English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Selasa, 01 November 2011

Hugeng dimata Rosihan Anwar

AKHIR pekan lalu kami bertiga, Ny Herawati Diah, saya, dan istri, mengunjungi Hoegeng Iman Santoso yang dirawat di RSCM, Jakarta. Merry memberitahukan suaminya tentang kedatangan kami, tetapi Hoegeng tidur terus. Enam hari kemudian, tanggal 14 Juli 2004 pukul 00.30, mantan
Kepala Polri itu meninggal dunia akibat stroke. Hoegeng lahir 14 Oktober 1921 di Pekalongan. Ayahnya jaksa. Setelah sekolah di HIS dan MULO Pekalongan dia belajar di AMS A Yogya, bagian Klasik Barat. Ketika itulah saya kenal pertama kali dengan Hoegeng sebagai kakak kelas kami bertiga, yaitu Usmar Ismail (Bapak Perfilman Nasional), S Tasrif (Ketua Persatuan Advokat Indonesia), dan saya. Bila kelas kami bertanding bisbol dengan wasit guru olahraga Schiffers, saya bermain sebagai pitcher tim kelas dan Hoegeng sebagai pemain stop. Soedarpo Sastrosatomo (pengusaha perkapalan Samoedera Indonesia), yang ketika itu pelajar AMS B Yogya,
bercerita tentang sebuah rumah kos di Ngupasan. Di sana tinggal beberapa anak liar (wilde jongens), seperti Imam Pamoedjo dan Hoegeng. Mereka membentuk sebuah band Hawaian. Dengan musik Hawaian, Hoegeng bermain di Sositet, di Radio Mataram, di NIROM, untuk mendapat tambahan karena ayahnya hanya mengirimkan 7,50 gulden per bulan.


SETAMAT AMS A, Hoegeng menjadi mahasiswa Sekolah Hukum Tinggi (Rachts Hoge School/RHS) Batavia. Dalam perkumpulan mahasiswa USI (Unitas Studiorum Indonesiensis), dia berkenalan baik dengan sesama mahasiswa, Soebadio Sastrosatomo, Hamid Algadri, Chaerul Saleh, Soedjatmoko, Soedarpo Sastrosatomo, dan Subandrio. Karena perang pecah, studi Hoegeng terkapar. Di zaman pendudukan Jepang, dia masuk Sekolah Polisi Sukabumi dan setelah Republik Indonesia berdiri dia terus berkutat di dunia kepolisian. Bulan Februari 1947, sebagai Pemimpin Redaksi Siasat

saya diajak RS Soekanto, Kepala Kepolisian Negara, mengunjungi Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi (kelak berganti nama jadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) di Mertoyudan dekat Magelang, dan di sana bertemu dengan
staf pengajarnya, antara lain Prof Dr Mr Soepomo, Prof Mr Soenario Kolopaking, Prof Mr Djoko Soetono, Prof Dr Priyono, juga dengan mahasiswanya, antara lain Hoegeng-kenalan lama dari AMS A Yogya.
Karier Hoegeng berkembang. Dikirim belajar ke Amerika Serikat, ditugaskan di Jawa Timur, tahun 1956 diangkat sebagai Kepala Reserse dan Kriminal Sumatera Utara di Medan yang “kesohor” sebagai tempat pedagang Tionghoa punya hobi menyuap pejabat-pejabat. Namun, Hoegeng tidak bisa disuap. Di tengah dunia judi, smokkel, korupsi, dan rayuan wanita cantik, dia kokoh sebagai polisi yang jujur dan lurus, an honest and straight cop.

PADA awal 1960 Hoegeng diangkat sebagai Kepala Direktorat Reskrim Mabes Polisi, tetapi dibatalkan, lalu ditarik ke Mabak. Mengapa sampai begitu? Dalam buku Polisi: Idaman dan Kenyataan oleh Abrar Yusra dan Ramadhan KH (1993), Hoegeng bercerita pembatalan itu
karena ada yang melaporkan kepada Bung Karno (BK) bahwa Hoegeng anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Dia menemui BK di Istana untuk menjernihkan persoalan.
BK bilang, “Tapi kamu kan kenal Soedjatmoko, Soebadio Sastrosatomo, PSI toh?” “Lha, iya kenal, wong kita satu sekolah kok, AMS A Yogya dan RHS. Tapi saya tak masuk PSI kok, boleh periksa.” BK menatap saya, lalu ketawa.
“Beres, beres kalau begitu,” kata BK (halaman 248).
Hoegeng diangkat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi dan dalam Kabinet Seratus Menteri sebagai Menteri Negara Urusan Iuran.

Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It. Tahun 1969 penyelundupan tersebut dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan
mobil mewah lewat Pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula.

Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M Panggabean. Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH diceritakan Hoegeng
masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng.

Ketika Rapat Pimpinan ABRI di Pekanbaru, 27 Maret 1980, Presiden Soeharto yang berbicara tanpa teks yang telah disiapkan mengatakan, ABRI harus memilih sebagai mitranya mereka yang membela Pancasila dan UUD 1945.
Tiga minggu kemudian pada HUT Kopassandha, beberapa orang sipil seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Syafruddin Prawiranegara berkumpul untuk menyusun sebuah petisi yang disampaikan kepada DPR, 13
Mei 1980. Lahirlah Petisi 50 yang mengkritik Soeharto karena menafsirkan Pancasila begitu sempit dan mempromosikan kerja sama ABRI dengan Golkar, sedangkan seharusnya ABRI ada di atas semua partai.
Petisi 50 menimbulkan amarah Soeharto. Orang yang dicap sebagai Petisi 50 menjadi non-person, dipencilkan dari arus pergaulan sosial.

MAS Hoegeng, yang tadinya ikut dalam band Hawaian Seniors yang biasa bermain di TVRI dan Radio Elshinta dan digemari publik, gara-gara menandatangani Petisi 50 harus menghentikan siaran. Ucapannya pada akhir siaran Aloha tidak terdengar lagi. Lagu-lagu yang didendangkan, seperti Hawaii Calls, On The Beach of Waikiki, I’m in The Mood for Love, menjadi sunyi senyap.

Ketika dia tinggal di Jalan Mohammad Yamin 8 dan saya lewat di depannya pagi-pagi sedang olahraga jalan kaki, Hoegeng duduk di sana, lalu kami bercakap-cakap, kadang-kadang mengutip beberapa strofe dari buku Ovidius berbahasa Latin karena kami di AMS A Yogya pernah menjadi latinist.

Setelah dia pindah rumah ke kawasan Depok, kontak kian berkurang. Masih bertemu juga jika ada pertemuan berkala anggota-anggota Arga Bagya, yaitu alumni AMS Yogya yang masih hidup. Namun, setelah kena stroke Hoegeng makin merosot kesehatannya. Dulu masih sering berjumpa waktu shalat Tarawih di bulan Ramadhan di Masjid Sunda Kelapa, kemudian itu pun terputus.

Akhirnya datanglah saat berpisah dengan Mas Hoegeng buat selama-lamanya. Dia tutup usia dan dikebumikan di Parung Raya, Bogor. Banyak handai tolan datang takziah di rumah duka. Berpisah secara fisik, tetapi tidak dalam batin. Hoegeng Iman Santoso akan dikenang terus sebagai putra Indonesia yang turut berjuang untuk Indonesia Merdeka, manusia yang jujur, adil, setia pada prinsip etik yang dianutnya. Semoga Tuhan menerima arwah Mas Hoegeng di sisi-Nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tags

Entri Populer