English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Senin, 03 September 2012

Operasi Militer era Dwikora


 B ila Anda melewati kompleks Dwikora perumahan dinas TNI AU di Lanud Halim Perdankusuma, Jakarta, anda akan menemukan nama-nama asing seperti Kolatu, Kolada, Stradaga, Straudga dan lainnya. Ternyata nama-nama itu mengartikan nama operasi militer yang disingkat semasa Dwikora tahun 1962-1964.
    Kolatu adalah singtan dari Komando Mandala Satu, Kolada adalah Komando Mandala Dua, Stradaga adalah Strategi Darat Siaga, Straudga adalah Strategi Udara Siaga, dan Stralaga adalah Strategi Laut Siaga. Semua itu merupakan bagian operasi Dwikora (Dwi Komando rakyat) ketika Indonesia berkonfrontasi denagn Malaysia.
    Waktu itu, Indonesia menentang dibentuknya negara federasi Malaysia yang merupakan gabungam Malaya dan Singapura di bagian barat, serta Sabah, Serawak dan Brunei di Kalimantan Utara. Negara federasi bentukan Inggris ini oleh Presiden pertama RI Soekarno, di beri nama 'Negara Boneka" Malaysia.
    Melalui negara federasi Malaysia itulah Inggris masih akan berpengaruh, sementara Indonesia melihatnya sebagai bentuk kolonialisme baru dan merupakan ancaman bagi kedaulatan RI.
    Penentangan Indonesia ini direalisasikan dalam bentuk Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang dicanangkan Bung Karno. Intinya menggagalkan 'Negara Boneka' Malaysia dan untuk itu rakyat di minta bersedia menjadi sukarelawan. Tercatat, sekitar 21 Juta rakyat Indonesia mendaftar sebagai sukarelawan untuk di kirim ke Kalimantan Utara.
 ✈ Terbesar di Asia Tenggara

    Kekuatan udara merupakan sarana penentu dalam suatu operasi militer dan menjadi andalan utama dalam Operasi Dwikora guna melawan kekuatan udara gabungan Inggris, Australia, Selandia Baru, Malaysia dan Singapura.
    Kala itu Kekuatan udara TNI AU masih menjadi kekuatan yang terbesar di Asia Tenggara setelah pengembangan kekuatan saat membebaskan Irian Barat untuk kembali ke dalam wilayah RI tahun 1962.
    Pesawat pengebom intai jarak jauh dan tercanggih saat itu, TU-16KS, B-25 Mitchell, B-26 Invader, pesawat tempur pemburu P-51 Mustang, MiG 17, MiG 19 dan MiG 21, pesawat angkut C-130 Hercules, C-47 Dakota, Helikopter Mi-4 dan Mi-6, dikerahkan dan diarahkan ke Utara, Malaysia.
    Sementara itu kekuatan personil selain 21 juta sukarelawan, pasukan TNI yang dilibatkan adalah Pasukan Gerak Tjepat (PGT), Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), Marinir / Korps Komando (KKO) dan Brimob Pelopor Polri.
 ✈ Berbagai Nama Operasi Militer

    Selama lebih dua tahun konfrontasi, 1962-1964, operasi Dwikora telah melaksanakan berbagai operasi seperti:
    Operasi Terang Bulan, penerbangan pesawat TU-16KS dan pesawat angkut C-130 Hercules di wilayah udara Singapura, Malaysia dan Kalimantan Utara untuk show of force.
    Operasi Kelelawar, operasi untuk pengintaian dan pemotretan udara untuk memantau bila ada pergerakan kekuatan militer di wilayah Kepulauan Cocos dan Pulau Christmas, Australia di Samudera Indonesia.
    Berbagai nama sandi operasi militer disesuaikan misi tugas seperti Operasi Rembes, untuk penyebaran pamflet, Operasi Nantung, untuk menguji kesiapan sendiri dan siaga atas kesiapan lawan. Operasi Tanggul Baja, operasi dengan menempatkan pesawat-pesawat tempur di daerah yang lebih dekat dengan mandala operasi.
    Untuk operasi penerjunan pasukan linud, diberi nama operasi sandi Antasari. Operasi Antasari I berhasil menerjunkan satu batalyon pasukan tempur ke Kalimantan Utara dengan menggunakan pesawat angkut C-130 Hercules AURI.
    Operasi linud Antasari telah dilakukan sampai yang ke empat menggunakan pesawat C-130 Hercules dan pesawat C-47 Dakota.
 ✈ Tragis Hercules T-1307

