisnis tersebut. Praktek tersebut terus berjalan sampai tahun 1998. Dari tahun 1997 sampai 1998, Liem mendapat kontrak dari BULOG untuk mengimpor sekitar 2 juta ton beras yang bernilai $ 657 juta. Sebagai bagian dari kontrak itu, disebutkan bahwa anak terkecil Suharto, Siti Hutami Endang Adiningsih (Mamiek) mengimpor 300.000 ton beras yang bernilai $ 90,3 juta. Selama 18 tahun terakhir, lewat adanya keinginan pemerintah untuk menstabilkan harga beras, anak-anak Suharto telah berhubungan dengan BULOG untuk menghasilkan sekitar $ 3 milyar sampai $ 5 milyar bagi mereka sendiri, demikian menurut seorang bekas pejabat pemerintah.
Anak tertua, Tutut, tumbuh menjadi ratu lebah dari klan Suharto. Basis kerajaan bisnisnya adalah Group Citra Lamtoro Gung. Bisnis besar pertamanya adalah membangun dan mengoperasikan jalan tol. Proyek jalan tol-nya yang pertama dimenangkannya tahun 1987, setelah pemerintah mengalahkan dua pesaing tender lainnya. Pembiayaannya berasal dari dua bank pemerintah, sebuah perusahaan semen milik pemerintah, dan yayasan milik Suharto. Ketika presiden Bank Bumi Daya menolak permintaan Tutut akan pinjaman-bebas-bunga, ia langsung dipecat. Di pertengahan tahun 1990, jalan tol-nya menghasilkan $ 210.000 per-hari. Di tahun 1995 , konsesi sistem jalan tol yang dipunyainya, bisnis yang paling menguntungkan di Indonesia, diperpanjang sampai tahun 2004. Kata Teddy Kharsadi, Direktur corporate-affair perusahaan jalan-tol PT Citra Marga Nusaphala, “Perpanjangan ini merupakan konsekuensi yang wajar dari investasi kami”.
Kerajaan bisnis Tutut meliputi juga telekomunikasi, perbankan, perkebunan,penggilingan tepung terigu, konstruksi, kehutanan, serta penyulingan dan perdagangan gula. Para pengusaha asing tidak bisa lain selain menjadikan keluarga Suharto sebagai partner-nya, bila mereka hendak ber-bisnis diIndonesia, dan Tutut akan selalu berada di deretan pertama di dalam daftar. “Banyak perusahaan multinasional besar menginginkan adanya koneksi yang kuat, dan hal ini tentu saja berguna bagi mereka”, kata Graeme Robertson, seorang Australia kelahiran Indonesia, yang perusahaannya – Group Swabara – bergerak di pertambangan emas dan batubara. Pada puncak kekuasaan Tutut, investor yang berkeinginan untuk menemuinya, harus membayar terlebih dahulu uang sebesar $ 50.000 sebagai “jasa konsultasi” kepadanya.
Di awal tahun 1990an, Indonesia mulai memperhatikan saran bagi dijalankannya ekonomi berorientasi pasar dengan menswastakan perusahaan-perusahaan negara. Keluarga Suharto adalah penerima manfaat terbesar. Suharto meniadakan monopoli negara dalam telekomunikasi di tahun 1993, dengan memberikan lisensi pengoperasian sambungan langsung internasional dan jaringan telpon bergerak digital yang pertama di Indonesia kepada perusahaannya Bambang, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo). Pada saat yang sama, perusahaan negara PT Telkom menyerahkan basis pelanggannya kepada Satelindo, ketika Satelindo meluncurkan satelitnya sendiri, yang ketiga di Indonesia, lewat bantuan hutang sebesar $ 120 juta dari Bank Export-import Amerika. TIME telah meneliti bahwa pemerintah telah memberikan lisensi dan basis pelanggan Telkom kepada Satelindo tanpa tender atau pembayaran. Dengan bantuan cuma-cuma pemerintah inilah, Bambang mengontrol perusahaannya, yang menurut harga pasar bernilai $ 2,3 milyar di tahun 1995. Ketika perusahaan Deutsche Telekom Jerman membeli 25% saham Satelindo, mereka membayar sebesar $ 586 juta. Bambang juga menerima saham utama sebesar $ 90 juta sebagai jasa fasilitasi dari Deutsche Telekom sebagai bagian dari penjualan tersebut.