    Pada saat melaksanakan operasi Antasari tanggal 2 September 1964, tiga pesawat angkut C-130 Hercules membawa satu kompi pasukan PGT yang dipimpin oleh Kapten Udara Suroso.
    Dalam pesawat Hercules dengan nomor ekor T-1307 yang diterbangkan Pilot Mayor Pnb Djalaluddin Tantu, ikut serta seorang perwira menengah pimpinan PGT Letkol Udara Sugiri Sukani, yang ikut sekalian untuk memberi semangat kepada pasukannya.
    Hercules Tipe B tersebut diterbangkan oleh Mayor Pnb Djalaluddin Tantu berserta ko-pilot Kapten Pnb Alboin Hutabarat membawa delapan awak pesawat dan 47 personil PGT yang dipimpin Kapten Udara Suroso, untuk diterjunkan  di daerah operasi Kalimantan Utara. Namun dari tiga pesawat Hercules, hanya dua pesawat yang kembali ke Halim Perdanakusuma. Satu akhirnya dinyatakan hilang bersama 55 orang yang ada didalamnya, yaitu T-1307 C-130B Hercules.
    Selama operasi Dwikora, pasukan PGT merupakan pasukan payung yang telah di terjunkan ke wilayah konfrontasi dengan kehilangan 83 orang anggotanya. Nama Sugiri Sukani akhirnya dinyatakan hilang dalam tugas dan di abadikan sebagai nama Pangkalan Udara di Jatiwangi, Cirebon dan Suroso menjadi nama lapangan bola di kompleks Dwikora, Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Pemberontakan PRRI



Sejumlah tokoh PRRI yang berunding di Sumatra Barat: Mr. Burhanuddin Harahap, Dahlan Djambek, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Kolonel Maludin Simbolon, Mr. Assat.


Sejumlah tokoh PRRI yang berunding di Sumatra Barat: Kol. Dahlan Djambek, Letkol Ahmad Husein, Mr. Burhanuddin Harahap, Kolonel Maludin Simbolon, Syafei, dll.



Tokoh-tokoh PRRI yang mengadakan pertemuan di Sungai Dareh pada bulan Januari 1958:
Kolonel Dahlan Djambek, Kolonel Maludin Simbolon, Letkol Ventje Sumual, Letkol Barlian, Letkol Ahmad Husein.

Pelantikan Kabinet PRRI tanggal 15 Februari 1958:
Kolonel Dahlan Djambek, Mr. Burhanuddin Harahap, Letkol. Ahmad Husein, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Kolonel Maludin Simbolon.



PRRI, pemberontak atau pahlawan

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pada tahun 1958-1962. Sejumlah panglima divisi Banteng dan staf-stafnya yang meliputi Kolonel Ahmad Husein, Kolonel Tapanuli, Kolonel Simbolon, bersama sejumlah politisi seperti M. Natsir, Sumitro Djayahadikusumo, M. Hatta, dan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Maksud dari PRRI ini adalah untuk memperingatkan Yang Mulia Presiden Soekarno yang sudah bertindak sewenang-wenang.
Kecemburuan pusat-daerah turut pula memperkeruh suasana. Kondisi pada tahun 1950-an mirip dengan kondisi sekarang.

Soekarno membangun Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan membangun proyek-proyek mercu suar seperti Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, dan Stadion Gelora Senayan dan sejumlah patung.
Sementara daerah dibiarkan miskin dan melarat.

Soekarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Hal ini tidak disukai oleh panglima-panglima militer yang ada di daerah. Apalagi Soekarno menggunakan sentimen etnis dan ideologi. Soekarno terlalu dekat dengan PKI yang tidak disukai oleh kelompok Islam dan nasionalis. Panglima-panglima militer di daerah mulai mengadakan gerakan. Sejumlah politisi di Jakarta juga sudah mulai bergerak. Wakil presiden Muhammad Hatta, tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia (PSI), Sumitro Djojohadikusumo, dan tokoh Masyumi Muhammad Natsir turut dalam rapat-rapat rahasia bersama tokoh PRRI dan tokoh Persatuan Rakyat Semesta (Permesta), Vence Sumual.

Soekarno tak suka ekonomi. Ia lebih suka membangun ideologi revolusioner. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi pada masa itu mandek. Indonesia memang kekuatan militer terbesar di Asia Tenggara dan Asia (setelah Cina). AS tak suka pada Soekarno.

Soekarno menganggap PRRI/Permesta sebagai kenakalan "anak-anak". Soekarno memang menganggap dirinya sebagai "Bapak" sedangkan para politisi dan perwira militer sebagai anak-anaknya. Soekarno adalah orang yang pandai bermain peran. Ia pandai menempatkan diri. Ketika menghadapi kelompok Islam ia pandai bermain peran sebagai muslim yangbaik.


 
B 26 siap terbang menumpas PRRI

Upaya Diplomasi

Pada awalnya Soekarno tidak ingin menghadapi PRRI dengan kekerasan. Soekarno mengutus Hasjim Ning, pengusaha, saudara Bung Hatta, untuk menghadap Kolonel Ahmad Husein di Padang. Kolonel Ahmad Husein mengajukan sejumlah tuntutan antara lain: retool kabinet, bung Hatta didudukkan kembali Wakil Presiden, dan keadilan pusat-daerah. Semua tuntutan ini ditolak oleh Soekarno. Ia menganggap Ahmad Husein sebagai "Anak Bandel" dan harus segera diberi pelajaran. Kolonel Ahmad Husein adalah bukan
orang sembarangan. Ia adalah panglima Divisi Banteng/Sumatra Timur yang berjasa mengusir tentara NICA dari Sumatra Timur. Dan tentara Divisi Banteng dikenal tangguh dalam berperang. Mereka berpengalaman menghadapi Belanda. Oleh karena itu Soekarno tidak boleh main-main. Ia harus menyiapkan tentara terbaik untuk menyerbu Padang.

Presiden Soekarno mengutus Jenderal Ahmad Yani untuk menyiapkan operasi tempur yang diberi nama "Operasi 17 Agustus". Jenderal Ahmad Yani menyiapkan sejumlah batalyon terutama dari Kodam IV Diponegoro dan Kodam II Siliwangi. Letjen Soeharto ditetapkan sebagai pelaksana lapangan. Serbuan pertama dilaksanakan dengan operasi pendarat Amphibi di pantai Padang. Sekitar lima jam, kapal-kapal ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dengan menghujani pantai Padang yang dipertahankan mati-matian oleh pasukan PRRI. Jelas kekuatan ALRI bukanlah tandingan pasukan PRRI. Kekuatan ALRI adalah yang terkuat di Asia.

Selanjutnya diteruskan dengan operasi pendaratan pasukan Amphibi di pantai Padang berikut tank-tank dan artileri. Lalu dilanjutkan oleh penerjunan pasukan parasut (paratrooper) di kota Padang dan Bukittingi. Serbuan ini menimbulkan banyak korban jiwa baik tentara "Jawa" maupun tentara PRRI. Pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) membomi titik-titik penting pasukan PRRI. Pasukan "Jawa" akhirnya berhasil menguasai Padang. Serbuan ofensif lalu diteruskan hingga ke lembah Anai. Serbuan ini ditahan oleh pasukan PRRI dalam suatu pertempuran yang paling berdarah dalam sejarah PRRI.

Pasukan PRRI mundur ke hutan-hutan. Pasukan "Soekarno" mengadakan gerilya di daerah perkampungan dan perkotaan. Dalam proses itu, ratusan dan ribuan orang diciduk. Sebagian mati dalam tahanan.