TERLALU BANYAK HAL YANG BAGUS


Kepentingan anak-anak Suharto menjadi semakin membesar sehingga mereka mulai bentrok satu sama lain. Bambang dan Tutut bersaing dalam mendirikan stasion televisi mereka masing-masing. Tommy bersaing dengan Sigit dalam penerbangan, serta dengan Bambang dalam produksi mobil dan perkapalan. Di tahun 1990 pemerintah mengadakan lelang bagi kontrak pengadaan peralatan pemindah 350.000 sambungan telpon. Perusahaan NEC Jepang bergabung dengan sebuah perusahaan milik Bambang. Pesaingnya perusahaan AT&T, memberi Tutut 25% saham dalam perusahaan lokal mereka bernama PT Lucent Technologies Indonesia. Pada akhirnya proyek tersebut dibagi 50-50 diantara AT&T-Tutut dengan NEC-Bambang. Di tahun 1996, Tutut berselisih dengan Sigit guna mendapatkan hak pengembangan tambang emas terbesar Busang di Kalimantan Timur. Partner Tutut, perusahaan Barrick-Gold dari Kanada, berlawanan dengan partner Sigit, Bre-X Minerals. Kali ini, dua-duanya mendapat hasil nihil. Busang ternyata hanyalah cerita bohong-bohongan terbesar dalam sejarah pertambangan.
Persaingan menjadi semakin keras ketika anak-cucu Suharto mulai mencari berbagai monopoli di bisnis pinggiran. Bambang mendapat kontrak untuk mengimpor kertas khusus untuk mencetak uang. Tutut mengambil-alih usaha pemrosesan SIM (Surat Ijin Mengemudi). Perusahaan istri Sigit, Elsye, menjadi produsen tunggal dalam pembuatan KTP. Di tahun 1996, cucu Suharto, Ari Sigit, merencanakan skema penjualan stiker pajak minuman bir dan alkohol sebesar $ 0,25 per-botol di Indonesia (bisnis ini akhirnya hancur karena para produsen menstop pengapalan bir ke Bali sebagai protes). Sembilan bulan sebelum Suharto turun, Ari berusaha untuk mengadakan proyek “sepatu nasional”, di mana semua anak Indonesia diharuskan untuk membeli sepatu sekolah dari perusahaan miliknya. “Pada akhirnya”, kata seorang pengacara Amerika yang telah 20 tahun bekerja di Indonesia, “satu hal yang paling transparan di Indonesia adalah korupsi”.
Ketika rejim Soeharto jatuh, anak-anaknya mempergunakan pengaruh yang mereka miliki untuk dapat melepaskan diri dari belitan hutang dan bisnis yang hancur. Pada bulan April 1994, Tommy beserta dua rekan bisnisnya dan Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD) — organisasi petani yang dijalankan oleh pemerintah — meresmikan sepermarket Goro. Berdasarkan catatan Bank Bumi Daya, untuk kepentingan ini mereka memperoleh pinjaman sebesar $ 100 juta, dimana angsuran untuk pinjaman ini tidak pernah dibayar. Pada tanggal 4 Mei 1998, Tommy kemudian menjual dengan harga kontan seluruh saham atas supermarket ini kepada petani dan koperasinya seharga $ 112 juta, sehingga memindahkan seluruh beban hutang yang ada ke pundak petani dan PUSKUD. Menurut Ibnu Hartomo, adik lelaki ibu Tien, anak-anak Suharto itu sangat liar dan tampaknya sudah tidak lagi mengingat arti etika. Pada saat kerusuhan Mei, satu minggu sebelum Suharto mengundurkan diri, massa yang marah membakar habis salah satu toko Goro yang ada di Jakarta Selatan.