Pasukan KODAM Siliwangi dikenal berperilaku lebih baik daripada pasukan dari KODAM Diponegoro. Selain berasal dari etnis Sunda, pasukan KODAM Siliwangi berperilaku lebih halus dan agamis. Sedangkan pasukan KODAM IV Diponegoro berperilaku kasar. Mereka menganggap diri sebagai pemenang perang dan mengulangi kisah sukses ekspedisi Pamalayu untuk menaklukkan Sumatra.

Atas bujuk rayu sejumlah tokoh, kolonel Ahmad Husein menyerahkan diri kepada Gubernur Bagindo Aziz Chan dan Letjen Supeno di sebuah lapangan di Solok. Ahmad Husein menyerah bukan karena kalah tapi demi keutuhan republik. Pasukan PRRI masih banyak tersebar di hutan-hutan. Ahmad Husein ditangkap dan dibawa menghadap Presiden Soekarno.

Sabtu, 01 September 2012

Kronologi Pemberontakan Permesta & PRRI (2)

1 Agustus 1953 
Setelah krisis 58 hari lamanya, Kabinet Ali-Wongso terbentuk dengan Perdana Menteri Mr. Ali Sastroamidjojo (PNI) dan Wakil Perdana Menteri Mr. Wongsonegoro (Partai Indonesia Raya, PIR). Dalam kabinet ini Masyumi tidak turut serta, tetapi Nahdlatul Ulama (NU) duduk di dalamnya.
Kabinet ini menyerahkan mandatnya pada tanggal 24 Juli 1955. 

1954 

Status kota Manado dijadikan Kota-Besar dengan kedudukan sebagai Daerah Swatantra Tingkat II dipisahkan dari Kabupaten/Daerah Swatantra II Minahasa pada tahun 1954. Dengan peningkatan status Manado menjadi Kota-Besar, timbullah persoalan pemindahan ibukota Daerah Minahasa dari kota Manado. Hal ini berlarut² sehingga nanti pada tahun 1959 dengan melalui Parlemen RI, Pemerintah Agung di Jakarta menetapkan Tondano menjadi ibu kota dari Daerah Minahasa. Pemindahan Pemerintahan Daerah Minahasadari Manado ke Tondano telah direncanakan mulanya akan berlaku pada tahun 1961.
Tahun 1954 ini juga kota Bitung dijadikan pelabuhan samudera. Pembangunan Bitung menjadi pelabuhan telah dipersiapkan sejak tahun 1950. Peresmiannya nanti berlaku pada tahun 1954. 

September 1954 

 
Mayor Jan Maximillian Johan "Nun" Pantouw dinonaktifkan dari dinas militer TNI dalam kapasitasnya sebagai Asisten I (Intelegen) pada TT-VII/Wirabuana akibat keterlibatannya dalam penyelundupan kopra atas nama Staf Komando TT-VII/Wirabuana

1 Oktober 1954 

Wilhelmina Bertha (Nona) Politon memelopori pendirian Universitas (swasta) Pinaesaan (yang berarti persatuan) di Tondano, ibu kota Kabupaten Minahasa, pada 1 Oktober 1953. "Kota Tondano dipilih menjadi lokasi pusat Universitas Pinaesaan, karena pertimbangan banyak anak muda yang nakal dan miskin hidup di kota itu pada masa itu," katanya. Semula dibentuk sebuah Panitia Perguruan Tinggi Sulawesi Utara pada tanggal 8 Februari 1953 yang kemudian diubah menjadi Yayasan Universitas Pinaesan yang diketuai Nona Politon. Universitas Pinaesaan waktu itu hanya memiliki Fakultas Hukum. Pada tahun 1958 
saat pergolakan Permesta, Universitas Pinaesaan dipindahkan dari Tondano ke Manado.
Lewat proses pengembangan Universitas Pinaesaan, wanita kelahiran 4 Agustus 1923 ini berhasil membangun hubungan kuat dengan Menteri Pendidikan RI saat itu, Prof Mr Moh Yamin. Bersama sejumlah pejuang pendidikan lainnya, Nona Politon meminta pemerintah pusat mendirikan perguruan tinggi di Manado. Alasannya sederhana. Akan makan biaya mahal, bila setiap anak muda Sulawesi Utara yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi, harus pergi ke Pulau Jawa. Kalaupun terpaksa ke Jawa, kata Nona Politon, juga tidak banyak orang yang mampu membiayai dan bisa mengecap bangku pendidikan tinggi. Usaha ini ternyata mendapat tanggapan positif Prof Mr Moh. Yamin.
Nasib Universitas Pinaesaan sendiri tidak cerah terutama karena kendala pergolakan Permesta, 1958-1960. Menyusul selesainya pergolakan, minat kaum muda, lulusan SLTA, lebih terarah ke perguruan tinggi negeri, IKIP dan Universitas Sam Ratulangi.
Universitas Pinaesaan ini kemudian oleh pemerintah digabung dengan Universitas Permesta pada masa pergolakan Permesta menjadi Perguruan Tinggi Manado (PTM), lalu Universitas Sulawesi Utara (UNISUT, kemudian menjadi UNSRAT)pada tanggal 17 September 1961.  

November 1954 
Panglima TT-VII/Wirabuana (Indonesia Timur), Letkol Joop Warouw mulai bulan ini mengizinkan ekspor kopra tanpa melalui prosedur yang biasa, yaitu dengan melakukan barter. Kegiatan ini memang akhirnya dihentikan oleh Jakarta setelah salah satu kapal yang mengangkut kopra ditahan pihak Angkatan Laut (ALRI). Letkol Warouw dan stafnya diperiksa Jaksa Agung Abdul Mutalib Moro serta pihak ALRI. Beberapa orang dibebastugaskan, sekalipun Letkol Warouw sendiri tetap menjabat panglima.  

1955

Dalam sebuah statistik, penduduk Minahasa berjumlah 525.606 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%.  

Januari 1955 

Para petani di Sulawesi Utara mengambil alih kantor dan fasilitas Yayasan Kopra di Manado yang dikelola oleh Kementrian Perekonomian, dan mendirikan Yayasan Kelapa Minahasa bulan berikutnya. Kegiatan ini mendapat sokongan penuh dari pimpinan militer setempat. Yayasan Kopra didirikan pada masa penjajahan, berpusat di Makassar, tetapi pada tahun 1950 dipindahkan ke Jakarta. Yayasan itu dianggap kurang bijaksana terutama karena melakukan diskriminasi harga. Mutu kopra di Minahasa yang jauh lebih tinggi dari pada mutu kopra Jawa dihargai lebih rendah oleh Yayasan Kopra. Selain itu, karena kekurangan dana, Yayasan Kopra membayar para petani dengan bon, yang menurut perjanjian akan ditebus dengan uang yang sesuai 
jumlahnya. Tetapi pelunasan itu tidak kunjung dilaksanakan, sehingga sejumlah petani terpaksa memperjualbelikan bon² (kupon²) tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pada bulan November 1955, wilayah² penghasil kopra lainnya pun menyusul mendirikan yayasan sendiri. Maka berdirilah Yayasan Kelapa Sangir Talaud, Yayasan Kelapa Bolaang Mongondow, dan Yayasan Kelapa Gorontalo. 