Walaupun banyak dari kekayaan Suharto hilang karena manajemen yang buruk dan juga karena ekonomi negara yang hancur – misalnya PT. Sempati Air milik Tommy bangkrut pada tahun 1998- keluarga ini masih tetap memiliki banyak usaha yang masih memberikan keuntungan. Satu dari banyak contoh adalah PT. Panutan Selaras milik Sigit yang memproduksi 25% dari bensin Premix High Octane yang banyak digunakan oleh mobil-mobil di Indonesia dan juga ia memiliki 22 tempat pengisian bensin di Jakarta, Surabaya dan Jawa Tengah. Sedangkan PT. Humpuss Trading milik Tommy juga memproduksi bensin High End.
Bisnis yang lain lagi adalah bisnis Real Estate. Saat harga-harga property berjatuhan, kekayaan property keluarga ini diperkirakan sebesar $ 1 Milyar, dan banyak lagi termasuk perkebunan tebu, mal-mal, hotel-hotel yang sampai saat ini masih terus membawa keuntungan. Di pertengahan tahun 1980, Bambang membayar pemerintah $ 700 per m2 untuk sebidang tanah di Jakarta Pusat dimana saat ini berdiri Hotel Grand Hyaat, asset utama PT. Plaza Indonesia. Di Bali, anak-anak tersebut juga berhasil menyabet permata yang paling berharga dari industri pariwisata; seperti: Bali Cliff Hotel (Sigit), Sheraton Nusa Indah Resort (Bambang), Sheraton Laguna Nusa Dua (Bambang), Bali Intercontinental Resort (Masih milik Bambang sampai 2 bulan yang lalu), Nikko Royal Hotel (milik Sigit sampai 6 bulan lalu), Four Seasons Resort di Jimbaran (Tommy) dan Bali Golf dan Country Club di Nusa Dua (Tommy). Tutut dan Tommy juga membeli Mabes Polri Pusat di Jakarta dengan harga 1/5 dari harga pasar. Menteri kehutanan Muslimin Nasution mengatakan terdapat 4.5 juta hektar hutan dan perkebunan yang terkait dengan anak-anak Suharto. Pengamat ekonomi Michael Backman dari Melbourne, yang telah menulis tentang Suharto dalam bukunya “Asian Eclipse: Exploring the Dark Side of Business in Asia”, menyatakan, “Bila ada yang mengatakan bahwa kerajaan bisnis keluarga Suharto sudah hancur, maka dia salah. Mereka masih mempunyai saham-saham di perusahaan kayu, perkebunan kelapa sawit, dan hotel-hotel. Semuanya itu masih menghasilkan banyak dollar”.
RODA KEADILAN
Suharto tetap bertahan bahwa aset kekayaan yang dimilikinya tidaklah banyak dan semuanya berada di Indonesia. Pengacara top-nya Kaligis mengatakan bahwa Suharto tidak punya satu sen pun di luar negeri. “Jika seseorang ketahuan membuka account atas namanya di luar negeri, dia (Suharto) menginstruksikan saya untuk mengajukan tuntutan terhadap mereka”, kata Kaligis. Sejak Suharto mengundurkan diri, Bambang dan keluarganya lebih banyak menggunakan waktu mereka di Los Angeles, Titik di Boston dimana anak lelakinya bersekolah, dan sisanya hampir sepanjang tahun berada di Indonesia. Sedangkan Sigit mempergunakan sebagian besar waktunya di sofa Versace favoritnya (dimana tak seorangpun diijinkan mendudukinya), bermain video game, dan menonton rekaman wayang kulit.
Ghalib mengatakan bahwa Suharto telah memindahkan tujuh yayasan miliknya dengan aset seharga $ 690 juta ke tangan pemerintah. Beberapa staff Ghalib menyatakan bahwa walaupun begitu Suharto masih tetap mengontrol yayasan-yayasan tersebut, dan harga yayasan-yayasan tersebut sebenarnya jauh lebih mahal.