4 Februari 1955 

Terbentuknya Yayasan Kelapa Minahasa (YKM) dengan tokohnya  Jan M J. (Noen) Pantouw, kemudian mengadakan perdagangan barter Kopra sebagai penyelundupan terselubung ke luar negeri yang memuncak pada bulan Februari – April 1956 dengan masuknya 6 buah kapal asing di pelabuhan Bitung yang mengangkut 25.000 ton kopra. YKM lalu melebarkan sayapnya sampai di Singapura dengan nama Eastern Produce Agency, Ltd..
Disamping itu, dua orang tokoh yang cukup berperan dalam perdagangan barter kopra di Minahasa yang dimulai oleh Letkol Hein Victor Worang (Komandan Resimen Infanteri 24 /RI-24 di Manado) dan penggantinya, Panglima KDM-SUT (sebelumnya Resimen Infanteri / RI-24) Mayor D.J. Somba. Namun nasib Mayor H.V. Worang selanjutnya setelah pihak pusat memantau aksi perdagangan barter tersebut adalah diganti bulan Desember 1956 dan ditawari studi lanjut ke luar negeri, kemudian ditugasi di Sumatera Selatan selaku Komandan RI-6/TT-II di Tanjungkarang, Lampung. Di sana ia bertindak sebagai Komandan TT-II, Letkol. Barlian, pada Musyawarah Nasional bulan September 1957. 



12 Februari 1955

Panglima TT-VII/Wirabuana menyusun organisasi untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dengan cara barter yaitu dengan cara melegalisasikan kegiatan barter tersebut. Hari ini, ia mengangkat Mayor M. Saleh Lahede sebagai perwira yang menangani "OPI X TT-VII" (Opsir Pekerjan Istimewa X TT-VII) yang langsung berada di bawah panglima. Tugas Mayor Saleh Lahede adalah mengkoordinasi ekspor di Bitung dan di Morotai (besi tua). Namun penyelenggaraan perjudian kasino di kota² besar, yang telah dilakukan dalam rangka mencari dana itu, dihapus oleh Mayor Saleh Lahede. Dana yang diperoleh OPI X TT-VII digunakan untuk membiayai opeasi militer dan kegiatan sosial ekonomi. 


April 1955 

Mayor M. Saleh Lahede mendapat kepercayaan Pejabat Gubernur untuk menangani Yayasan Kopra di Makassar dengan mendirikan Yayasan Kopra Sulawesi berkedudukan di Makassar yang berusaha mengkoordinasi seluruh perdagangan kopra di pulau Sulawesi. 

12 Agustus 1955 

Kabinet Burhanuddin Harahap terbentuk, yang merupakan kabinet koalisi dengan Masyumi sebagai intinya, sedangkan PNI menjadi partai oposisi. 


22 September 1955 


Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) berdiri di Tondano atas usaha Nona Politon dan Prof Mr G.M.A. (Laan) Inkiriwang yang menjadi Dekannya, berdasarkan SK Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan RI No. 2450/Kab/55.. Karena pengalaman Nona Politon dalam memroses dan mendirikan Universitas Pinaesaan (yang berarti persatuan), Prof Moh Yamin lalu menugaskan Nona Politon menyiapkan pendirian Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Sulawesi Utara.
Perguruan Tinggi ini mulanya menjadi cabang fakultas pada Universitas Hasanuddin Makassar di Tondano. Dana yang dipakai antara lain atas bantuan dari TT-VII/Wirabuana dengan ekspor kopra (oleh administrasi pemerintah dianggap penyelundupan kopra).
PTPG ini kemudian berubah namanya menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Tondano di Manado yang berafiliasi ke FKIP Makassar (FKIP Unhas Tondano) pada tahun 1956-1958, dan akhirnya berkembang menjadi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Tondano di Manado pada waktu pergolakan Permesta berakhir. Karena gangguan keamanan FKIP Unhas di Tondano hijrah dari Tondano ke Manado pada bulan Agustus 1958 tanpa perntah dari Depdikbud atau Pemerintah Pusat. Setelah itu, pada tahun 1994, IKIP Negeri Manado secara resmi dipindahkan dari Manado ke Tondano dan menjadi IKIP Negeri Tondano (Fakultas POK, FMIPA, Fakultas Pendidikan Teknik sudah menyusul sebelumnya), akhirnya menjadi Universitas Negeri Manado (UNIMA) pada bulan September 2000. Sebelum IKIP menjadi UNIMA, waktu itu namanya adalah Universitas Negeri Walanda Maramis yang akhirnya tidak disetujui namanya sehingga ternyata yang disetujui adalah nama UNIMA.
UNIMA kini menempati kampus seluas 400 hektar di areal perkebunan Tonsaru Tondano. Sejak didirikan hingga sekarang, UNIMA telah menghasilkan ribuan sarjana dari berbagai strata (S1, S2, dan S3). 



29 September 1955 


PEMILIHAN UMUM Pertama di Indonesia, untuk memilih anggota DPR, dengan sistem demokrasi liberal. Hasilnya Masyumi (60 kursi), PNI (58 kursi), NU (47 kursi), PKI (32 kursi) sebagai partai terbesar.
DPR hasil pemilihan umum beranggota 272 orang, yang dilantik pada tanggal 20 Maret 1956.
Sedangkan di Minahasa, partai yang mendominasi adalah PNI, PSI dan Parkindo



28 Oktober 1955 


Kabinet Ali-Wongso memutuskan untuk mengangkat Kolonel A.H. Nasution sebagai KSAD, yang mengisi kekosongan pimpinan Angkatan Darat yang dijabat sementara oleh Wakil Kepala Staf AD Kolonel Zulkifli Lubis. Sebelumnya, KSAD yang lalu, Jenderal Mayor Bambang Sugeng mengundurkan diri, dan pelantikan penggantinya Kolonel Bambang Utojo sebagai KSAD pada tanggal 27 Juni 1955 diboikot oleh perwira² Angkatan Darat. A.H. Nasution selanjutnya dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal Mayor.

10 November 1955


Yayasan Kopra di daerah Sangihe-Talaud (Satal), Bolaang-Mongondow (Bolmong), dan Gorontalo diambil alih ; sekalipun hanya Yayasan Kopra Sangihe-Talaud yang diakui Pemerintah Pusat.   


15 Desember 1955


Pemilihan Umum kali ini untuk pemilihan anggota-anggota Konstituante (Sidang Pembuat Undang² Dasar). Anggota Konstituante berjumlah 542 orang, yang dilantik pada tanggal 10 November 1956   


1956


Dalam statistik Balai Konsultasi Ekonomi - R.C. Lasut, penduduk Minahasa pada tahun 1956 berjumlah 543.936 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 0,8%.   


3 Maret 1956


Kabinet Burhanuddin Harahap menyerahkan mandatnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955.   


24 Maret 1956


Kabinet Ali II terbentuk, dipimpin oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Kabinet ini merupakan kabinet pertama setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk. Partai pendukung Kabinet ini ialah PNI, Masyumi dan NU serta beberpa partai kecil lainnya. PKI sendiri tidak masuk dalam Kabinet karena masuknya komunis dalam Kabinet masih ditentang oleh beberapa pihak mengingat tindakan² PKI di masa lalu, terutama Pemberontakan PKI di Madiun.   


2 April 1956


RUU yang membatalkan seluruh perjanjian KMB secara unilateral yang diajukan Kabinet, disetujui secara bulat oleh DPR. RUU ini ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 8 Mei 1956.
Inilah awal dari ketegangan baru antara Indonesia dengan pihak Belanda sejak KMB ditandatangani. Pembatalan persetujuan KMB secara sepihak oleh Indonesia pada prinsipnya didasarkan kepada sikap Belanda yang tidak mau menepati persetujuan KMB yang menyangkut soal Irian Barat. 
 


12 Juli 1956


Andi Pangerang Petta Rani (Andi Pangerang Daeng Parani) diangkat menjadi Gubernur Sulawesi, jabatan yang dipangkunya sampai dengan tanggal 20 April 1960.   

25 Mei 1956


Pemerintah Pusat memutuskan, Yayasan Kopra secara resmi akan  dibubarkan pada tanggal 26 Juli 1956, dan akan digantikan setahun kemudian oleh Koperasi Kopra Pusat.