Reformasi yang masih berlangsung di sektor perbankan tampaknya juga menolong anggota keluarga Suharto dan associate-nya dalam menutupi kewajiban untuk membayar hutang-hutang mereka. Oktober tahun lalu, Pemerintah merencanakan untuk menyatukan 4 bank pemerintah – dengan total hutangnya (performing loan) sebesar $ 11,5 milyar. Ke enam anak Suharto dan beberapa perusahaan yang berafiliasi dengan mereka terdaftar di pemerintah sebagai pemilik hutang (bad debts) sebesar $ 800 juta di ke 4 bank tersebut.
Bila jumlahnya diperinci, diantara mereka, Bambang dan Tommy saja sudah memiliki hutang sebesar $ 635 juta hanya di satu dari empat bank tersebut, yaitu Bank Bumi Daya. Seorang staf perbankan malaporkan bahwa laporan-laporan mengenai account mereka sering dipalsukan, termasuk $ 172 juta yang dipinjamkan ke Hashim Djojohadikusuma, kakak ipar Titiek, untuk membeli saham di salah satu bank lain. Meminjam uang untuk membeli saham bank lain di Indonesia dianggap ilegal. Ketika hal ini ditanyakan, kantor Hashim menyatakan bahwa dia tidak dapat diwawancarai karena kesibukannya. Ketika TIME melaporkan hal ini kepada Habibie, presiden ini baru mulai meneliti hal tersebut.
Penelitian yang sungguh-sungguh atas harta rampasan Suharto mungkin harus menunggu pemerintah yang baru. Pemilihan wakil-wakil rakyat yang dijadwalkan tanggal 7 Juni, yang kemudian akan diikuti dengan pemilihan presiden bulan November, dapat merubah secara mendasar keseimbangan politik. Dua calon utama presiden; Amien Rais dan Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa mereka akan mengadili Suharto atau mungkin memberikan pengampunan bila sebelumnya harta tidak halal keluarga Suharto dikembalikan. Megawati Suukarnoputri, anak perempuan presiden Sukarno dan juga calon presiden, belum meyatakan pendapatnya dengan jelas. Beberapa analis berpikir bahwa dia akan melepaskan Suharto sebagai ucapan terimakasihnya untuk tidak memenjarakan bapaknya.
Walau bagaimanapun ada kemungkinan anak-anak tersebut akan diperlakukan lebih buruk. Seorang kenalan keluarga Suharto mengatakan bahwa selama Suharto masih hidup, dia masih mungkin untuk melindungi mereka. Tetapi setelah dia pergi, mereka harus melarikan diri. Tiga dari mereka memiliki rumah di Amerika, sehingga jaksa-jaksa penuntut disana dapat mengejar mereka dengan Undang-Undang yang baru yang lebih keras dalam hal korupsi dan pencucian uang. Sedangkan Bambang yang mengontrol 2 perusahaan Amerika, ternyata masih dapat diperiksa dengan peraturan praktek korupsi untuk orang asing (Foreign Corrupt Practices Act). Pengawas korupsi dari Masyarakat Transparasi Indonesia; bekas menteri keuangan Mar’ie Muhammad menyatakan bahwa 79 dari 528 keppres yang dikeluarkan sejak tahun 1993 – Mei 1998 adalah tidak sah. Tetapi Suharto cukup hati-hati. Keppres-keppres tersebut — yang umumnya dilakukan pada setiap akhir 5 tahun masa tugasnya, terlebih dahulu telah di setujui oleh anggota DPR yang sebenarnya tidak banyak berfungsi dan hanya bisa menyetujui apa saja yang diajukan presiden. Lagipula, menurut pengacara Suharto, Juan Felix tampubolon, di Indonesia terdapat aturan mengenai pembatasan dari tindakan semacam itu, “bagi setiap kejahatan yang dilakukan seseorang, bila ada, sebelum tahun 1981, maka hak untuk menghukum yang bersangkutan telah habis masa berlakunya sesuai dengan aturan”. Bagi Suharto, maka jumlah $ 9 milyar di sebuah Bank Austria – akan mencukupi baginya untuk hidup enak di masa pensiunnya.

bersambung–2

Tags

Entri Populer