13 Agustus 1956


Panglima TT-VII/Wirabuana, Kolonel Joop Warouw, dalam konferensi persnya yang terakhir sebelum serah-terima jabatan Panglima TT-VII, sebelum pemindahannya ke Peking, mengatakan bahwa ia menerima semua tanggung jawab penyelundupan kopra yang melewati Bitung.
Pada hari ini, CPM di dalam TT-III/Siliwangi menangkap mantan Menteri Penerangan dalam kabinet Burhanuddin Harahap, Syamsudin Sutan Makmur, dan Direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, karena urusan korupsi yang melibatkan Lie Hok Thay yang lebih dulu ditahan. Hok Thay mengaku memberikan uang satu setengah juta rupiah kepada Roeslan Abdulgani yang berasal dari ongkos mencetak kartu suara pemilu. Akibatnya, Roeslan yang telah menjadi Menteri Luar Negeri dalam kabinet Ali Sastroamidjojo hendak ditahan oleh CPM dua jam sebelum keberangkatannya tanggal 14 Agustus ke London untuk menghadiri konferensi internasional mengenai Terusan Suez. Presiden Gamal Abdel Mesir Nasser baru saja menasionalisasikan Suez. Berkat intervensi PM Ali dan KSAD A.H. Nasution, penangkapan dibatalkan, dan Roeslan akhirnya bisa berangkat ke luar negeri. 


14 Agustus 1956 

Timbang terima Panglima TT-III/Siliwangi dari Kolonel Alex E. Kawilarang kepada Kolonel Suprayogi, untuk selanjutnya bulan Desember tahun itu pergi ke Washington, D.C. menjadi Atase Militer pada Kedutaan Besar RI di sana.
Selama memimpin TT-III/Siliwangi, Kolonel Kawilarang bermasalah antara lain pernah menangkap menteri Ruslan Abdulgani karena dituduh korupsi. 



17 Agustus 1956 

Pembentukan provinsi Papua Barat (Irian Barat) dengan ibukota di Soa Siu.
Gubernur yang pertama pada bulan September 1956 adalah Sultan Tidore - Zainal Abidin Syah. Provinsi tersebut meliputi wilayah yang masih diduduki Belanda dengan daerah² Tidore, Oba, Weda, Patani, serta Wasile di Maluku Utara.



22 Agustus 1956 

Kolonel J.F. (Joop) Warouw hari ini meletakkan jabatannya sebagai Panglima Komando TT-VII/ Wirabuana dalam rangka pergantian pimpinan Komando Tentara & Territorium VII/Wirabuana. 


23-26 Agustus 1956 

Serah-terima Panglima TT-VII/Wirabuana - Indonesia Timur dari Kolonel J.F. Warouw kepada Letkol H.N. Ventje Sumual, Kepala Staf TT-VII/Wirabuana sebelumnya.
Kemudian Joop Warouw dipindahkan sebagai Atase Militer pada Kedubes RI di Peking - Cina.



8 September 1956


Komandan Batalyon 714 Kapten Dolf Runturambi memerintahkan untuk menahan kapal "Susane Skow" di pelabuhan samudera Bitung, karena surat² yang tidak lengkap untuk menurunkan mobil² dan mengangkutnya.
Hal ini didasarkan pada radiogram Panglima TT VII pertengahan Juni tahun itu - penahanan mana segera dilaporkan kepada Panglima TT VII/Wirabuana Let.Kol. H.N.V. Sumual dan Komandan RI-24 Let.Kol. H.V. Worang. 
 


5 Oktober 1956


Opsir Pekerdja Istimewa X (OPI X) TT-VII/Wirabuana dibubarkan hari ini ketika M. Saleh Lahede dijadikan Kepala Staf Komando Pengamanan Sulawesi Selatan & Tenggara (KoDPSST atau KDP-SST) oleh KSAD. Kegiatan OPI X selanjutnya dilaksanakan oleh Yayasan Wirabuana dan Yayasan Sulawesi Selatan.   

21 November 1956


Diadakan reuni ulang tahun Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD, sekarang Seskoad) di Bandung. .   

Desember 1956

Mayor D.J. Somba sebagai Assisten II/Personalia di TT-VII/Wirabuana bulan Desember 1956 ini menggantikan Mayor H.V. Worang sebagai Komandan Resimen Infanteri 24 (RI-24) di Manado, karena 

Tags

Entri Populer